Jateng
Minggu, 17 September 2017 - 15:50 WIB

Wali Kota Semarang Taksir 84% Siswa Korban Bullying

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi bullying atau perundungan di sekolah dasar (SD). (JIBI/Semarangpos/Dok.)

Wali Kota Semarang mengungkapkan taksirannya atas siswa korban bullying atau perundungan yang mencapai 84% dari keseluruhan pelajar.

Semarangpos.com, SEMARANG — Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menaksir 84% siswa sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) di ibu kota Provinsi Jawa Tengah pernah menjadi korban bullying atau perundungan di sekolah. “Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Semarang, 84% siswa SD-SMP pernah jadi korban bullying,” katanya seusai meresmikan Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM) Kota Semarang, Jumat (15/9/2017).

Advertisement

Hendi—sapaan akrab Hendrar Prihadi—mengungkapkan bullying atau penindasan yang dialami siswa itu bervariasi, mulai dilakukan kawan-kawannya, seperti diejek, diolok-olok, hingga tindak kekerasan yang dilakukan gurunya. Sebagai contoh, kata dia, sekitar sebulan lalu ada orang tua yang menghadap sembari menangis karena merasa anaknya diperlakukan tidak adil oleh gurunya gara-gar terlambat mengikuti ekstrakurikuler basket.

[Baca juga Pemkot Semarang Terjemahkan Gerakan Nasional Revolusi Mental Jadi RDRM]

“Orang tua itu mengetahui anaknya pulang dengan baju sobek-sobek. Ternyata, gara-gara anaknya datang terlambat, dihukum push up oleh gurunya, tetapi tidak mau sehingga bajunya ditarik hingga sobek,” katanya. Tak cukup dengan itu, kata dia, ternyata guru di sekolah favorit di Kota Semarang itu juga melakukan kekerasan yang dibuktikan dengan visum, dan sudah dilakukan koordinasi dengan dinas terkait, termasuk Dinas Pendidikan Kota Semarang.

Advertisement

Persoalannya, kata politikus PDI Perjuangan itu, bullying atau perundungan yang dilakukan tidak begitu saja selesai, sebab ternyata membekas di hati anak yang membuatnya depresi sampai tidak mau berangkat sekolah. “Anak itu tidak mampu menahan depresinya sehingga meminta bisa melanjutkan sekolah tetapi tidak di Semarang. Akhirnya, pindah ke Lombok. Anak itu sama sekali tidak mau menginjakkan kaki lagi di Semarang,” katanya.

Ia tidak menginginkan kasus bullying atau penindasan senacam itu terjadi lagi di Kota Semarang karena dampaknya tidak baik bagi masa depan generasi muda, apalagi sebagian pelaku bullying dulunya pernah menjadi korban tindakan serupa. “Artinya, benang merah yang menjadikan bullying seolah-olah tradisi atau kebiasaan yang bisa diteruskan harus diputus. Kita semua ingin Indonesia semakin hari menjadi semakin hebat,” pungkas Hendi.

Senada dengan itu, psikolog di Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM) Kota Semarang, Lainatul Mudzkiyyah, menjelaskan bullying terhadap anak-anak berpengaruh terhadap prestasi, kepercayaan diri, dan kemampuan bersosialisasi korbannya. Bisa jadi, setelah mengalami penindasan, prestasi, kepercayaan diri, dan kemampuan bersosialisasi korban yang menjadi terhambat.

Advertisement

[Baca juga Wali Kota Semarang Serukan Setop Bullying terhadap Anak]

“Efek yang muncul, anak menolak berangkat ke sekolah, hingga yang terparah muncul keinginan bunuh diri. Saya pernah menemui ada anak SD yang merasakan ketidaknyamanan ketika berada di sekolah,” katanya.

Namun, kata dia, orang tua memaksakan anaknya untuk terus berangkat sekolah tanpa melihat sisi psikologis buah hatinya sehingga muncul keinginan dari si anak tersebut untuk mengakhiri hidupnya. “Ya, pindah sekolah bukan satu-satunya solusi. Tetapi, paling tidak harus ada terapi terhadap si anak. Biasanya, kami berikan terapi pikiran. Kalau pikirannya sudah positif, baru terapi perilaku,” katanya.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif