Jogja
Selasa, 10 Oktober 2017 - 22:40 WIB

Pemkab Gunungkidul Janji Lindungi Penganut Kepercayaan

Redaksi Solopos.com  /  Bhekti Suryani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah siswa mengarak lambang Garuda Pancasila dalam karnaval Parade Kolosal Kebangsaan SMKN 1 Bawen, Kabupaten Semarang, Jateng, Rabu (20/9/2107). (JIBI/Solopos/Antara/Aditya Pradana Putra)

Pemkab Gunungkidul menyatakan akan menjamin hak warga penganut kepercayaan.

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL— Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul berjanji menjamin hak ratusan warga penganut kepercayaan yang ada di wilayah ini. Mereka akan dilindungi dan dijamin hak-haknya sesuai dengan undang-undang.

Advertisement

Pemkab menggelar sarasehan dengan sejumlah penghayat kepercayaan di Aula Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul, Senin (9/10/2017) pagi. Selain dihadiri Majelis Luhur Kepercayan Terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI), Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), juga hadir sejumlah pejabat di lingkup Pemkab Gunungkidul lainnya.

Kepala Disdukcapil Gunungkidul, Eko Subiantoro mengatakan, di Gunungkidul ada sekitar 400 warga yang tercatat sebagai penghayat kepercayaan. Sehingga kolom agama dikosongkan. Pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan telah diatur dalam UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Hal itu, diperkuat dengan adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negri Nomor 470/1989/MD tertanggal 19 Mei 2008 mengenai Pelayanan Administrasi Kependudukan Bagi Penghayat Kepercayaan yang diberikan kepada gubernur dan bupati/wali kota. “Realisasi belum jalan sepenuhnya, tapi pastikan hak-haknya akan kami jamin sesuai dengan aturan yang ada,” kata dia, Senin (9/10/2017)

Advertisement

Dalam Undang-undang memberikan perlindungan bagi penghayat termasuk masalah pernikahan. Eko mencontohkan, seorang pemuka penghayat kepercayaan, berhak menikahkan para penghayat. Nantinya, Disdukcapil akan mengeluarkan akta pernikahan. “Setelah menikah, kami yang keluarkan suratnya,” jelas dia

Salah satu penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara Kejawen Urip Sejati, Suroso mengakui bersama dengan sekitar 800 pengikut, ia tak memiliki agama resmi. Dia mengungkapkan, pada awalnya memang banyak penghayat yang mendapatkan diskriminasi. Namun setelah diterbitkan UU No 23 tahun 2006, mereka sudah mulai bisa diterima masyarakat. Meski diakuinya untuk masyarakat, dan petugas di lapangan seringkali tak mengetahui implementasinya.

“Selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat tak ada penolakan, secara bermasyarakat penghayat hidup berdampingan. Memang awal kami masa lalu sering terjadi benturan oleh oknum. Sejak uu terbit (UU No 23 Tahun 2006) sudah tidak ada,” kata pria yang kerap menjadi penghulu pernikahan bagi warga penghayat kepercayaan ini.

Advertisement

Selain itu, dia juga mengakui tidak ada diskriminasi lagi di lembaga pendidikan. Salah seorang anaknya yang duduk di bangku SD kini tak lagi dipaksa untuk belajar agama resmi, namun pelajaran agama diganti pelajaran budipekerti.

Sementara itu, anggota presidum MLKI, Bugisuwanto menambahkan aliran kepercayaan di Indonesia total terdapat 156 paguyuban. Mereka tergabung dalam MLKI, sebagai wadah bagi penghayat kepercayaan dan komunitas kepercayaan adat di Indonesia. Untuk wilayah DIY paling besar pengikutnya adalah Sapta Dharma, dengan pengikut hampir seluruh Indonesia.

Diakuinya saat ini memang tidak banyak penghayat kepercayaan dari generasi baru, sebagian besar sudah berusia di atas 50 tahun. “Di DIY (penghayat) berusia 50 an tahun, tetapi ada juga yang berusia muda terutama di Kulonprogo karena disana sifatnya bela diri,” tuturnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif