Jogja
Minggu, 29 Oktober 2017 - 21:20 WIB

Hati-Hati dengan Lelah, Bisa jadi Tanda Gangguan Jiwa

Redaksi Solopos.com  /  Bhekti Suryani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi gangguan jiwa (istimewa)

Prevalensi gangguan jiwa berat di DIY melampauirata-rata nasional.

Harianjogja.com, JOGJA— Gangguan kesehatan fisik seperti kelelahan memungkinkan seseorang terkena gangguan jiwa. Hal ini seringkali tidak dipahami sebagai gangguan jiwa dan hanya dianggap sebagai penyakit biasa.
Kesimpulan itu dibahas dalam seminar bertajuk Stres Kelelahan dan Gangguan Mental di Tempat Kerja di AMC, Kota Jogja, Sabtu (28/10/2017).

Advertisement

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY Warih Andan Puspitosari menyatakan, seringkali gangguan jiwa dianggap bukan termasuk masalah kesehatan masyarakat (kesmas). Padahal sebenarnya masuk dalam persoalan kesmas karena prevalensinya sangat tinggi dan selalu dihubungkan dengan masalah kesehatan fisik. Bahkan di layanan primer seperti Puskesmas angkanya juga cukup tinggi, beban produktivitasnya, perbedaan pengobatan serta dampaknya juga besar.

“Kalau dalam Riskesdas, ini termasuk penyakit fisik.  Angkanya 6% lebih ditambah 1,7 per mil, artinya di atas 6%, padahal [perbandingannya dengan] Malaria hanya 6% saja. Kalau dilihat dari data, [penyakit] jiwa paling tinggi prevalensinya dibanding penyakit lain,” ungkap dia dalam seminar tersebut.

Berdasarkan data Riskesdas 2013, lanjutnya, prevalensi gangguan jiwa berat di DIY tergolong tinggi mencapai 2,7 permil, jauh berada di atas rata-rata nasional yang hanya 1,7 permil. Posisi teratas berada di Bantul dengan jumlah 3.875 orang, disusul Kulonprogo 1.892 orang, Sleman 1.769 orang, Gunungkidul 1.433 orang dan Kota Jogja 852 orang yang terkena gangguan jiwa.

Advertisement

Populasi gangguan jiwa secara nasional mencapai 10%, berarti dari 240 orang berarti ada 24 yang beresiko terkena gangguan jiwa. Sayangnya tidak banyak masyarakat memahami gangguan jiwa bisa disebabkan karena keluhan fisik, seperti kelelahan. Hanya sekitar 24% pengunjung di layanan primer adalah penderita gangguan jiwa dan 69% dengan keluhan fisik. Padahal keluhan fisik tersebut bisa disebabkan depresi akibat endorse fit yang turun.

“Begitu kita depresi, endorse fit turun, yang tidak pernah sakit kepala jadi sakit kepala, jadi pegal, datangnya ke dokter juga keluhan itu [fisik],” ujarnya.

Oleh karena itu fisik harus diperhatikan karena bisa jadi pasien secara berulang-ulang meraskan keluhan fisik disebabkan karena depresi. Deteksi dini terhadap pasien jenis ini bisa dilakukan karena bisa diduga bukan murni penyakit fisik. “Terutama yang biasanya di puskesmas kalau ada yang bolak balik periksa fisik lelah, linu dan lain-lain, cobalah mulai deteksi ke arah sana [gangguan jiwa],” imbuhnya.

Advertisement

Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Djamaludin Ancok dalam kesempatan itu mengatakan, depresi memang bisa terjadi pada semua orang apalagi para pekerja. Akan tetapi, ia meyakini setiap pekerjaan yang dilaksanakan dengan semata-mata tanpa mencari uang maka akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa tekanan. Beberapa hal yang menjadi sumber depresi di lingkungan kerja seperti adanya penguasaan pekerjaan, kurangnya kompetensi sebagai seorang pekerja.

“Salah satu sumber sakit jiwa bisa disebabkan karena pimpinan. Karena dia merasa dirinya hebat, sehingga bisa arogan terhadap anak buahnya. Oleh karena itu harus saling menghargai, jangan merasa lebih hebat karena saling menghargai inilah yang membuat happy, rindu dengan teman sekerja,” ucap dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif