Jogja
Jumat, 25 Agustus 2017 - 15:55 WIB

Pengamat : Seharusnya Pelaku Saracen yang Tertangkap Lebih Banyak

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bareskrim Polri saat menggelar konferensi pers terkait kejahatan hate speech, Rabu (23/8/2017). (Juli Etha/JIBI/Bisnis)

Saracen merupakan sindikat yang beroperasi untuk menyebarkan konten kebencian.

Harianjogja.com, SLEMAN — Marak konten negatif yang bernuansa SARA dan ujaran kebencian yang tersebar pada berbagai channel media sosial dilakukan sekelompok orang dalam sebuah jaringan yang terorganisasi rapi serta didukung oleh ribuan akun.

Advertisement

Baca Juga : Dalang Saracen Ditangkap di Jakarta, Adakah yang Berdomisili di Jogja?

Sesuai laporan Dit Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, kebanyakan pelakunya bersifat individu dengan korbannya bervariasi mulai dari kelompok dan golongan hingga sejumlah tokoh termasuk salah satunya adalah Presiden Joko Widodo. Kemudian bila merujuk kepada sejumlah berita di media massa, terlihat dalam setahun terakhir ini, hampir setiap bulan selalu tersaji berita-berita seputar tertangkapnya pelaku penyebar meme dan ujaran kebencian. Semua pelaku yang tertangkap selama ini selalu atas nama individu.

Advertisement

Sesuai laporan Dit Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, kebanyakan pelakunya bersifat individu dengan korbannya bervariasi mulai dari kelompok dan golongan hingga sejumlah tokoh termasuk salah satunya adalah Presiden Joko Widodo. Kemudian bila merujuk kepada sejumlah berita di media massa, terlihat dalam setahun terakhir ini, hampir setiap bulan selalu tersaji berita-berita seputar tertangkapnya pelaku penyebar meme dan ujaran kebencian. Semua pelaku yang tertangkap selama ini selalu atas nama individu.

“Terungkapnya jaringan Saracen membuka mata kita semua bahwa jasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum ternyata memang benar adanya. Jasa sejenis ini adalah bagian dari cybercrime black market. Bagi kalangan tertentu, cybercrime adalah sebuah potensi ekonomi yang sangat besar, komunitas pengguna dan penyedia selalu tumbuh untuk saling memanfaatkan satu sama lainnya,” terang dosen Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga aktif di Pusat Studi Forensika Digital UII, Yudi Prayudi seperti dikutip dari rilis yang Harianjogja.com terima, Kamis (24/8/2017).

Menurut dia, dalam kasus Saracen, produk pasar gelap tersebut berupa jasa untuk membuat, menyebarkan meme dan konten negatif yang mengarah pada SARA dan ujaran kebencian. Di dunia maya, produk pasar gelap ini juga berkaitan dengan seputar hacking dan kampanye hitam melalui konten negatif untuk individu atau organisasi.

Advertisement

Selanjutnya adalah supporting dan teknisi sebagai bagian paling penting yang langsung terkait dengan masalah teknis pemanfaatkan komputer. Mulai dari membangun program, posting konten, hosting dan merawat web serta memastikan layanan jasa yang ditawarkan telah terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan permintaan.

“Dalam  konteks  ini, selain  tiga  orang  yang  telah  ditangkap  oleh  Polri karena perannya dalam sindikat Saracen. Seharusnya ada lebih banyak lagi pelaku yang dapat ditangkap bila Polri dapat menemukan peran-peran lainnya dalam jaringan tersebut,” terang dia sesuai rilis yang Harianjogja.com terima, Kamis (24/8/2017).

Ketiga pelaku dari sindikat Saracen ini dijerat dengan pasal-pasal pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE serta perubahannya pada UU Nomor 19 Tahun 2016, terutama sekali pada klausul tentang larangan Setiap Orang untuk dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Advertisement

“Hal yang kemudian menjadi pertanyaan dan tantangan untuk penegak hukum adalah bagaimana dengan pihak-pihak yang memberikan order pesanan atau yang memanfaatkan jasa dari sindikat Saracen, adakah hukum yang bisa menyentuhnya?” tanyanya.

Menurut sejumlah ahli hukum, pemesan jasa dapat saja dikategorikan dengan perbuatan penyertaan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yaitu yang menyuruh melakukan dan yang membantu melakukan. Kajian hukum tentang pelanggaran pasal terhadap mereka yang menjadi pemesan order dari meme, konten negatif, ujaran kebencian yang dilakukan melalui bantuan teknologi informasi sebagaimana dalam kasus Saracen ini harus terus dikaji lebih intensif agar pihak kepolisian memiliki dasar yang untuk mengungkap pengguna jasa.

“Saracen bisa jadi hanya pintu masuk ke sindikat sejenis yang juga beroperasi di Indonesia. Banyaknya akun yang tergabung dalam sindikat Saracen sangat memungkinkan untuk tetap bertahannya bisnis sejenis namun dengan pola-pola yang jauh lebih rapih. Harus disampaikan kepada masyarakat, bahwa memesan konten dan menyuruh menyebarkan konten negatif adalah bagian dari tindakan criminal,” pesan dia.

Advertisement

Selanjutnya sinergisitas antara aparat penegak hukum, masyarakat umum, tokoh-tokoh agama dan nasional harus semakin dikuatkan. Pada satu sisi, infrastruktur untuk melakukan filtering dan kontrol terhadap konten negatif harus semakin efektif, diikuti pengembangan alat serta kerja sama dengan vendor penyedia jasa media sosial juga harus ditingkatkan.

Pada sisi lain, edukasi kepada masyarakat pengguna aplikasi harus tetap dilakukan. Agar konten negatif yang sampai tidak disebarkan tetapi diputus rantai penyebaran. Terakhir, kata dia, website resmi juga harus selalu aktif menyampaikan informasi, terutama saat tersebar isu dan membutuhkan klarifikasi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif