Jogja
Rabu, 4 Oktober 2017 - 14:55 WIB

Di Balik Penggantian Nama Ring Road Jogja, Ada Rekonsiliasi Kultural Jawa dan Sunda

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan enam nama ruas jalan di kawasan DIY, Selasa (3/10/2017). (Gigih M. Hanafi/JIBI/Harian Jogja)

Penamaan Jalan Arteri atau Ring Road Jogja dengan menggunakan nama Pajajaran, Siliwangi, Majapahit dan Brawijaya diharapkan bisa dijadikan ajang untuk melakukan  rekonsiliasi kultural

Harianjogja.com, SLEMAN–Penamaan Jalan Arteri atau Ring Road Jogja dengan menggunakan nama Pajajaran, Siliwangi, Majapahit dan Brawijaya diharapkan bisa dijadikan ajang untuk melakukan rekonsiliasi kultural antara dua suku, yakni Jawa dan Sunda. Upaya ini perlu dilakukan agar perjalanan bangsa lebih lancar dalam menatap masa depan.

Advertisement

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, suku Jawa dan Sunda sebagai dua suku besar di Indonesia sepertinya punya sejarah pertikaian yang hingga saat ini belum usai. Ia menyatakan, riwayat pertikaian tersebut kemudian juga menular hingga Republik Indonesia berdiri.

Hal ini terbukti dari adanya pembagian periode seperti Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi, “Sepertinya bangsa ini penuh dengan kebencian, dendam dan prasangka,” katanya saat peresmian Jalan Arteri di Perempatan Jombor, Sleman, Selasa (3/10/2017).

Advertisement

Hal ini terbukti dari adanya pembagian periode seperti Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi, “Sepertinya bangsa ini penuh dengan kebencian, dendam dan prasangka,” katanya saat peresmian Jalan Arteri di Perempatan Jombor, Sleman, Selasa (3/10/2017).

Selain Sultan, peresmian tersebut juga dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Walikota Bandung Ridwan Kamil dan Sekretaris Daerah Jawa Timur Ahmad Sukardi.

Sultan mengaku, ia merasa prihatin dengan keadaan tersebut. Ia beranggapan apakah tidak mungkin sejarah yang penuh dengan kekeliuran dan kesalahan itu bisa dimaafkan. Sehingga tidak ada lagi kebencian, dendam, dan prasangka antara satu dengan yang lainnya.

Advertisement

Ia menyatakan, para pelaku sejarah bagaimana pun adalah manusia yang tidak terlepas dari kesalahan, kekhilafan dan kepentingan karena itulah perlu kesadaran untuk bisa memaafkan apa yang terjadi di masa silam. Namun, meski demikian juga harus ada penyadaran agar apa yang terjadi dalam sejarah tidak terulang kembali.

Bersambung halaman 2 : mengulangi kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit

Sultan berharap, rekonsiliasi kultural nantinya bisa membuat suku-suku yang ada di Indonesia bisa saling membangun sikap yang sama dalam menatap perjalanan bangsa.

Advertisement

Sultan berharap, rekonsiliasi kultural nantinya bisa membuat suku-suku yang ada di Indonesia bisa saling membangun sikap yang sama dalam menatap perjalanan bangsa.

Rekonsiliasi kultural, imbuhnya, sangat dibutuhkan Bangsa Indonesia jika ingin kembali mengulangi kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit pada masa lalu.

Pasalnya, kata Sultan, kemajuan sebuah bangsa tidak akan bisa diraih tanpa kerja bersama. Jika masih ada prinsip-prinsip ke-aku-an yang sulit menerima kehadiran mereka yang berbeda maka akhirnya bangsa pun jadi terkotak-kotak dan sulit untuk maju.

Advertisement

“Peresmian nama jalan ini juga bisa dijadikan wahana untuk mawas diri dalam mengingatkan kita agar tidak mudah berprasangka. Karena prasangkan adalah benih yang bisa menciptakan keakuan,” ucapnya.

Sesuai dengan Keputusan Gubernur DIY Nomor 166/KEP/2017 tanggal 24 Agustus 2017, Jalan Arteri di Jogja memiliki nama-nama sebagai berikut : Siliwangi (Simpang Empat Pelemgurih hingga Simpang empat Jombor), Padjajaran (Simpang empat Jombor sampai Simpang tiga Maguwoharjo), Majapahit (Simpang Tiga Janti-Simpang empat Jl. Wonosarai) dan Brawijaya (Simpang empat Dongkelan-Simpang Tiga Gamping.

Selain nama-nama yang sudah disebutkan diatas, beberapa ruas Jalan Arteri mencantumkan nama tokoh-tokoh nasional. Diantaranya adalah Jenderal TNI, Ahmad Yani (Simpang empat Jl. Wonosari-Simpang empat Jl Imogiri Barat) dan Mantan Ketua Mahkamah Agung, Profesor Wirjono Projodikoro (Simpang empat Jl Imogiri Barat-Simpang empat Dongkelan).

Bersambung halaman 3, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyambut baik…

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyambut baik apa yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyambut baik apa yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY. Menurutnya, hal tersebut adalah gagasan yang bagus dalam membangun persaudaraan yang kokoh antara suku Jawa dan Sunda.

Ia menyebut, persaudaraan diantara dua suku perlu terus digalakkan karena peristiwa sejarah bernama Perang Bubat (1357) menghadirkan sekat tersendiri. Perang Bubat adalah perang yang mengakibatkan terbunuhnya Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda oleh pasukan Majapahit.

Peristiwa ini sendiri masih menjadi perdebatan hingga kini.
“Cerita detailnya memang tidak didapatkan. Prasastinya tidak ada. Yg ada hanya manuskrip yang ditulis 117 tahun kemudian. Tentu ada bias. Tapi peristiwan ini meninggalkan beban psikologi yang muncul di saat-saat tertentu bagi masyarakat Sunda,” jelasnya.

Hal ini, menurutnya bisa dilihat dari budayayang melarang lelaki Sunda menikahi wanita Jawa. Yang boleh, kata Aher, sapaan akrabnya, adalah wanita Sunda menikahi lelaki Jawa.

“Perasan buruk dan sentimen akibat peristiwa masa lalu perlu diakhiri. Ikatan persaudaraan yang lebih kuat tentu akan lebih bagus. Kami Sangat bahagia dengan gagasan dari Sultan ini,” ucapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif