Jogja
Rabu, 18 Oktober 2017 - 10:20 WIB

Cerita Warga Jakarta yang Berburu Air Sisa Jamasan Kereta Kraton Ngayogyakarta

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abdi dalem Kraton sedang mengeringkan kereta Kanjeng Nyai Jimat seusai dijamasi atau dicuci di halaman Museum Kereta, Selasa (17/10/2017). (Ujang Hasanudin)

Ratusan warga memadati halaman Museum Kereta Kraton, yang terletak di pojok Alun-alun Selatan

Harianjogja.com, JOGJA- Ratusan warga memadati halaman Museum Kereta Kraton, yang terletak di pojok Alun-alun Selatan, Selasa (17/10/2017).

Advertisement

Baca juga : Warga Berebut Air Jamasan Kereta di Kraton Ngayogyakarta

Mereka ingin menyaksikan prosesi jamasan atau pembersihan kereta pusaka, namun sebagian besar lebih dari sekadar menyaksikan, melainkan sudah menantikan prosesi tersebut uuntuk mengambil air bekas jamasan yang dipercaya dapat membawa keberuntungan.

Advertisement

Mereka ingin menyaksikan prosesi jamasan atau pembersihan kereta pusaka, namun sebagian besar lebih dari sekadar menyaksikan, melainkan sudah menantikan prosesi tersebut uuntuk mengambil air bekas jamasan yang dipercaya dapat membawa keberuntungan.

Aa dua kereta pusaka yang dijamasi, yakni Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Manik Retno. Namun selain dua kereta tersebut, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjamasi semua pusaka secara tertutup.

Saking tertutupnya, selama dua hari ini Kraton tertutup untuk wisatawan. Kanjeng Nyai Jima dan Kyai Manik Roro selama ini tersimpan di mueum.

Advertisement

Setiap tahun kereta tersebut dibersihkan. Waktu pembersihannya antara Jumat dan Selasa Kliwon. Meski sudah banyak yang mengelupas dibagian kayunya, namun kereta tersebut masih dapat berjalan.

Supaya lebih terawat, seusai dijamasi, kereta ini langsung diolesi minyak kelapa campur minyak cendana.

Sementara Kyai Manik Retno merupakan kereta yang digunakan HB IV sebagai kendaraan untuk jalan-jalan. Kereta tersebut dibuat di Belanda sekitar 1815an. “Kali ini yang mengiringi Kanjeng Nyai Jimat adalah Kyai Manik Retno,” kata Wedono Rono Wiratmo, salah satu abdi dalem disela-sela jamasan. Biasanya pengiring Nyai Jimat tiap tahunnya berbeda-beda.

Advertisement

Sebelum prosesi jamasan dimulai, malam harinya abdi dalem menggelar selamatan atau tirakatan di dalam museum. Tirakatan yang berlangsung sampai tengah malam ini juga dihadiri banyak masyarakat Jogja mau pun luar kota. Paginya lantunan doa-doa dipanjatkan hanya oleh para abdi dalem yang bertugas menjamasi.

Sejak prosesi doa dimulai aroma dupa mulai menyeruak sampai luar museum. Dari luar museum masyarakat semakin bertambah banyak. Meski hujan turun sejak pagi, namun tak menyurutkan mereka untuk tetap mendekat ke Kereta Kanjeng Nyai Jimat. Sebagian besar mereka membawa tempat air dari dirigen, botol, dan plastik.

Namun mereka tidak bisa lebih dekat karena pihak Kraton memberikan pembatas agar masyarakat tertib. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, warga bisa lebih dekat bahkan bisa menadahkan air bekas cucian langsung dari bawah kereta. Kali ini abdi dalem sudah menyiapkan dua gentong air kemudian diisi air bekas jamasan kereta untuk diambil masyarakat.

Advertisement

Air tersebut pun menjadi rebutan. Bahkan sebelum selesai jamasan, air dalam gentong sudah habis. Beberapa dari mereka menggunakan air tersebut cuci muka dan mandi di lokasi. Namun sebagian besar membawa pulang.

Yuniarti, 57, salah satunya. Warga Godean Sleman ini hampir lupa sudah berapa Suro mengikuti tradisi tersebut, saking seringnya. Ia bersama anaknya Jatmiko datang hanya untuk mengambil air bekas jamasan yang diyakini dapat membawa keberkahan. Ia mendapat tiga botol.

Rencananya air tersebut akan dicampurkan ke dalam sumur di rumahnya agar ia bersama keluarganya selalu dalam keadaan sehat, “Untuk keberkahan, biar sehat terus,” ucapnya. Malam harinya, ia sudah datang ke museum untuk tirakatan.

Tradisi yang sudah bertahun-tahun ini juga menarik bagi warga luar daerah. Bahkan Wahyu Mintarsih, 59, warga Tebet, Jakarta Selatan sengaja datang untuk mengambil air.

Sambil berurai air mata ia akan menggunakan beberapa botol air tersebut untuk menyirami area warungnya di Jakarta. “Biar warungnya laris,” kata dia. Ia mengungkapkan akhir-akhir ini warungnya sepi.

Tidak hanya berebut air, warga bahkan berebut beberapa atribut yang digunakan untuk mencuci keret, seperti bunga, jeruk nipis, hingga kain mori.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif