Kolom
Minggu, 8 Oktober 2017 - 08:00 WIB

GAGASAN : Pajak Penulis

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Aslam

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (5/10/2017). Esai ini karya Muhammad Aslam, praktisi perpajakan yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah aslam_boy@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Penulis Tere Liye menghentikan kontrak dengan dua penerbit buku yaitu PT Gramedia Pustaka Utama dan Republika per 31 Juli 2017 karena kecewa terhadap sistem pengenaan pajak kepada dirinya sebagai penulis.

Advertisement

Ia merasa beban pajak yang harus ditanggungnya lebih tinggi dibanding profesi lainnya seperti dokter, akuntan, artis, motivator, hingga arsitek. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Di dalam administrasi perpajakan penulis dikategorikan sebagai pekerja bebas.

Wajib pajak yang masuk dalam kategori pekerja bebas dan berpenghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun dapat memilih menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 17/PJ/2015.

Syaratnya yaitu wajib pajak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 4/PJ/2009; wajib pajak memberitahukan mengenai penggunaan NPPN kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan; dan besarnya NPPN bagi penulis buku adalah 50% dari penghasilan bruto (honorarium maupun royalti dari penerbit).

Advertisement

Apabila seorang penulis berpenghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka penghasilan netonya diakui (menurut pajak) sebesar 50%, kemudian dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP), baru dikenai pajak sesuai tarif progresif Pasal 17.

Sebagian besar penulis menyerahkan urusan pajak kepada penerbit karena penerbit bertindak sebagai pemotong pajak. Penerbit memberikan bukti potong pajak penghasilan Pasal 23 kepada penulis. Akar permasalahan dalam pajak penulis buku adalah tarif pemotongan pajak penghasilan Pasal 23 atas royalti penulis buku sebesar 15%.

Dengan tarif pemotongan pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 15% maka pajak terutang seorang penulis buku berpotensi lebih bayar saat ia melaporkan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahunan orang pribadi.

Jika seorang penulis hanya mengandalkan royalti sebagai satu-satunya sumber penghasilan maka penghasilan neto dari royalti tersebut diakui (menurut pajak) hanya 50%, padahal penerbit sudah memotong penuh sesuai tarif pajak penghasilan Pasal 23 atas royalti tersebut.

Advertisement

Selanjutnya: Keluhan tingginya tarif pajak royalti penulis buku…

Royalti

Keluhan tingginya tarif pajak royalti penulis buku pernah disampaikan pada 2015 saat Menteri Keuangan dijabat Bambang Brodjonegoro. Jika tarif pemotongan pajak penghasilan Pasal 23 atas royalti penulis diturunkan akan membantu cash flow penulis. Banyak penulis yang mengalami kesulitan mengatur keuangan pribadi/keluarganya maupun biaya riset, biaya perjalanan, peralatan kerja, biaya promosi, dan biaya-biaya lainnya.

Aspirasi perubahan ketentuan tersebut harus melalui revisi UU Pajak Penghasilan antara pemerintah bersama DPR. Protes pajak penulis bukan terjadi kali ini saja. Seorang tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), Njoto,  pernah menyinggung pajak penulis dan seniman dalam ceramahnya yang berjudul Utamakan Sektor Ekonomi Negara untuk Meringankan Pajak Rakyat di hadapan mahasiswa Fakultas Teknik di Bandung dan dimuat Harian Rakjat edisi 27 Septemper 1956.

Advertisement

Njoto menyebut penulis Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan lain sebagainya berkali-kali mengeluh tentang pajak yang dikenakan. Mereka mengeluh tidak bisa dan tidak mungkin membayar pajak yang dibebankan. Menurut Njoto, pajak ini akan mematikan daya cipta, kehidupan kesenian, kebudayaan, dan lain sebagainya (www.historia.id).

Bagi penulis buku, royalti adalah salah satu sumber penghasilan, namun pemberian royalti tidak rutin setiap hari atau setiap bulan. Royalti diberikan penerbit secara berkala, ada yang setahun empat kali (triwulanan), setahun tiga kali (kuartal), atau setahun dua kali (semesteran). Tergantung perjanjian atau kesepakatan antara penulis dan penerbit.

Selain itu, sumber penghasilan penulis buku yang lain adalah menjual secara online, penulis pendamping (co-writer), penulis bayangan (ghost writer), penulis artikel opini (kolumnis), ikut lomba menulis, narasumber/pembicara seminar/diskusi/talkshow, bedah buku, dan lain sebagainya.

Selanjutnya adalah: Di tengah rendahnya budaya literer…

Advertisement

Budaya literer

Di tengah rendahnya budaya literer di Indonesia, tingginya beban pajak justru membuat masyarakat semakin sulit untuk keluar dari kebiasaan malas membaca sebab akan berdampak mahalnya harga buku sehingga memengaruhi minat baca masyarakat.

Dalam puncak perayaan Hari Literasi Internasional 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis data masih ada 3,4 juta warga Indonesia yang buta aksara, bahkan ada 11 provinsi yang angka buta aksaranya melebihi rata-rata nasional.

Kompleksitas mata rantai industri perbukuan dan perpajakan merupakan salah satu alasan sebagian penulis buku yang melakukan self publishing atau menerbitkan buku dengan biaya sendiri kemudian menjualnya secara online. Fungsi penerbit hanya kurasi atau penyaring untuk memastikan buku-buku yang diterbitkan merupakan buku-buku bermutu dan layak dibaca.

Model penjualan buku seperti ini juga mempunyai implikasi pajak seperti pajak penghasilan 1% dari penjualan jika penjualannya kurang dari Rp4,8 miliar setahun atau wajib memungut pajak pertambahan nilai 10% dari penjualan jika penjualannya lebih dari Rp4,8 miliar setahun.

Di Indonesia penulis merupakan profesi yang menantang tetapi tidak menjanjikan secara finansial, kurang dihargai secara sosial, dan berisiko secara politis. Seorang penulis memerlukan waktu enam bulan hingga setahun untuk merampungkan satu buku. Waktu tersebut merupakan investasi terbesar penulis, namun pembayaran royalti sering kali tersendat-sendat.

Advertisement

Akhirnya, menulis menjadi pekerjaan sampingan serta menulis merupakan pengabdian, kepuasan batin, dan aktualisasi diri. Penghasilan seorang pencipta lagu juga bersumber dari royalti. Seorang pencipta lagu membutuhkan waktu beberapa hari hingga sebulan untuk menyelesaikan satu lagu, bahkan tidak sedikit atau tidak jarang lagu yang diciptakan dalam hitungan jam atau menit.

Selanjutnya adalah: Royalti pencipta lagu dengan penulis berbeda…

Pencipta lagu

Pola pemberian royalti pencipta lagu dengan penulis juga berbeda. Royalti pencipta lagu bisa diberikan rutin setiap bulan setelah lagu itu dinyanyikan di panggung maupun diputar di tempat hiburan karaoke. Penulis harus menunggu terjualnya buku dalam jangka waktu tertentu, padahal kebutuhan hidup berjalan terus dari hari ke hari.

Pemerintah diharapkan tidak hanya memikirkan penerimaan pajak yang berpotensi tidak memenuhi target atau shortfall. Pajak penulis hanyalah sebagian kecil dari persoalan kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri perbukuan di Indonesia. Peran pemerintah dalam memajukan dunia literer melalui kebijakan perpajakan sangat diperlukan.

Langkah teknisnya bisa dengan membedakan tarif pengenaan pajak buku terjemahan dengan buku yang ditulis asli (original) oleh penulis lokal (Indonesia), menurunkan tarif pemotongan pajak penghasilan Pasal 23 atas royalti, memberikan perlindungan terhadap pembajakan karya penulis yang sangat nyata merugikan, dan lain sebagainya. Kebijakan perpajakan dalam industri perbukuan dari hulu hingga hilir perlu ditata ulang dan penegakan hukum juga harus ditingkatkan.

Buku adalah jendela dunia yang seharusnya bisa dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat. Selama ini para penulis telah berkomitmen tinggi untuk menebarkan semangat dan inspirasi kebaikan kepada masyarakat dengan menulis. Di tengah minimnya penulis berkualitas dan rendahnya animo masyarakat untuk berprofesi sebagai penulis, diperlukan berbagai insentif agar melahirkan penulis-penulis baru yang berkualitas.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif