Soloraya
Sabtu, 23 September 2017 - 14:45 WIB

ASAL USUL : Asale Dukuh Cabean Klaten dari Mitos Ular Cabai

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana di Dukuh Cabean, Desa Jetis, Juwiring, Klaten, Rabu (6/9/2017). (Cahyadi Kurniawan/JIBI/Solopos)

Asal usul penamaan Dukuh Cabean dari cerita mistis tentang ular cabai.

Solopos.com, KLATEN — Di Desa Jetis, Kecamatan Juwiring, Klaten, terdapat sebuah dukuh di tengah sawah. Dukuh berpenduduk 27 keluarga itu berjarak sekitar 500 meter dari Kantor Desa Jetis. Kendati dekat, kepala desa setempat tak satu pun menyambangi dukuh itu.

Advertisement

Nama dukuh dengan luas kurang dari satu hektare itu diambil dari nama ular cabai. Ular cabai disebut-sebut sebagai makhluk gaib “penunggu” kawasan itu.

“Konon di sana ada penunggu atau sing bahureksa yaitu sejenis ular cabai. Maka itu dukuh itu dinamai Dukuh Cabean,” ujar Sri Sumedi, Kepala Desa Jetis, saat ditemui di kantornya, Rabu (6/9/2017).

Sumedi menerangkan ada beberapa hal unik yang terjadi di dukuh itu, misalnya, tidak ditemukan satu lubang pun di sana. Ketika membikin jugangan atau lubang untuk tempat sampah, warga cepat-cepat menutup galian agar rata dengan tanah.

Advertisement

Begitu pula saat menggali untuk bikin fondasi rumah, galian harus kembali rata dengan tanah sebelum petang. “Jika ada lubang, dikhawatirkan si ‘penunggu’ jatuh ke lubang itu dan terjadi pagebluk,” terang Sumedi.

Selain itu, tak seorang pun lurah atau kepala desa menyambangi dukuh itu walaupun untuk melayat. Jika ada lelayu, pemerintah desa mengirim utusan selain kepala desa untuk menemui keluarga berduka.

Hal serupa juga dilakukan ketika hajatan ataupun acara lainnya. “Kalau lurah ke sana diyakini bakal terjadi hal-hal tak diinginkan kepada si lurah tadi. Saya pun pernah ke sana sekali tapi saat nyalon,” ujar dia, seraya tertawa.

Advertisement

Pantangan itu disebut-sebut pernah terjadi saat seorang lurah mendatangi salah satu keluarga di dukuh itu yang menjadi korban pencurian.

Tak lama kemudian, lurah itu sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia. “Benar atau tidaknya, kepercayaan itu masih dipegang warga hingga kini,” pungkas Sumedi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif