Kolom
Sabtu, 19 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Kota Penyair Perlawanan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anindita S. Thayf (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (16/8/2017). Esai ini karya Anindita S. Thayf, novelis dan esais yang tinggal di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah bambu_merah@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Dalam rangka memperingati hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1982, Wiji Thukul menulis sajak pendek: Kemerdekaan adalah nasi / Dimakan jadi tai. Wiji Widodo yang kemudian lebih tenar sebagai Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Sorogenen, Solo.

Advertisement

Thukul dikenal lewat sajak-sajak perlawananan ciptaannya yang menentang kediktatoran Orde Baru dengan lugas dan berani. Belakangan, disebabkan sajak dan aktivitas politiknya, dia menjadi salah satu korban penculikan di pengujung kekuasan Orde Baru.

Bersama korban penculikan lain asal Solo, Suyat, keberadaan Thukul belum diketahui sampai sekarang. Salah satu penggalan sajaknya, “Hanya satu kata: Lawan!” terus berkumandang, tak kenal surut. Diteriakkan oleh para demonstran buruh, tani, dan mahasiswa dalam aksi-aksi mereka.

Semangat dan keberanian Thukul melawan ketidakadilan tetap hidup hingga hari ini. Thukul seorang pencatat yang tekun. Sebagai penyair yang berproses di Solo, banyak puisinya bertema kota kelahirannya ini. Umpamanya sajak Jalan Slamet Riyadi Solo yang antara lain berbunyi:

Advertisement

“banyak yang berubah kini

ada holland bakery
ada diskotik ada taksi
gajahnya juga sudah dipindah
loteng-loteng arsitektur cina
kepangkas jadi gedung tegak lurus.”

Berbeda dengan kebanyakan penyair masa kini yang suka ”bergelap-gelapan” dengan puisinya, Wiji Thukul menyampaikan kata demi kata secara terang benderang. Lewat sajak di atas, misalnya, tergambar jelas bagaimana keadaaan Jl. Slamet Riyadi, Solo, yang dulu dipenuhi “pohon-pohon asem besar melulu”, tapi telah berubah drastis seiring modernisasi.

Selanjutnya adalah: Lanskap Solo dalam sajak-sajak Wiji Thukul…

Advertisement

Lanskap Solo

Lanskap Solo lainnya bisa pula ditemukan dalam sajak Thukul berjudul Kuburan Purwoloyo. Ini adalah salah satu permakaman yang sangat dikenal masyarakat Solo. Sekitar Maret 2017, warga yang menguburkan keluarganya di tempat itu resah karena pekuburan tersebut hendak digusur demi membangun rumah susun.

Bertahun-tahun sebelum kejadian ini lewat sajaknya Thukul pernah mengungkap ironi yang terjadi di pemakaman Purwoloyo: di tanah ini / terkubur orang-orang yang / sepanjang hidupnya memburuh  /terhisap dan menanggung hutang. Dengan piawai Thukul menarasikan derita orang-orang kecil yang menjadi korban pembangunan Orde Baru yang ternyata masih sesuai dengan kondisi saat ini.

Advertisement

Ikon lain Kota Solo yang muncul dalam sajak Thukul adalah Sriwedari. Lewat sajak Pasar Malam Sriwedari, Thukul menyajikan suasana tempat itu pada 1986. Dalam puisi itu Sriwedari digambarkan dipenuhi deretan pengemis tua dan muda di antara lapak perusahaan rokok besar dan jamu tradisional.

Kaum kere duduk berjongkok menonton video silat Mandarin dan pentas wayang yang hanya ditonton sedikit orang. Cara penggambaran Thukul yang realis memudahkan pembaca mengetahui situasi Sriwedari pada masa itu.

Meminjam konsep seniman Brasil, Augusto Boal, Thukul juga menggunakan sanggar dan aktivitas berkesenian untuk mengorganisasi kaum jelata. Wiji Thukul, sang penyair pelo yang lahir dan berkesenian di Solo ini, tidak hanya melawan dengan kata-kata, melainkan juga terjun langsung ke medan laga.

Si Burung Merak

Advertisement

Jauh sebelum kehadiran Wiji Thukul, Solo dikenal sebagai kota yang melahirkan seorang penyair perlawanan ternama yang dikenal dengan sebutan Si Burung Merak. Dialah Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra. Ia berasal dari keluarga priayi kecil. Rendra lahir di Solo pada 7 November 1935.

Selanjutnya adalah: Rendra dikenal sebagai penyair pamflet…

Penyair pamflet

Rendra dikenal sebagai penyair pamflet. Sajak-sajaknya, sebagaimana yang terkumpul dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, begitu keras mengkritik Orde Baru. Lewat sajak berjudul Aku Tulis Pamflet Ini, Rendra menyebut alasannya menulis sajak pamflet karena:

“…lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an.”

Advertisement

Begitulah Rendra menyuarakan perlawananannya. Dia mengkritik habis-habisan pembangunan Orde Baru yang teknokratis dan hanya berpegang pada rumus-rumus impor, tanpa berpijak pada keadaan masyarakat.

Sebagaimana isi sajak Sebatang Lisong, Rendra menggambarkan pembangunan Orde Baru yang seperti “udara yang disemprot deodoran” sehingga berarorama wangi demi menutupi kenyataan berwujud  sarjana pengangguran dan anak-anak tanpa pendidikan.

Rendra membacakan sajak-sajaknya dari kota ke kota, kampus ke kampus. Inilah yang membuat gerah penguasa. Tak mengherankan setelah membacakan sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki pada 18 April 1978, Rendra ditahan hingga awal Oktober 1979.

Selain berpuisi, Rendra juga aktif berteater. Serupa sajak-sajaknya, pentas teater Rendra juga bertema perlawanan sehingga sering kali dilarang oleh pemegang otoritas setempat. Pada 1991, dua penyair kelahiran Solo, W.S. Rendra dan Wiji Thukul, menerima penghargaan Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting, Belanda. Lewat sajak-sajak perlawananan, keduanya berhasil mendunia.

Tujuan Kemerdekaan

Sebagaimana dicatat Takashi Shiraisi dalam buku Zaman Bergerak (2005), Solo memang dikenal sebagai kota perlawanan sejak era kolonial. Tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Samanhoedi dan Haji Misbach, memulai perlawanan mereka terhadap kolonialisme dari kota ini.

Organisasi-organisasi perlawanan, semisal Sarekat Hindia yang mewadahi kaum pribumi, bermula pula dari Solo. Pada masa kemerdekaan, Solo juga menjadi basis pertahanan tentara Republik Indonesia saat melawan agresi militer Belanda I dan II. Posisi inilah yang menorehkan nama Solo dalam lembar sejarah bangsa Indonesia sebagai salah satu kota perlawanan.

Kehadiran para penyair perlawanan asal Solo seperti W.S. Rendra dan Wiji Thukul akan selalu mengingatkan kita pada sejarah tersebut. Sehubungan dengan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72 pada 17 Agustus besok, ada baiknya kita menggunakan sedikit waktu di sela-sela kemeriahan acara lomba tujuh belasan tingkat RT atau kecamatan untuk mengenang sepak terjang keduanya, juga warisan yang mereka tinggalkan.

Warisan yang mereka tinggalkan adalah dalam wujud kemerdekaan bersuara demi melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Benarkah rakyat bangsa ini sungguh telah merdeka? Apakah tujuan kemerdekaan itu sudah tercapai? Bersama penggalan sajak Wiji Thukul berikut, marilah kita renungkan semua itu bersama-sama:

“di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif