Kolom
Senin, 16 Oktober 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Masyarakat Tertutup Era Keterbukaan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (9/10/2017). Esai ini karya Ichwan Prasetyo, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah ichwan.prasetyo@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO–Masyarakat tertutup mempertahankan keberadaannya melalui ketaatan mutlak kepada perintah yang diyakini benar, terlepas dari apakah kebenaran itu sudah diuji atau belum. Pengujian yang dimaksud mustahil dilaksanakan karena masyarakat tertutup tidak menghendaki tafsir.

Advertisement

Tujuan masyarakat tertutup hanya satu: membangun jaringan untuk melanggengkan tradisi yang menurut pandangan mereka paling murni. Mereka bersiaga menyerang apa dan siapa saja yang mencoba membuka ketertutupan itu.

Ilmu pengetahuan sebagai proses imajinatif yang penuh kebebasan dan kesetiaan kepada fakta tidak mungkin tumbuh dalam masyarakat yang tertutup. Ilmu pengetahuan akan terancam perkembangannya kecuali kita bersama-sama menahan laju pelbagai unsur yang akan menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang tertutup.

Tiga paragraf di atas saya kutip dari bagian akhir teks kuliah terbuka berjudul  Ancaman terhadap Ilmu Pengetahuan yang disampaikan Karlina Supelli, dosen di Program Pascasarjana Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 22 September 2017, di Aula Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Masyarakat tertutup ini menjadi anomali di tengah masyarakat ”terbuka”, masyarakat global, era kesejagatan. Realitasnya memang demikian. Justru era “keterbukaan” itu malah mendorong mengkristalnya masyarakat tertutup. Eksistensi mereka didukung infrastruktur keterbukaan itu.

Apa wujud masyarakat tertutup itu? Sebenarnya kalau kita jeli kita akan mudah menemukan anasir-anasir masyarakat tertutup itu. Mereka bukan masyarakat yang jauh dari pendidikan formal. Mereka bukan masyarakat yang tak berpendidikan. Bukan masyarakat primitif atau suku terasing. Bisa jadi mereka adalah teman-teman kita sendiri atau malah saudara dekat.

Selanjutnya adalah: Masyarat tertutup di era “keterbukaan” ini dibangun oleh pandangan politik

Advertisement

Pandangan Politik

Masyarakat tertutup di era “keterbukaan” ini dibangun oleh pandangan politik, keyakinan adialamiah, ketaatan kepada pemimpin, dan motivasi-motivasi lain. Tentu secara kuantitas kemudian meniscayakan munculnya banyak masyarakat tertutup.

Pada era ”keterbukaan”, era kesejagatan ini, eksistensi masyarakat tertutup yang aneka rupa itu meniscayakan munculnya ”bentrokan”. Sesama masyarakat tertutup saling menegasikan.

Jangan abaikan bahwa antara masyarakat tertutup dan ”masyarakat terbuka” (sebagai antitesisnya) juga selalu bentrok. Masyarakat terbuka kemudian jamak memilih ”sing waras ngalah”.

Sejauh ini, berdasar pengamatan subjektif saya, masyarakat tertutup yang dibangun oleh keyakinan adialamiah dan pandangan politik yang paling dominan mewarnai kehidupan kita hari-hari belakangan ini. Anasir-anasirnya adalah persatuan antara orang-orang berpendidikan (formal) tinggi dan massa yang berpendidikan (formal) rendah. Ada patron, ada klien. Ada pemimpin, ada pengikut.

Ketika mereka menyatu dan berkelindan, keyakinan adialamiah bersatu dengan pandangan politik, muncullah masyarakat tertutup yang berdaya dan kemudian mengagresi sekaligus berusaha menganeksasi wilayah-wilayah sosial politik kita, bahkan ruang-ruang budaya kita.

”Kampanye” masif bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal total menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan indikasi banyak penangkapan tersangka korupsi adalah bagian dari anasir masyarakat tertutup yang dibangun oleh pandangan politik.

Advertisement

Menurut anasir-anasir ”anti-KPK” ini kalau KPK kuat tentu tak ada yang berani korupsi. Ketika fakta menunjukkan koruptor masih ada, korupsi masih terjadi, dan KPK kian sering menangkap tersangka korupsi, itu artinya KPK gagal dan layak dibubarkan. “Kampanye” pandangan demikian ini cukup intensif. Bukankah ini mengagresi dan manganeksasi wilayah sosial politik dan kebudayaan (wilayah ”waras”) mayoritas warga negeri ini?

Selanjutnya adalah: Presiden Joko Widodo berjalan kaki

Berjalan Kaki

Ketika Presiden Joko Widodo berjalan kaki menuju lokasi upacara peringatan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Kamis pekan lalu juga menjadi “panggung” eksistensi masyarakat tertutup yang dibangun oleh kepentingan politik “pokoknya bukan Jokowi”.

Coba Anda perhatikan argumentasi-argumentasi yang muncul dari kalangan ini. Apa pun alasan logis dan tak logis yang mengakibatkan seorang presiden harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer itu ujungnya sama, senada: itu cuma pencitraan (dalam makna negatif), itu diskenario sejak awal agar terkesan sebagai presiden yang merakyat.

Intinya tak ada bagus-bagusnya sedikit pun seorang presiden yang berjalan kaki sejauh tiga kilometer demi bisa datang tepat waktu pada upacara peringatan ulang tahun TNI.

Advertisement

Pada era keterbukaan yang dibangun oleh teknologi komunikasi dan informasi ini kita mudah mengidentifikasi anasir-anasir masyarakat tertutup ini. ”Kampanye” masif ihwal bumi tak seperti bola adalah contoh yang paling mudah.

Mengapa ini bisa muncul dan terjadi? Dari kuliah terbuka yang disampaikan perempuan filsuf Indonesia itu saya menangkap penyebabnya adalah ”mengingkari” ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terancam mati jika tidak ada pagar yang memilah penyataan ilmiah dari klaim-klaim adialamiah.

Ilmuwan tak lagi dapat menjelaskan informasi yang dia himpun selain mengatakan semua itu adalah hasil campur tangan kekuatan yang tidak dapat dia deskripsikan. Ilmu pengetahuan tak memiliki sarana untuk mengevaluasi gejala yang tidak dapat diamati, diukur, dan ditata menurut prosedur keilmuan.

Menurut Karlina, tanpa mengikuti prosedur itu sulit membayangkan ilmuwan yang berbeda-beda dapat saling menguji dan mengoreksi teori. Tanpa proses intersubjektif, kesahihan penjelasan ilmiah tidak dapat diandalkan. Tanpa proses intersubjektif tidak mungkin ada kritik. Tanpa kritik, tidak ada ilmu pengetahuan.

Sistem pendidikan yang secara konseptual merancukan kompetensi ilmiah dengan pendidikan karakter dan pendidikan rohani melalui kurikulum yang menjadikan penghayatan dan pengamalan agama sebagai tolok ukur utama bagi setiap bidang ilmu di semua jenjang pendidikan (SD hingga S3); tradisi ilmiah yang belum tumbuh mantap; masyarakat yang dimanjakan algoritma mesin pencari di Internet sehingga semua hal yang tidak disukai dan kelompok yang bukan kawan serta gagasan berbeda dinegasikan; dan aneka ”fakta alternatif” tersebar luas dan bebas dipilih sesuai selera adalah realitas “keterbukaan” yang membangun eksistensi masyarakat tertutup.

 

 

Advertisement

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif