Kolom
Sabtu, 4 November 2017 - 07:00 WIB

GAGASAN : Televisi Kita Bersengkarut

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Televisi (nextbamz.com)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (31/10/2017). Esai ini karya Abraham Zakky Zulhazmi, pengajar di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Institut Agama Islam Negeri Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah abrahamzakky@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Program Rumah Uya sukses menyabet predikat talkshow terfavorit dalam acara Panasonic Gobel Awards 2017. Rumah Uya mengalahkan Mata Najwa dan Kicik Andy serta tujuh nomine lain.

Advertisement

Pemirsa televisi yang pernah menonton Rumah Uya mungkin bertanya-tanya: apakah penghargaan itu tidak salah alamat? Kita juga patut bertanya: apakah dunia pertelevisian kita baik-baik saja? Bagaimana bisa acara dengan ”mutu rendah” seperti Rumah Uya berhasil menggondol penghargaan?

Kemenangan Rumah Uya adalah tamparan bagi nalar publik. Dunia pertelevisian kita nyatanya tak pernah sepi dari masalah. Rendahnya mutu acara televisi hanya satu dari sekian banyak persoalan. Televisi kita masih menyimpan berjibun masalah.

Pertama, bengkoknya prinsip keanekaragaman isi dan kepemilikan. Sebagaimana kita saksiskan, televisi kita seakan-akan hanya melayani penonton Jakarta. Beberapa program terasa sangat Jakarta sentris, padahal tentu saja Indonesia tidak hanya Jakarta.

Advertisement

Konten-konten mereka pun nyaris seragam karena menuruti selera pasar. Contoh yang paling kentara, misalnya, ketika program ajang pencarian bakat sedang laris di stasiun televisi A, televisi lain mengikuti. Begitu juga ketika sedang musim serial drama Turki, sinetron religi, talk show, stand up comedy, atau program lainnya.

Selanjutnya adalah: Televisi kita faktanya hanya dimiliki beberapa orang

Televisi Kita

Advertisement

Televisi kita faktanya juga hanya dimiliki oleh beberapa orang. Tampaknya kita semakin jauh dari demokratisasi media. Amir Efendi Siregar mengatakan demokratisasi media setidaknya harus menjamin kemerdekaan dan kebebasan berekspresi, kebebasan berbicara, dan kemerdekaan pers.

Tak cukup itu, demokratisasi media juga mesti memastikan tegaknya prinsip keanekaragaman isi dan kepemilikan. Prinsip itu, kata Amir, untuk menghindari otoritarianisme kapital dan oligarki yang mencederai demokrasi. Secara ringkas, sudah seyogianya kita menolak konsentrasi dan membangun keberagaman.

Kedua, tentang independensi televisi. Stasiun televisi yang dimiliki elite partai politik tentu sulit untuk berlaku independen. Tak lagi objektif. Mereka membingkai berita sesuai kepentingan. Bias pemberintaan tak terhindarkan.

Pemilik televisi yang terlibat kontestasi politik berpotensi membuat keruh informasi yang dihasilkan televisi milik dia. Dalam hal ini tentu publik yang dirugikan karena tak mendapatkan berita yang jernih. Para pemilik stasiun televisi itu juga seakan-akan menutup mata bahwa frekuensi adalah milik publik (sehingga harus dimanfaatkan untuk kepentingan publik).

Advertisement

Tidak aneh kini kita gampang menjumpai mars sebuah partai politik diputar berulang-ulang di stasiun televisi milik ketua partai X. Kita dengan mudah menonton pidato ketua partai Y bermenit-menit ditayangkan di stasiun televisi miliknya. Nahasnya, sebagian masyarakat menganggap itu lumrah belaka, padahal sejatinya adalah pelanggaran yang mengebiri hak penonton televisi.

Selanjutnya adalah: Rendahnya kualitas siaran keagamaan

Siaran Keagamaan

Advertisement

Ketiga, rendahnya kualitas siaran keagamaan (keislaman) di televisi. Belum lekang di ingatan kita bagaimana seorang ustaz-televisi membuat kontroversi dengan mengatakan ada ”pesta seks di surga”. Pernyataan itu menimbulkan kegaduhan. Publik bertanya-tanya mengapa televisi gagal memilih ustaz yang mumpuni untuk menyampaikan pemahaman agama kepada masyarakat.

Mencermati kasus tersebut, saya teringat pernyataan Gun Gun Heryanto. Menurut Gun Gun, program-program keislaman di televisi mulai dari talkshow, sinetron, ceramah, dan sebagainya memiliki agenda perekrutan khalayak untuk diberikan kepada pengiklan. Pada akhirnya, televisi hanya berpijak pada nilai komersial, bukan fungsi sosial.

Kita juga saat ini berhadapan dengan tayangan-tayangan sinetron yang merendahkan nalar pemirsa. Sinetron kita masih gemar menunjukkan parade kekerasan, jalan cerita tak masuk akal, dan kata-kata kasar. Sialnya, sinetron-sinetron itu masih betengger di peringkat atas program televisi yang diminati khalayak.

Lembaga studi dan pemantauan media, Remotivi, merilis video berjudul Keajaiban-Keajiban dalam Sinetron Indonesia, berisi kompilasi kedangkalan sinetron kita. Digambarkan di video itu betapa rendah mutu sinetron kita, misalnya penokohan yang selalu hitam-putih, antagonis versus protagonis, sangat tidak manusiawi.

Juga hal-hal serba tiba-tiba yang menodai akal sehat: tokoh utama mendadak kaya, mendadak dapat warisan, mendadak mati (entah karena kecelakaan, ditabrak mobil, atau diracun), dan lain-lain. Masalah-masalah itu masih diperparah dengan masalah lain seperti komodifikasi perempuan di layar kaca, minimnya tayangan ramah anak, dan kemiskinan yang jadi dagangan dan dieksploitasi habis-habisan.

Selanjutnya adalah: Gerakan melek media perlu digalakkan kembali…

Advertisement

Melek Media

Melihat masalah-masalah di atas, kiranya gerakan melek media perlu digalakkan kembali. Ini adalah sebuah gerakan yang diharapkan mampu membangun kesadaran kritis pemirsa televisi. Artinya, ada upaya untuk membuat pemirsa melek media.Pemerintah mestinya hadir dalam gerakan ini.

Gerakan literasi media dapat secara masif dilakukan di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Targetnya jelas, generasi muda yang rentan terpapar banalitas program-program televisi. Kelak literasi media tidak hanya menyoal televisi, namun juga media pada umumnya, termasuk media sosial.

Kita juga berharap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) t lebih berani dan tegas. Tentu kita tidak menginginkan keberadaan KPI sama dengan ketiadaannya. Hanya memberi sanksi dan teguran sebagai basa-basi. Sayangnya itu yang kita lihat saat ini. KPI juga seolah-olah tiarap saat berhadapan dengan taipan-taipan besar.

Remotivi memberikan sejumlah masukan agar KPI lebih bertaji: KPI mesti lebih transparan, tegas, dan konsisten, meningkatkan partisipasi publik, menunjuk dewan kehormatan, serta fokus pada penegakan hukum dan literasi media. Lebih dari itu, kita juga menuntut televisi untuk terus berbenah.

Evaluasi terhadap program-program mutlak dilakukan. Mereka tak boleh lupa bahwa media memiliki tanggung jawab sosial. Televisi punya andil dalam menentukan suram tidaknya generasi mendatang. Akhirulkalam, jika hanya menjadi pengabdi rupiah, selamanya televisi kita tak akan memberikan pencerahan apa pun bagi masyarakat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif