Jogja
Jumat, 10 November 2017 - 10:55 WIB

Yuk Belajar Sejarah, Peta-Peta Ini yang Membuat Diponegoro Tertangkap

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Roni Sodewo (berkacamata, berbaju merah), sedang menjelaskan peta kuno, kepada pengunjung, dalam Gebyar Semaken, di pendopo Semaken, Dusun Semaken, Desa Banjararum, Kamis (9/11). (Uli Febriarni/JIBI/Harian Jogja)

Pengeran Diponegoro dikenal dengan kelihaiannya memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa pada 1825-1830

Harianjogja.com, KULONPROGO– Pengeran Diponegoro dikenal dengan kelihaiannya memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa pada 1825-1830. Perang tersebut tercatat sebagai perang, dengan korban paling besar, dalam sejarah Indonesia. Namun, kejelian dan ketekunan para ahli kartografer (pembuat peta) Belanda di masa itu, membuat Pangeran Diponegoro terpaksa harus bertekuk lutut. Pelajaran apa yang bisa diulik dari peta-peta tersebut?

Advertisement

Pada masa-masa tegang menjajah Indonesia di era 1825-1830, suasana selalu berstatus waspada bagi prajurit Belanda. Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock, mereka tidak boleh lengah. Karena bisa saja pasukan Pangeran Diponegoro melancarkan serangan tiba-tiba. Putra Sulung dari Sultan Hamengku Buwono III itu dikenal memiliki taktik gerilya, yang gerakannya juga tak mudah terbaca prajurit Belanda. Pagi, siang maupun malam adalah mencekam bagi de Kock dan prajuritnya.

Namun, di suatu ketika, Belanda sadar, mereka memiliki pembuat peta ulung, beberapa di antaranya adalah Willem Orde, F.V.A De Stuers, Frans David Cochius, JJ.Stockdale, Baron Melvill van Carnbee, dan sejumlah kartografer lain. Belanda mencoba mengamati gerak-gerik Diponegoro dan pasukannya, bentang alam juga tak luput dari perhatian para kartografer ini, untuk melengkapi keterangan dalam peta sipil administrasi maupun peta militer Belanda.

Advertisement

Namun, di suatu ketika, Belanda sadar, mereka memiliki pembuat peta ulung, beberapa di antaranya adalah Willem Orde, F.V.A De Stuers, Frans David Cochius, JJ.Stockdale, Baron Melvill van Carnbee, dan sejumlah kartografer lain. Belanda mencoba mengamati gerak-gerik Diponegoro dan pasukannya, bentang alam juga tak luput dari perhatian para kartografer ini, untuk melengkapi keterangan dalam peta sipil administrasi maupun peta militer Belanda.

Peta yang dibubuhi nama JJ. Stockdale, sebetulnya sudah terbit sejak 5 Oktober 1811. Di peta administrasi wilayah ini, Belanda bisa mengamati betul, betapa ada banyak rawa di Kulonprogo sebelah selatan. Sedangkan peta De Stuers dibuat pada 31 Januari 1980. Peta ini menggambarkan Banyumas hingga Pacitan, dan Karisidenan Kedu. FD Cochius menggambarkan kawasan Kraton Pleret, sedangkan Baron Melvill van Carnbee menggambarkan pula residen Kedu.

Ditemui di rumah bergaya kuno, Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi), Roni Sodewo memamerkan belasan peta yang ia miliki, dari total 750 peta kuno yang dimilikinya. Beberapa di antaranya khusus menggambarkan alur lokasi perjuangan Diponegoro. Peta-peta ini ia beli dalam bentuk salinan, dari museum Leiden. Peta paling mahal yang dimilikinya seharga 350 Euro, sedangkan yang paling murah 30 Euro.

Advertisement

Roni kemudian bergeser, memperlihatkan ke sebuah peta yang tak kalah besar, besutan JJ.Stockdale. Peta ini memang merupakan peta administrasi wilayah atau peta sipil. Di sana, ia menemukan ada banyak titik lokasi pergerakan Diponegoro, ditulis dengan nama-nama yang asing di telinga maupun dibaca oleh orang yang sedang mempelajari peta di era modern.

Itu yang menjadi alasan Roni untuk mengoleksi peta lama. Terpasang tepat tak jauh dari sebuah kapstok, ada tempat bernama Panjoemag yang kini dikenal menjadi Banyumas, atau Bannaraga yang berubah menjadi Ponorogo, La Madjang yang sudah menjadi Lumajang, atau Djiepang yang sekarang dikenal dengan nama Mojokerto.

Tidak hanya itu, Roni yang merupakan Aparatur Sipil Negara Pemkab Kulonprogo itu menambahkan, ada titik wilayah yang dinamakan Kadowang. Saat ini, Kadowang hanya dikenal sebagai salah satu kelurahan di sekitar Klaten, Jawa Tengah. Sedangkan wilayah yang sebelumnya bernama Kadowang itu saat ini populer dikenal menjadi bagian Karisidenan Surakarta.

Advertisement

“Di sini ada Ledox Pormadeen, itu sekarang Wonosobo. Dulu, Wonosobo adalah nama sebuah kota di Ledox,” terang Roni, sembari menunjuk satu per satu nama kota-kota tadi, kacamata yang belum lama dikenakannya, tetap bertahan di pangkal hidungnya.

Dalam obrolan di siang mendung itu, nama De Stuers kembali disebut. Nama yang disebut inilah yang membuat peta, yang di dalamnya menunjukkan titik-titik benteng pertahanan yang dibangun oleh pasukan Diponegoro, termasuk gerakan gerilya yang selama ini sudah dilakukan mereka. Setelah peta perang ini dibuat, Belanda menempatkan pasukan mereka secara lebih jelas. Di titik yang pernah dikuasai Diponegoro, selanjutnya didirikan benteng-benteng.

“Belanda menempatkan orang di benteng-benteng itu, mereka digaji, dengan upah uang, beras dan kebutuhan pokok lain. Barang-barang itu diperbolehkan diambil begitu saja, apabila mereka menginginkannya, prajurit Diponegoro semakin berkurang,” lanjut dia, seraya menambahkan, bahwa kisah perjuangan Diponegoro sudah dituliskan dalam Babad Diponegoro.

Advertisement

Dalam babad itu dituliskan sisi perkasa seorang Diponegoro di medan peperangan. Dalam suatu pertempuran, Diponegoro dan pasukannya dihujani tembakan oleh pasukan musuh.

Peluru melesat di udara, kala itu, Diponegoro tak merasakan takut atau sakit. Ia hanya menganggapnya seakan hujan pasir mengenai punggungnya. Pahlawan yang dikenal bersorban itu mencoba berlindung di balik pepohonan, bersama pasukan.

Kemudian, Diponegoro dan Raden Ngabehi Joyokusumo yang adalah pamannya, adu cepat berlari ke pohon kueni yang tersisa untuk perlindungan. Diponegoro kalah cepat dan akhirnya hanya berlindung di balik bokong pamannya. “Yang lebih tua akan mati duluan,” ungkap Roni, meniru kelakar leluhurnya itu.

Perang demi perang dilalui oleh Belanda dan Diponegoro. Akhirnya Diponegoro tertangkap di Magelang pada 1830. Kendati demikian, perjuangannya untuk lepas dari cengkeraman penjajah membuktikan bahwa ia adalah sosok yang tangguh dan berani.

Menjelang akhir obrolan, keturunan dari Pangeran Alip atau Bagus Singlon/Ki Sodewo ini mengungkapkan, ia sengaja mengumpulkan peta-peta kuno itu sejak 2016 lalu, termasuk peta-peta kuno wilayah Kulonprogo. Baginya, lewat peta itulah ia bisa menziarahi jejak perjuangan Diponegoro.

Sebagai pelengkapnya menekuni lembar demi lembar Babad Diponegoro. Walaupun harus menabung dan bekerja keras menjadi ASN sekaligus penulis buku, narasumber diskusi atau tenaga pengajar, ia rela mengeluarkan dana besar untuk memenuhi kesukaannya itu.

Salah satu keturunan generasi keenam Pangeran Diponegoro, Nugroho Wibowo menyatakan, ia memilih mengoleksi beragam keris yang merupakan peninggalan leluhurnya, serta keturunannya. Keris yang ia miliki, mulai dari yang memiliki pamor, sampai yang tak memiliki pamor sama sekali.

“Saya tidak sepakat dengan orang yang menyamakan keris ini dengan hal berbau klenik. Orang yang berpikir bahwa keris itu adalah benda klenik, pasti tidak memahami nilai filosofi di dalam keris, padahal keris adalah salah satu benda bernilai budaya,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif