Jogja
Kamis, 26 Oktober 2017 - 13:20 WIB

Mengolah Kelapa Jadi Wingko, Petani Pakem Untung 10 Kali Lipat

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Salah satu anggota KWT Mekar memanggang adonan wingko di pemanggang sederhana di dapur milik ketua kelompoknya di Balong, Pakembinangun, Minggu (22/10/2017). (Sekar Langit Nariswari/JIBI/Harian Jogja)

Melimpahnya pohon kelapa di wilayah Balong, Pakembinangun, Pakem dimanfaatkan menjadi olahan wingko

Harianjogja.com, SLEMAN– Melimpahnya pohon kelapa di wilayah Balong, Pakembinangun, Pakem dimanfaatkan menjadi olahan wingko oleh kelompok wanita tani setempat. Cara ini memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi maupun menjadi kegiataan pemberdayaan wanita setempat.

Advertisement

Ketika masuk musim panen, buah kelapa melimpah ruah di kawasan perkampungan kaki Gunung Merapi ini. Sebagian besar warga di wilayah itu pasti memiliki pohon kelapa khususnya jika berdiam di pinggiran sungai. Dalam satu kali panen tiap bulannya, setiap orang bisa memanen hingga 50 buah.

Karena banyak warga yang memiliki pohon kelapa maka ratusan buah kelapa bisa tersedia setiap bulannya. Buah kelapa segar jika dijual di tingkat petani hanya laku Rp3.000 per biji, apapun jenisnya meski ketika sampai di pasa mencapai Rp6.000 per buah. Hal inilah yang menginspirasi Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar untuk memproduksi cemilan wingko.

Kudapan tradisional yang diberi merk Wingko Ayu ini diolah dengan cara rumahan tanpa bahan pengawet maupun pemanis buatan. Siswanti, Ketua KWT Mekar mengatakan sudah tiga tahun belakangan memproduksi makanan ini beserta tujuh rekannya.

Advertisement

“Dipilih wingko karena bahannya sesuai dan rasanya juga khas,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya, Minggu (22/10/2017).

Dua kilogram kelapa dicampur dengan sekilo gula pasir dan setengah kilogram tepung ketan beserta vanili dan margarin diadon dan dicetak. Setiap cetak kemudian dipanggang di atas api dengan pemanggang sederhana selama 15 menit.

Untuk bahan baku di atas bisa dihasilkan 100 buah wingko. Karena tanpa pengawet, kudapan ini hanya bisa berahan selama lima hari. Keterbatasan sekaligus keunggulan ini membuat jumlah yang diproduksi tidak pernah terlalu banyak, hanya sesuai setoran ke toko plus pesanan yang diterima.

Advertisement

Siswanti mengaku masih takut kehabisan modal ketika wingkonya tidak laku jika memproduksi terlalu banyak. Setiap minggunya bisa diproduksi 600 wingko yang dijual di sejumlah toko oleh-oleh sekitar atau di Pasar Pakem. Lokasi desanya yang dekat dengan daerah wisata menjadi satu keuntungan sendiri untuk pemasaran makanan ini. Sebungkus wingko dijual dengan harga Rp1.200.

Indri Lestari, anggota KWT menerangkan jika dengan harga itu maka keuntungan yang didapatkan bisa hampir 10 kali lipat daripada menjual buah kelapa utuh. Setiap biji buah kepala bisa dijadikan 20 hingga 22 kemasan wingko, ujar wanita yang juga memiliki pohon kelapa di kebunnya ini. Hanya saja, untuk menjadikan wingko maka kelapa tersebut harus dipilih yang masih muda dan diolah lebih dahulu.

Jika awalnya hanya sekedar memanfaatkan buah kelapa produksi sendiri, kini kelompok ini juga tak jarang harus membeli buah kelapa di pasar. Ini terjadi ketika pesanan membludak sementara pohon kelapa milik mereka belum masanya panen.

Kala itu, kata Indri, maka mereka harus menambah biaya produksi sehingga keuntungan yang didapat juga lebih sedikit. Namun, ibu ini tetap yakin jika dijadikan wingko maka kelapanya akan jauh lebih menguntungkan daripada biasanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif