Soloraya
Jumat, 22 September 2017 - 14:00 WIB

Ada Blind Code, Lembaran Rupiah Lebih Mudah Dikenali Warga Tunanetra

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seorang tunanetra meraba blind code yang tercetak dalam uang kertas baru dalam sosialisasi yang digelar Bank Indonesia (BI) Solo di Kampung Baru, Kelurahan Bareng Lor, Klaten Utara, Rabu (20/9/2017). (Cahyadi Kurniawan/JIBI/Solopos)

Sosialisasi uang rupiah baru menyasar kalangan tunanetra di Klaten.

Solopos.com, KLATEN — Uang rupiah emisi 2016 dinilai lebih ramah difabel khususnya bagi orang tunanetra. Uang baru memiliki blind code yang memudahkan warga tunanetra menilai nominal uang kertas secara tepat.

Advertisement

Blind code yang disematkan Bank Indonesia (BI) dalam uang kertas itu berupa dua garis miring di tepi kiri dan kanan uang. Garis itu tercetak timbul yang memudahkan penyandang tunanetra meraba. Setiap pecahan memiliki jumlah garis berbeda.

Eko Suwasto, 60, pengajar Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Asuhan Anak-anak Tuna (YAAT) Klaten, menerangkan uang pecahan Rp100.000 memiliki sepasang blind code, sedangkan Rp50.000 memiliki dua pasang blind code. Jumlah itu semakin banyak seiring nilai pecahan yang semakin kecil.

Advertisement

Eko Suwasto, 60, pengajar Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Asuhan Anak-anak Tuna (YAAT) Klaten, menerangkan uang pecahan Rp100.000 memiliki sepasang blind code, sedangkan Rp50.000 memiliki dua pasang blind code. Jumlah itu semakin banyak seiring nilai pecahan yang semakin kecil.

“Teman-teman bisa menghitung geret-geret [blind code] di tepi kiri dan kanan uang. Kalau jumlahnya tujuh itu artinya Rp1.000. Kalau jumlahnya satu itu artinya Rp100.000,” ujar dia saat memeragakan cara mengenali uang kertas di hadapan peserta sosialisasi dai BI yang kebanyakan tuna netra di Gedung LBK, Kampung Kampung Baru, Kelurahan Bareng Lor, Klaten Utara, Rabu (20/9/2017).

Eko menilai uang ini lebih mudah untuk menentukan nilai pecahan uang kertas ketimbang jenis uang sebelumnya. Sebelumnya, BI membedakan pecahan uang kertas dengan variasi ukuran dan tanda bulat serta segitiga yang tercetak dalam uang.

Advertisement

Pengalaman pahit akibat pemalsuan uang dialami Suhartono, Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) DPC Klaten. Ia pernah menerima uang palsu dengan pecahan Rp20.000, Rp50.000, dan Rp100.000 yang merupakan upah dia memijat.

Uang palsu itu sampai sekarang masih ia simpan di rumah. “Rasanya sakit hati masih terbawa sampai sekarang. Ini uangnya masih saya simpan buat membedakan dengan yang asli,” ujar dia.

Warga Dukuh Kepil Baru, Jebugan, Klaten Utara, itu memberikan tips membedakan uang palsu dan asli selain diraba. Uang asli, jika dikibas-kibaskan akan terdengar bunyi kresek-kresek karena bahannya lebih kaku. Sedangkan, uang palsu tak terdengar apa-apa jika dilakukan perlakuan serupa. “Dengan uang baru ini sekarang menentukan uang asli dan palsu lebih mudah,” tutur dia.

Advertisement

Deputi Kepala Kantor Perwakilan BI Solo, M Taufik Amrozy, mengatakan pemasangan blind code ke dalam uang kertas dimaksukan untuk membangun kesetaraan khususnya bagi penyandang difabel. Difabel khususnya tuna netra selama ini menjadi target peredaran uang palsu.

“Kepedulian kami tidak hanya  ditunjukkan dalam sosialisasi tapi juga dicetak dalam bentuk uang. Sekarang, tandanya lebih jelas,” ujar dia.

Pembuatan blind code itu, lanjut Taufik, merupakan hasil diskusi panjang dengan Pertuni Pusat. Sebelumnya, pembeda nominal pecahan uang kertas diberikan hanya dalam bentuk bulatan atau segitiga dan tidak dicetak di semua pecahan.

Advertisement

“Sekarang dicetak di kiri dan kanan uang dan terasa serta dicetak di seluruh jenis pecahan mulai dari Rp100.000 sampai Rp1.000,” beber dia. Acara ditutup dengan penyerahan bantuan Program Sosial BI berupa Pengembangan Ekonomi kepada Pertuni DPC Kab Klaten.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif