Jogja
Jumat, 3 November 2017 - 02:20 WIB

BIENNALE JOGJA XIV : Tidurlah Dengan Nyenyak dan Terimalah Kenyataan

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pengunjung melihat karya seni rupa pada pameran Biennale Jogja XIV seri Equator ke-4 di Jogja National Museum, Wirobrajan, Yogyakarta, Kamis (02/11/2017). (Harian Jogja/Desi Suryanto)

Biennale Jogja XIV Equator #4 : Stage of Hopelessness (baca : Age of Hope) secara resmi dibuka

Harianjogja.com, JOGJA-Biennale Jogja XIV Equator #4 : Stage of Hopelessness (baca : Age of Hope) secara resmi dibuka pada Kamis, (2/11/2017). Namun, sebelum dibuka untuk publik, para awak media diberikan kesempatan khusus untuk menikmati secara leluasa karya dari 27 seniman asal Indonesia dan 12 perupa Brazil.

Advertisement

Tur dipimpin langsung Pius Sigit Kuncoro, sang kurator. Ia hari itu memakai kemeja warna merah dengan logo Biennale Jogja dicetak di sana-sini. Logo yang berwujud seperti monster berkaki dua dengan gigi tajam ala piranha itu terlihat seperti buatan siswa taman kanak-kanak. Pembuatnya adalah Yunizar, seniman yang punya ciri khas tarikan garis layaknya bocah ingusan. Hal yang sangat dikagumi Pius.

Perjalanan menelusuri Jogja National Museum dimulai sekitar pukul 13.30 WIB. Dengan bersenjatakan speaker yang sering dipakai demo oleh mahasiswa revolusioner, Pius memimpin tur. Para pemburu berita mengekor, memperhatikan setiap patah kata yang
disemprotkan si speaker dengan tekun, seakan tak ada lagi ucapan paling penting di dunia ini selain itu.

Advertisement

Perjalanan menelusuri Jogja National Museum dimulai sekitar pukul 13.30 WIB. Dengan bersenjatakan speaker yang sering dipakai demo oleh mahasiswa revolusioner, Pius memimpin tur. Para pemburu berita mengekor, memperhatikan setiap patah kata yang
disemprotkan si speaker dengan tekun, seakan tak ada lagi ucapan paling penting di dunia ini selain itu.

“Karya pertama ini adalah milik Farid Stevy Asta. Sepanjang lorong di lantai dasar ini adalah hasil karyanya,” ucap Pius yang sembari diikuti gerakan jari para jurnalis. Farid tidak melukis, pun tidak membuat instalasi, karyanya hanya sebatas menulis kata-kata pada tembok.

Simak saja deretan kalimat-kalimat berikut, Jarene setia sampai mati. Jebul setia sampai kamar mandi tok; For God Shake. Please stop saying kids jaman now; Fotonya cantik kak, tapi pasti lebih cantik kalau pakai hijab; Kerja Superman, gaji supermi; Umroh bareng seleb; dan Kiri dikit dibilang Komunis. Untaian kata tersebut ditulis dalam ragam warna dan bentuk. Ukurannya kecil-kecil.

Advertisement

Pius mengatakan, salah satu hal yang ingin disampaikan kepada khalayak adalah iklan-iklan kecil tersebut saat masih berukuran kecil, menjadi pasal yang tak penting. Tapi ketika dibesarkan akan menjadi masalah. Seperti halnya yang biasa dialami manusia, sering membiarkan soal-soal sepele dan baru khawatir ketika sudah menggelembung menjadi sesuatu yang menakutkan.

Beberapa saat kemudian, Pius mlipir menuju karya berjudul Interference yang masih berada di lantai dasar. Interference adalah karya Arin Dwihartanto. Perupa asal Bandung itu memenuhi ruangan dengan 28 LED TV yang berisi karya-karyanya terdahulu dalam
bentuk yang sudah terditorsi. Ia menggambarkan situasi glitch, semacam gangguan dalam transmisi dalam gelombang, sehingga lukisan-lukisannya jadi tak tampak dengan jelas.

“Saya belum pernah menampilkan karya seperti ini. Saya harap ini bisa memberikan perasaan baru bagi yang melihat. Saya ingin menampilkan perasaan abu-abu, antara ada dan tiada,” ucap Arin.

Advertisement

Sejak tahun 2011 Yayasan Biennale Jogja meluncurkan Biennale Equator yang berfokus pada daerah sekitar khatulistiwa. Biennale Jogja seri Equator akan membawa Indonesia, khususnya Jogja, mengelilingi planet Bumi selama 10 tahun. Dalam setiap penyelenggaraannya, Biennale Ekuator akan bekerja sama dengan satu atau lebih negara atau kawasan di sekitar ekuator.

Pada 2011, yang diajak berduet adalah India, 2013 negara-negara kawasan arab dan pada tahun 2015 mengajak Nigeria. Tema Stage of Hopelessness sendiri dipilih dengan tujuan hendak menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat manusia tidak berani untuk berharap karena kenyataan semakin sulit untuk dipahami. Narasi besar ini akan mengajak masyarakat pada suatu pengalaman melintas dari ketidakpastian menuju harapan.

Pius menyebut, tema Stage of Hopelessness tergambarkan dalam pameran yang akan mengaduk-ngaduk perasaan manusia yang paling mendasar melalui tujuh tahap narasi dalam keseharian, penyangkalan atas kenyataan, kemarahan pada keadaan, keputusasan atas kehilangan, kepasrahan dalam ketiadaan, penghiburan atas kehilangan, kesadaran pada keadaan dan penerimaan atas kenyataan.
Salah satu karya yang menunjukkan keputusasaan adalah karya dari Roby Dwi Antono yang membuat patung anak-anak dengan terselimuti daging busuk. Karya tersebut menggambarkan anak-anak yang tidak mengerti banyak tentang dunia seringkali menjadi
korban dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang dewasa. Tahap yang semestinya di mana akal dan nurani berkembang sedemikian rupa.

Advertisement

Selain itu, ada karya yang cerah karena warnanya memang dominan merah muda. Judulnya Kamu Pecundang Kalau Gak Bisa Tidur ciptaan Mulyana. Karya ini diklaim sebagai sebuah perjalanan menuju harapan oleh orang-orang Bienalle Jogja.
Karya itu terdiri dari dua kamar, satunya kamar tidur dan satunya lagi warna merah terang. Dua kamar dihubungkan oleh kereta kayuh warna pink.

“Kalau tidak bisa tidur lampiaskanlkah ke kamar sebelah, setelah itu kembali lagi ke kamar tidur,” ucap Pius.

Mulyana sendiri berpendapat, harapan bertalian erat dengan kehendak dan kodrat manusia. Artinya harapan mempunyai kemungkinan menjadi nyata atau menjadi angan. Diantara itu, ia menempatkan tidur sebagai kemerdekaan bagi subjek. Jika bisa tidur dengan bahagia, maka terimalah harapan dan kenyataan dengan bahagia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif