News
Jumat, 20 Oktober 2017 - 16:31 WIB

3 Tahun Presiden Jokowi Ditantang Populisme

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Presiden Jokowi (berjaket merah) menonton film Pengkhianatan G30S/PKI (Setkab.go.id)

Sepanjang 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK ditantang isu populis yang dinilai tak faktual.

Solopos.com, JAKARTA — Tantangan terbesar dari pemerintahan Presiden Jokowi dalam dua tahun ke depan di bidang politik adalah menangkal isu populis yang tidak faktual. Salah satunya isu soal hubungan Presiden Jokowi dengan kalangan muslim.

Advertisement

Demikian dikemukakan oleh Ketua DPP PDIP, Andreas Pareira, dalam diskusi bertajuk Evaluasi Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Gedung DPR. Menurutnya, berbagai isu bernuansa politik itu dimunculkan karena sulitnya bagi pihak lawan mencari celah untuk menyerang Presiden Jokowi.

Menurutnya, Jokowi telah menjalankan pemerintahan dengan baik selama tiga tahun terakhir. Andreas mengakui dari sisi ekonomi, Presiden Jokowi telah melakukan pemerataan pembangunan ke daerah-daerah melalui pembangunan infrastruktur.

Menurutnya, serangan terhadap Pemerintahan Presiden Jokowi tidak saja dari kelompok kanan, namun juga dari kelompok kiri atau kalangan sosialis. Bahan pada saat yang sama serangan isu politik itu bisa saling berbarengan.

Advertisement

“Dalam dua tahun ke depan isu populis yang tidak faktual ini, termasuk soal isu kurangnya kedekatan Presiden Jokowi dengan kalangan Islam dan para ulama,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Institute Policy Studies (IPS) Tri Andika mengatakan bahwa meski berdasarkan kajiannya 60% publik puas dengan kinerja Jokowi. Namun dari sisi ketimpangan ekonomi, situasi dinilainya semakin memburuk.

Dia mengklaim pertumbuhan ekonomi per tahun sebesar 5,0% ternyata tidak memberikan dampak yang mapan terhadap kesejahteraan masyarakat. Baginya, pertumbuhan ekonomi itu sayangnya hanya dinikmati hanya oleh 20% masyarakat Indonesia.

Advertisement

Kondisi itu, ujar Try Andika, diperburuk oleh kemiskinan yang kian mendalam dan munculnya ketimpangan sangat parah. “Meski pemerintah mengklaim gini ratio membaik menjadi 0,39% dari posisi 0,4% sebelumnya, namun koefisen gini tak bisa dijadikan indikator tunggal. Apalagi yang diukur dalam indikator itu adalah tingkat konsumsi,? ujarnya.

“Anjloknya daya beli yang terlihat dari penurunan penjualan properti, ritel dan produk makanan mengonfirmasi bahwa kondisi ekonomi belum membaik akibat menurunnya daya beli,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif