Kolom
Selasa, 5 September 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Sikoet, Haji, dan Literasi

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (31/8/2017). Esai ini karya Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Solo. Alamat e-mail penulis adalah bandungmawardi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Pada masa 1950-an, pemerintah dan pelbagai institusi berusaha mendokumentasikan ibadah haji di Tanah Suci. Dokumentasi berwujud buku, foto, dan film.

Advertisement

Di majalah Film Indonesia edisi 25 Juni 1958 kita bisa membaca tulisan berjudul Pembuatan Film Dokumenter Berhadji 1950. Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan kala itu bekerja serius mendokumentasikan ibadah haji bagi umat Islam Indonesia.

Di Tanah Suci proses pembuatan film dokumenter disokong para ulama dan wartawan. Para wartawan itu adalah Asa Bafaqih (Jakarta), A. Basuni (Jogja), Bahrum Djamil (Medan), dan Soerono (Solo).

Para wartawan sengaja diundang Kementerian Agama untuk berhaji dan membuat laporan dokumentatif. Mereka mendapat hak istimewa: beribadah haji secara gratis sambil menunaikan misi jurnalistik.

Advertisement

Di Solo, 1951, penerbit A.B. Siti Sjamsijah menerbitkan buku berjudul Rahasia Padang Pasir Terbuka garapan Sikoet. Tebal buku 100 halaman. Si penulis diberi keterangan sebagai anggota redaksi Mingguan Adil di Solo.

Siapa itu Sikoet? Itu nama asli atau samaran? Perlahan-lahan kita bisa membuka identitas Sikoet melalui buku-buku lawas. Di buku Rahasia Padang Pasir Terbuka, Sikoet menerangkan: Alhamdulillah, saya dapat membukukan kisah saya, selama saya melakukan ibadah haji.

Keterangan berlanjut ucapan terima kasih kepada Kementerian Agama dan Pemimpin Redaksi Adil. Sikoet berarti wartawan dan tinggal di Solo. Keunggulan buku garapan Sikoet adalah pembaca sesudah mengikuti apa yang tercantum dalam buku akan selalu tertanam di hati, gambaran dan jalan-jalannya orang beribadah haji.

Selanjutnya adalah: Lama perjalanan haji 100 hari…

Advertisement

Seratus Hari

Sikoet mencatat lama perjalanan 100 hari, sejak dari Solo ke Tanah Suci sampai kembali lagi ke Solo: 20 Juli 1950-23 Oktober 1950. Buku sengaja disusun ”dalam susunan merdeka” dan “kata-kata serta ejaan bahasa secara merdeka.”

Buku itu warisan terpenting Sikoet meski tak masuk dalam buku Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 susunan Henri Chambert-Loir. Sikoet dan Adil di Solo?

Advertisement

Kita bisa membuka buku berjudul Jagat Wartawan Indonesia (1981) susunan Soebagijo I.N. Di halaman 370-374 ada profil wartawan bernama Soerono Wirohardjono. Ada keterangan sekalimat: Nama mingguan Adil terbit sejak 1932 tidak dapat dipisahkan dengan nama Soerono, sudah sejak semula ikut terjun dan memupuk surat kabar tadi sampai sekarang ini (1980).

Pada berita di Film Indonesia, wartawan bernama Soerono berhaji atas undangan Kementerian Agama. Pada 1951, terbit buku Rahasia Padang Pasir Terbuka garapan Sikoet, anggota redaksi Adil. Soerono itu Sikoet!

Nama alias Sikoet mengacu ke Rubrik Pojok. Soerono bertugas menulis di Rubrik Pojok menggunakan nama tenar Sikoet. Wartawan pengabdi pers Islam itu telah berhaji dan menulis buku dokumentasi meski lupa tercatat dalam sejarah literasi haji di Indonesia.

Di Solo, nama Soerono atau Sikoet mungkin sudah terlupakan atau jarang mendapat ruang pembicaraan dalam pers dan sastra. Anda bisa menemukan buku Rahasia Padang Pasir Terbuka di Bilik Literasi Solo.

Advertisement

Konon, buku itu sudah masuk daftar langka. Peneliti haji asal Indonesia dan Prancis terbukti kesulitan mendapatkan buku dan melacak keterangan-keterangan tentang Sikoet. Catatan Sikoet di halaman 91 agak berkelakar

”Ketika berangkat, Sikoet namanya yang hanya Sikoet saja, tetapi waktu pulang sudah lain, ialah Alhaji Sikoet, bukan? Demikian pula ribuan (anggota) jemaah yang waktu itu sudah meninggalkan Mina dan menunggu di Mekah akan pulang.”

Sikoet atau Soerono pulang membawa gelar haji, biasa disingkat H dan ditaruh di depan nama. Pulang dari Tanah Suci, Sikoet berjanji akan hidup lebih dari yang dahulu berniat melakukan amal, jauh lebih hebat dari dahulu, merencanakan akan berjihad untuk keperluan agama, segala harta benda dan pikiran akan dicurahkan habis-habisan untuk Islam.

Selanjutnya adalah: Warisan novel berbahasa Jawa bertema asmara dan haji…

Asmara dan Haji

Advertisement

Sikoet juga memberi warisan kepada kita berupa novel berbahasa Jawa dengan tema asmara dan haji. Novel itu berjudul Asmara Sutji: Djinanget Ibadah Hadji yang diterbitkan oleh Ramadhani, Semarang. Novel ini setebal 48 halaman.

Sikoet menamai sebagai roman Islam. Roman ini masih berkaitan dengan buku Rahasia Padang Pasir Terbuka. Di bagian akhir, Sikoet menulis kesaksian tentang keluarga yang sedang ditimpa sakit dan kematian yang membangkitkan kesedihan. Episode itu masuk dalam roman.

Sikoet menjelaskan pangarep-areping pangripta, bisoa nggambarake mungguh rekasaning ngibadah haji, nanging uga luhuring penggayuhane para jemaah. Ing temahan bisa nyaketake pribadine marang sisihing Pangeran, jalaran nandhang pirang-pirang rubeda, nanging bisa udhar jalaran pitulunganing Pangeran. Wasana dadi tambah mantep lan kandel iman utawa sumendhene marang Gusti Allah.

Menulis roman setelah berhaji, bercerita tata kehidupan di Solo, dan asmara bertaut ke ibadah haji di Tanah Suci. Novel garapan Sikoet juga jarang jadi perbincangan dalam sastra (modern) Jawa.

Dulu, orang-orang mengenali Sikoet atau Soerono itu cenderung sebagai wartawan, bukan pengarang novel. Sikoet terbukti lihai berbahasa dan menyuguhkan imajinasi lembut mengenai keteguhan lelaki dan perempuan menjalin cinta agar selalu suci tanpa ternoda perbuatan mesum dan pikiran-pikiran cabul yang melanggar agama dan adat.

Cerita berlatar Solo dan Tanah Suci. Cerita mengikutkan gambaran tentang kota, identitas, religiositas, adat, dan jiwa zaman. Cerita berisi kesedihan dan keteguhan hati yang berakhir bahagia dalam pernikahan suci.

Dua sejoli menikah dalam berkah Tuhan setelah menempuhi pelbagai cobaan dan tentangan. Di bagian ujung novel, Sikoet seperti memberi nasihat indah: Bocah loro ngguyu berbarengan, lan Pangeran ngruntuhake rahmat sarta kabagyan kang maremake marang taruna loro kang padha keturutan jroning kasmaran sejati.

Saya sengaja memunculkan (lagi) dua buku warisan Soerono Wirohardjono agar kita tak lagi melupakan kebermaknaan buku cerita perjalanan dan novel asmara.

Berhaji ke Tanah Suci tak cuma memberi imbuhan sebutan ”haji”. Sikoet memilih berliterasi, menulis dua buku agar kenangan berhaji semakin bermakna bagi umat.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif