Soloraya
Selasa, 3 Oktober 2017 - 11:15 WIB

BATIK KLATEN : Pakai Pewarna Alami, Perajin Batik Kebon Raup Omzet Rp100 Juta/bulan

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sebanyak 100 perajin batik di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Klaten, membatik di kain sepanjang 300 meter di tepi jalan desa setempat, Senin (2/10/2017). (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Seratusan perajin membatik bareng pada perayaan Hari Batik Nasional di Bayat, Klaten.

Solopos.com, KLATEN — Sebanyak 100 orang membatik di tepi jalan di depan kantor Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Senin (2/10/2017). Tak hanya perajin, para siswa sekolah dasar (SD) setempat juga ikut membatik pagi itu.

Advertisement

Mereka membatik bersama-sama di kain sepanjang 300 meter untuk merayakan Hari Batik Nasional yang jatuh 2 Oktober. “Untuk motif yang digambar di kain ini sesuai selera masing-masing pembatik,” kata salah seorang perajin batik Jayem di sela kegiatannya membatik.

Dia menyebut warga Desa Kebon terutama kaum perempuan sudah terbiasa membatik. Mereka mendapat ilmu membatik secara turun temurun. Motif batik yang digambar yakni klasik dan kontemporer dengan memanfaatkan suasana alam desa setempat seperti tumbuh-tumbuhan, bunga, dan pegunungan.

Advertisement

Dia menyebut warga Desa Kebon terutama kaum perempuan sudah terbiasa membatik. Mereka mendapat ilmu membatik secara turun temurun. Motif batik yang digambar yakni klasik dan kontemporer dengan memanfaatkan suasana alam desa setempat seperti tumbuh-tumbuhan, bunga, dan pegunungan.

Ketua kelompok pembatik Desa Kebon, Suminah, mengatakan awalnya para pembatik di desa setempat mengerjakan pesanan dari para juragan sehingga penghasilan mereka juga minim. Namun, kondisi itu berubah setelah gempa bumi mengguncang Jawa Tengah dan Yogyakarta pada Mei 2006.

Dia menambahkan warga Desa Kebon mendapat pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkonsentrasi menjalankan program rekonstruksi pascagempa.

Advertisement

Para perajin batik di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Klaten, membatik di kain sepanjang 300 meter di tepi jalan desa setempat, Senin (2/10/2017). (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Sejak saat itu, lambat laun usaha batik Desa Kebon bangkit hingga pada 2010 warga membentuk kelompok batik. Tak hanya membentuk kelompok, warga juga mendirikan show room dan koperasi yang berfungsi sebagai pusat pemasaran serta menyediakan bahan baku. Pewarnaan alami menjadi ciri khas batik dari Desa Kebon, yakni menggunakan daun, buah, serta kulit tumbuhan.

Bendahara kelompok perajin batik Desa Kebon, Dalmini, mengatakan saat ini anggota kelompok mencapai 200an orang dari 159 orang. Batik tulis karya warga Kebon merambah hingga pasar mancanegara seperti Jepang, Korea, serta Amerika.

Advertisement

Pengerjaan batik tulis dibagi sesuai kemampuan anggota kelompok terdiri dari para perempuan seperti bertugas menggambar motif, membatik, serta mewarnai. Proses penjualan hasil karya batik melalui show room milik kelompok. Omzet setiap tahunnya terus berkembang. Pada 2017, omzet rata-rata perbulan kelompok batik tersebut antara Rp50 juta hingga Rp100 juta.

Sementara, penghasilan masing-masing anggota kelompok bervariasi tergantung jumlah kain yang dibatik setiap bulannya. Paling sedikit perajin di desa itu mendapat penghasilan Rp600.000 sebulan. Sementara, pembatik yang produktif bisa mendapat penghasilan hingga Rp5 juta sebulan.

Usaha membatik yang kian berkembang berdampak pada semakin berkurangnya warga yang merantau. “Dulu banyak suami merantau sementara istri di rumah membatik. Sekarang suami bisa lebih banyak di rumah karena membantu batik seperti menggambar motif atau mewarnai,” kata dia.

Advertisement

Head of Culture UNESCO Jakarta, Bernards Alens Zako, mengatakan kedatangan UNESCO ke Desa Kebon merupakan bagian dari hasil survei terkait program pemberdayaan anak muda di beberapa kabupaten yang digulirkan UNESCO.

“Kami melihat kreativitas batik sebagai warisan budaya sangat berkembang di sini. Fokus kami pada pengembangan anak muda. Salah satu kenapa kami melakukan pendampingan di sini melalui survei karena menangkap kegelisahan kaum ibu yang khawatir regenerasi akan hilang,” kata Bernards.

Bernards menjelaskan UNESCO membatu untuk mengatasi permasalahan regenerasi itu melalui pelatihan hingga pengembangan usaha dan promosi. “Dari pendampingan ini kami harapkan jumlah anak muda yang tertarik membatik semakin meningkat,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif