Jateng
Senin, 30 Oktober 2017 - 16:50 WIB

KAMPUS DI SEMARANG : Rektor Unnes Restui Media Tak Ikuti KBBI

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Rektor Unnes Prof. Fathur Rokhman versus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (JIBI/Semarangpos.com/Dok.)

Kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) kembali tampil beda dengan restu rektornya kepada insan media massa untuk tak mengikuti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Semarangpos.com, SEMARANG — Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang beberapa waktu lalu mewajibkan civitas academica-nya menuliskan akronim nama diri kampus di Kota Semarang itu dengan seluruhnya huruf besar, kembali tampil berbeda. Guru besar Sosiolingustik yang juga rektor perguruan tinggi itu, Prof. Fathur Rokhman, merestui insan media massa tak mematuhi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Advertisement

Menjawab pertanyaan Kantor Berita Antara di Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (29/10/2017), Fathur Rokhman mengatakan bahwa tidak ada permasalahan jika ada perbedaan dalam penggunaan lema atau leksikon antara media massa dan KBBI terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Yang penting di sini adalah lema/leksikon/istilah harus digunakan secara konsisten sehingga masyarakat bahasa Indonesia tidak bingung. Biarlah masyarakat bahasa kebebasan untuk memilih,” tukasnya.

[Baca juga Unnes Wajibkan Penulisan Akronim dengan Seluruhnya Huruf Kapital]

Advertisement

[Baca juga Unnes Wajibkan Penulisan Akronim dengan Seluruhnya Huruf Kapital]

Menurut dia, media massa merupakan media penyebarluasan informasi yang sangat efektif dan efisien. Oleh karena itu, perihal leksikon/istilah yang digunakan dalam media massa akan dijadikan salah satu sumber acuan bagi para pendidik/pembelajar bahasa Indonesia. Bahkan, imbuh Fathur, konsistensi penggunaan lema/leksikon/istilah yang berbeda dengan KBBI justru akan mendorong media massa tertentu memiliki icon atau brand yang bersumber dari penggunaan kosakata tersebut.

Dari sisi masyarakat pengguna bahasa, lanjut dia, kasus perbedaan tersebut akan mendorong semangat belajar dan mengkaji mengenai perbedaan lema/leksikon/istilah yang terjadi di tengah masyarakat sehingga kompetensi masyarakat tutur bahasa Indonesia lama-kelamaan akan mengalami peningkatan. “Dengan demikian, ketidaksesuaian antara media massa dan KBBI mengenai penggunaan kata-kata tertentu tidak perlu dirisaukan,” simpul profesor Sosiolingustik pada Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes itu.

Advertisement

Jika dikembalikan kepada hakikat bahasa yang bersifat konvensional, kata Fathur, penentu kosakata/lema/leksikon terletak pada kesepakatan masyarakat bahasa. Fathur mengatakan bahwa kosakata/lema/leksikon dan lain-lain yang sudah terdaftar KBBI, bahkan dapat diganti atau ditambah dengan lema/kosakata/istilah yang berkembang di tengah masyarakat.

“Kenyataan itu tampak pada contoh pada kata sangkil dan mangkus. Kedua kata tersebut ternyata tergerus dengan kata efektif dan efisien. Banyak pengguna bahasa Indonesia lebih memilih efektif dan efisien,” kata pimpinan perguruan tinggi kelas Perintis IV yang dulunya bernama IKIP Semarang itu.

Dalam berita yang dipublikasikan juga melalui Antarajatengcom itu, Fathur menekankan, “Jadi, penggunaan istilah/kosakata/lema/leksikon yang berbeda antara media massa dan KBBI sepenuhnya akan diserahkan kepada masyarakat.”

Advertisement

Berbeda sikap dengan pakar bahasa Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu, dosen Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Hermintoyo yang diwawancarai secara terpisah oleh Kantor Berita Antara, menyatakan gaya selingkung yang diterapkan media massa seyogianya selaras dengan kaidah bahasa Indonesia. Penyusunan pedoman tata cara penulisan atau style book alias buku gaya media massa, harus sesuai dengan kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca sehingga media massa dapat berperan aktif dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Meskipun menyarankan insan media massa patuh terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 50/2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan KBBI yang sama-sama produk Badan Bahasa, Hermintoyo tetap berharap insan media massa mau turut berperan dalam memperkaya khazanah kata dalam bahasa Indonesia, terutama kosakata bahasa daerah dalam pemberitaannya.

Namun, imbuhnya, tidak sebaliknya kosakata yang sudah ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), justru dikoreksi sehingga membuat publik bingung. Kata “salat” yang telah diatur KBBI tidak perlu diganti “shalat” atau “sholat”. Demikian pula dengan “Alquran” yang telah diatur KBBI, tidak perlu diganti “Al-Quran” ataupun “Al-Qur’an”.

Advertisement

Sebelum sebuah kata/sublema tercatat dalam kamus, terang Hermintoyo, terdapat konsep pembentukan kata secara arbitrer (manasuka). Karena istilah yang menjadi kesepakatan di dalam kelompok tertentu itu sering mereka pakai, misalnya melalui media sosial, publik pun ikut-ikutan menggunakannya, kemudian kata itu tercantum di dalam KBBI.

Ia mencontohkan lema “ngabuburit” (menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan). Akhirnya, kata ini masuk dalam KBBI Daring. Sebelumnya, pada KBBI edisi I, II, III, mauoun IV, istilah itu belum ada.

“Nah, di sinilah pernah media merekam, kemudian mengodifikasikan istilah yang ada di tengah masyarakat. Dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, tentunya memudahkan media melakukan hal itu, atau tinggal tulis lema pada mesin pencari kata Google,” terang dosen di kampus negeri ternama di Kota Semarang itu.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif