News
Kamis, 5 Oktober 2017 - 04:00 WIB

Pendidikan Inklusif Berkembang Pesat, Kualitas Dipertanyakan

Redaksi Solopos.com  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Acara Walk with Autism di Solo (JIBI/Solopos/Dok)

Kualitas pendidikan inklusif dipertanyakan.

Solopos.com, SOLO — Meski pendidikan inklusif berkembang pesat di Indonesia namun kualitasnya dipertanyakan. Tantangan lain terkait masih terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang memahami layanan siswa berkebutuhan khusus. Ada budaya segregrasi yakni keberhasilan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) selalu diawali dari sekolah luar biasa (SLB).

Advertisement

Hal itu dijabarkan Ketua Program Studi (Kaprodi) Program S3 Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo , Gunarhadi, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar yang digelar dalam Sidang Senat Terbuka di Auditorium UNS Solo, Selasa (3/10/2017).

Gunarhadi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Pembelajaran Inklusif. Orasi ilmiahnya mengangkat mengenai cluster sebagai model pembelajaran humanistik ramah anak pada sekolah inklusif.

Beberapa tantangan lain adalah pemaksaan pendidikan inklusif dengan model penuh. “Anak-anak yang sebenarnya memiliki potensi keunikan hebat cenderung terabaikan. Anak-anak lamban belajar dan kesulitan belajar cenderung makin tertinggal,” papar dia.

Advertisement

Pendidikan inklusif merupakan wadah ideal bagi ABK mengakses pendidikan. Dengan terbatasnya jumlah SLB saat ini, pendidikan inklusif wajib mengangkat nilai sosial humanistik. Untuk itu perlu layanan pembelajaran yang terdiferensiasi atau berbeda kegiatan belajar mengajar.

Cara berbeda ini bisa dilakukan karena memungkinkan pengembangan psikopedagogik untuk memacu motivasi dan mengangkat self-esteem (harga diri) anak didik. “Saya menawarkan cluster sebagai solusi atas hambatan pada kelas inklusif penuh. Karena cluster sebetulnya dapat dilaksanakan dalam bentuk kelas khusus, cluster pull out, atau cluster baur,” terang dia.

Alasan penggunaan cluster adalah memadukan paradigma segregatif dengan integratif. Ada pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil secara terpisah yang dilakukan di lingkungan sekolah baik yang berbentuk kelas khusus, cluster pull out, atau cluster baur pada sekolah inklusif.

Advertisement

Pembelajaran cluster dilaksanakan secara temporal kepada anak yang tertinggal dalam kegiatan akademik. Sebagian besar waktu lainnya dimanfaatkan untuk berinteraksi dalam kebersamaan dengan teman-teman pada umumnya.

Namun, menurut Gunarhadi, cluster hanyalah jembatan transisi menuju sekolah inklusif penuh. Kedua, setiap sekolah sesungguhnya dapat menyelenggarakan model cluster berupa kelas khusus di lingkungan sekolah reguler. Ketiga, SLB bisa bergabung dengan sekolah reguler untuk membentuk Sekolah Inklusif Satu Atap.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif