Jogja
Kamis, 12 Oktober 2017 - 17:40 WIB

Mengapa Praktik Pemasungan di Gunungkidul Masih Marak?

Redaksi Solopos.com  /  Bhekti Suryani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Gunungkidul Irfan Ratnadi menunjukan foto salah seorang penderita ganguan jiwa yang dibebaskan dari pemasungan untuk kemudian dirawat di RS Grhasia, Sleman. Rabu (11/10/2017). (David Kurniawan/JIBI/Harian Jogja)

Warga seringkali memilih memasung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL— Sebanyak 42 orang masih mengalami praktik pemasungan di Gunungkidul kendati pemerintah telah mencanangkan DIY bebas pemasungan sejak 2014 lalu. Faktor minimnya pemahaman keluarga terkait pemasungan ditengarai menjadi salah satu penyebab masih maraknya praktik tersebut.

Advertisement

Data dari Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul mencatat ada 42 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang menjalani kesehariannya dengan dipasung. Padahal jika mengacu pada Peraturan Gubernur No.81/2014 tentang Pedoman Penanggulangan Pemasungan, setiap orang yang mengalami gangguan kejiwaan harus menjalani pengobatan hingga sembuh, tanpa menjalani proses pemasungan.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Gunungkidul, Irfan Ratnadi mengatakan, jumlah penderita gangguan jiwa yang dipasung masih tinggi. Di data awal, terdapat 46 penderita yang dipasung, namun setelah dilakukan berbagai pendekatan terdapat empat penderita yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Grhasia. “Saat ini masih ada 42 penderita yang dipasung. Namun, kami akan terus berusaha agar wilayah Gunungkidul bisa bebas dari pemasungan,” kata Irfan saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (11/10/2017).

Menurut dia, masih adanya ODGJ yang dipasung karena ketidaktahuan keluarga. Oleh karenanya, dinas sosial akan terus berusaha memberikan pemahaman kepada keluarga agar penderita dapat menjalani perawatan. Namun demikian, sambung Irfan, upaya tersebut tidaklah mudah karena banyak keluarga yang enggan dipisah meski demi alasan penyembuhan. “Sudah banyak kasus dan upaya pembebasan dari pasung tidak mudah karena butuh pendekatan ekstra,” kata mantan Kasubag Protokol ini.

Advertisement

Menurut dia, tindakan pemasungan oleh keluarga dilakukan dengan dalih agar tidak melakukan perusakan dan membayakan jiwa orang lain. Namun demikian, sambung Irfan, apapun alasnya tersebut tidak dibenarkan karena secara klinis penderita dapat disembuhkan dengan rutin menjalani pengobatan. “Ini yang akan kami sosialisasikan ke warga bahwa ODGJ dapat disembuhkan dan dapat hidup normal asal mau melakukan pengobatan secara rutin,” tutur dia.

Pemasungan terhadap ODGJ tidak hanya dengan memasang balok kayu ke kaki dan tangan penderita. Namun upaya lain juga dilakukan seperti merantai, mengurung di dalam kamar tertutup hingga mengikat tubuh para penderita.

Psikiater Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari Ida Rochmawati menilai kasus pemasungan yang terjadi merupakan kasus lama yang diulang. Pada umumnya mereka sudah pernah mengakses layanan kesehatan jiwa namun tidak berkelanjutan sehingga penyakit yang diderita kembali kambuh. Keluarga akhirnya memilih melakukan pemasungan kembali. “Kesadaran masyarakat tentang kesehatan jiwa masih kurang. Jadi ini tantangan yang harus disosialisasikan sehingga kasus pasung dapat dihilangkan,” katanya.

Advertisement

Anggota Yayasan Inti Mata Jiwa, Sigit Wage Daksinarga mengatakan, penanganan ODGJ di Gunungkidul tidak mudah. Ia mencatat hingga saat ini ada sekitar 2.000 penderita ganguan jiwa. meski tidak semua penderita di pasung, namun keberedaan mereka sulit mengakses jaminan kesehatan karena tidak memiliki KTP Elektronik.

Padahal sambung dia, untuk pengobatan, setiap pasien harus mengeluarkan biaya Rp300.000 setiap bulan untuk membeli obat. “Saya kira pemerintah harus ikut berperan dengan memberikan akses kesehatan. Jadi kalau itu bisa dilakukan maka tindakan pemasungan dapat dicegah,” kata Sigit.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif