Jogja
Kamis, 21 September 2017 - 17:20 WIB

MALAM 1 SURO : Makna Dibalik Ziarah di Makam Cepuri Parangkusumo

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Peziarah didampingi oleh salah satu juru kunci berdoa sebagai ungkapan rasa syukur pada malam satu Suro, Rabu (20/9/2017) di kompleks Cepuri Parangkusumo. (Rheisnayu Cyntara/JIBI/Harian Jogja)

Malam 1 Muharram atau yang lebih dikenal sebagai malam 1 Suro menjadi salah satu waktu penting bagi masyarakat Jawa untuk ngalap (mencari) berkah

Harianjogja.com, BANTUL– Salah satu juru kunci kompleks Cepuri Pantai Parangkusumo Bantul, Tri Winarto mengungkapkan adanya lonjakan wisatawan saat malam satu Suro. Jumlahnya bisa mencapai ribuan dan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.

Advertisement

Namun menurut Tri, tidak ada ritual khusus yang diadakan oleh pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam memperingati malam satu Suro di Pantai Parangkusumo ini. Labuhan dari keraton hanya dilakukan sekali dalam setahun pada akhir bulan Rajab.

Jikapun ada gunungan ataupun ubo rampe lain yang dibawa oleh peziarah ke kompleks Cepuri, menurutnya hal tersebut lebih bersifat personal dari masing-masing peziarah. “Sebagai ungkapan syukur,” ujarnya, ditemui Harianjogja.com, Rabu (20/9/2017) malam.

Beberapa kali memang terlihat peziarah mengusung nasi tumpeng komplit, ingkung, bahkan hasil bumi seperti singkong dan pisang ke dalam kompleks peziarahan tersebut.

Advertisement

Sesepuh juru kunci Pamancingan, Mas Penewu Surakso Jaladri yang malam itu mengenakan baju batik berwarna soga dan kopiah membenarkan hal tersebut. Tak ada agenda khusus yang digelar oleh keraton. “[Peringatan] satu Suro berasal dari masyarakat,” tuturnya dalam sikap bersila yang sempurna.

Malam itu ia duduk dia atas tikar tepat di samping gerbang bagian dalam kompleks Cepuri seluas 80 meter persegi, mengamati para peziarah yang berdoa dengan perantara para juru kunci.

Ditemani oleh satu juru kunci lainnya, ia mengisahkan makna di balik ziarah Cepuri. Mulanya, kompleks Cepuri ini merupakan tempat mesubrata atau pertapaan Danang Sutowijoyo. Saat akan membabat Alas Mentaok untuk mendirikan kerajaan, ia menghadapi banyak kendala.

Advertisement

Ia kemudian menuruti nasehat Ki Juru Mertani untuk mesubrata di tempat kapalnya berlabuh. Danang Sutowijoyo kemudian berlayar menyusuri Sungai Opak dan kapalnya pun berhenti pada tempuran atau tempat bertemunya aliran Sungai Opak dengan Panai Selatan. Tempat itulah yang kemudian dikenal sebagai Cepuri ini.

Sesampainya di tempuran tersebut ia kemudian bersemedi di atas watu gilang. Semedinya membuat hawa Keraton Kidul memanas. Singkat kata, Kanjeng Ratu Kidul akhirnya menemui Danang Sutowijoyo dan mengabulkan permintaannya. Ia kemudian dikenal sebagai Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram yang merupakan cikal bakal Kasultanan Ngayogyakarta.

Kisah itulah yang menurut Mas Penewu Surakso Jaladri dipercaya masyarakat sehingga mereka rela datang dari berbagai penjuru daerah, meminta kesehatan, lancar jodoh, laris usaha hingga sembuh dari sakitnya. “Tapi semua yang di sini hanyalah perantara. Mereka berdoa dan meminta pada Yang Kuasa,” ujarnya meluruskan.

Tak lama kemudian, serombongan peziarah masuk kompleks Cepuri membawa ubo rampe labuhan. Itulah cara para peziarah yang merasa doanya dikabulkan untuk bersyukur. Mereka datang membawa hasil bumi dan seserahan lainnya untuk kemudian didoakan dan dilarung ke laut atau dibagi-bagikan pada peziarah lainnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif