Soloraya
Selasa, 31 Oktober 2017 - 16:35 WIB

TRANSPORTASI SOLO : Jembatan Mojo Ditutup, Jalur Penyeberangan Ngepung Mendadak Hidup Lagi

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rakit di Sungai Bengawan Solo. (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Transportasi Solo, masyarakat memanfaatkan jalur penyeberangan Ngepung di Sangkrah untuk menyeberangi Bengawan Solo.

Solopos.com, SOLO — Puluhan pasang mata warga Kampung Ngepung, Kelurahan Sangkrah, dan sekitarnya tertuju pada gerakan dayung bambu yang mendorong rakit atau getek ke arah seberang Sungai Bengawan Solo, Selasa (31/10/2017) siang.

Advertisement

Dari dekat tanggul Sungai Bengawan Solo, mereka melihat getek yang terbuat dari bambu itu mengantarkan penumpang menuju Desa Gadingan, Kecamatan Mojoloban, Sukoharjo, atau sebaliknya. Getek berukuran 6 meter x 3 meter itu hanya bisa mengangkut lima hingga enam orang yang rata-rata membawa sepeda motor sekali jalan.

Alhasil, terjadi antrean di “pintu dermaga” Ngepung dan Gadingan. Getek pun seolah tak punya waktu beristirahat. Pengelola melayani antar jemput pengguna jasa yang menjadikan penyeberangan Nambangan itu sebagai salah satu alternatif transportasi selama Jembatan Mojo di Semanggi, Pasar Kliwon, ditutup.

Advertisement

Alhasil, terjadi antrean di “pintu dermaga” Ngepung dan Gadingan. Getek pun seolah tak punya waktu beristirahat. Pengelola melayani antar jemput pengguna jasa yang menjadikan penyeberangan Nambangan itu sebagai salah satu alternatif transportasi selama Jembatan Mojo di Semanggi, Pasar Kliwon, ditutup.

Bagi sebagian warga, pemandangan ini mengingatkan pada masa lalu di mana Nambangan pernah menjadi jalur penyeberangan sungai penghubung Solo dan Sukoharjo. Sarana penyeberangan ini kembali dibuat warga Ngepung Sangkrah karena selama Jembatan Mojo ditutup, banyak pengguna jalan yang masuk ke jalur Nambangan dan mengira masih ada jalur alternatif di situ.

Warga berharap perahu bambu itu bisa menjadi salah satu alternatif terdekat penghubung Solo dan Sukoharjo selain jembatan sasak di Kampung Sewu Jebres. “Begitu tahu banyak yang kecele di sini, akhirnya warga berinisiatif bikin rakit dari bambu. Rakit baru selesai kami buat kemarin dan kali pertama beroperasi kemarin sore [Senin, 30/10/2017],” kata pengelola rakit, Priyatno, warga RT 004/RW 010 Kelurahan Sangkrah.

Advertisement

Untuk membuat akses masuk ke bibir sungai, warga meminjam backhoe milik kontraktor yang sedang mengerjakan proyek parapet di wilayah Sangkrah. “Ya pinjam, kami hanya kasih rokok ucapan terima kasih kepada operator backhoe,” kata warga RT 002/RW 010, Yanto.

Warga butuh waktu sekitar tiga hari untuk membuat getek. Mereka merakit bambu dan delapan drum sedemikian rupa sehingga getek itu bisa mengangkut beban lima hingga enam sepeda motor dan maksimal 13 orang. Untuk menjalankan getek, mereka butuh dua orang yang mendayung dan empat orang lainnya nyemplung ke sungai dan mendorong rakit.

“Yang mendayung getek itu kami cari orang yang sudah profesional,” tutur Pri.

Advertisement

Pengguna jasa dikenakan tarif Rp2.000 untuk naik getek menyeberangi sungai. Uang dari jasa penyeberangan ini akan dikelola swadaya warga Ngepung terutama orang-orang yang terlibat dalam operasional rakit.

“Belum kami bahas detailnya, tapi nanti kalau sudah terkumpul, yang jelas uangnya untuk bayar utang karena untuk buat rakit itu saya utang. Kemudian masih untuk bayar tenaga yang dayung dan yang nyemplung sungai itu,” tutur Pri.

Pri mengklaim saat ini warga Ngepung fokus melayani warga yang ingin menyeberangi Solo-Sukoharjo tanpa harus memutar terlalu jauh ke Bacem atau Palur. “Urusan bathi [untung] berapa dan untuk apa nanti dirembuk belakangan. Toh ini hanya beberapa hari sampai Minggu [5/11/2017] besok kan?”

Advertisement

Selama satu jam, rata-rata rakit itu bisa bolak-balik Sangkrah-Mojolaban sebanyak empat kali atau delapan kali jalan. Nakhoda butuh waktu yang lebih lama karena mereka tidak bisa menyeberang lurus namun sedikit berbelok menghindari bagian sungai yang dangkal.

“Kalau enggak muter nanti kandas karena kedalamannya hanya sekitar 1 meter dan di tengah itu lebih dangkal lagi.”

Jika sekali jalan mengangkut lima hingga enam penumpang, uang yang bisa diperoleh warga pengelola rakit selama satu jam berkisar Rp80.000. Jika rakit itu beroperasi tanpa henti selama sehari atau 12 jam, warga bisa meraup uang hasil jasa penyeberangan hingga Rp960.000 tiap harinya.

“Kalau belum ada lampu kami tidak berani melayani hingga malam hari,” tutur Pri.

Warga Mojolaban, Warsito, awalnya hendak melewati jembatan sasak di Kampung Sewu. Dia yang hendak pergi ke UMS, memilih lewat Nambangan setelah ada informasi dari warga Mojolaban mengenai jalur alternatif menyeberang sungai.

“Lebih asyik naik perahu jadi ingat zaman dulu,” tutur Warsito.

Baginya, biaya Rp2.000 tak seberapa jika dibandingkan dengan waktu yang terbuang hingga lebih dari setengah jam untuk memutar lewat Bacem atau Palur. Lurah Sangkrah, Singgih Bagjono, mempersilakan warga membuka jasa penyeberangan asal memperhatikan aspek keselamatan penumpang.

“Memang dulu di Nambangan itu jadi jalur penyeberangan. Dulu ada kapal kayu, tapi sekarang sudah enggak ada,” tutur Singgih.

Dia pun berharap warga yang mengelola jasa itu memanfaatkan uang hasil gotong royong mereka dengan baik.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif