Entertainment
Selasa, 15 Agustus 2017 - 21:06 WIB

Repertoar Tarian dan Dukungan bagi Penyintas Ianfu

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penari Menampilkan Tari Ianfu pada acara Ianfu Potret Kelam Perempuan Jawa di Teater Arena, kompleks Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo, Senin (14/8/2017) malam. (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Untuk memberi dukungan bagi penyintas jugun ianfu, digelar Ianfu Potret Kelam Perempuan Jawa digelar di (TBJT).

Solopos.com, SOLO--Dukungan terhadap perempuan korban sistem perbudakan seksual militer Jepang (praktik ianfu) terus dilakukan. Dorongan untuk mendiskusikan kembali kasus di era penjajahan ini muncul dari berbagai pihak. Termasuk para aktivis sosial dan sejumlah seniman.

Advertisement

Acara bertajuk Ianfu Potret Kelam Perempuan Jawa digelar di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), bertepatan dengan Hari Ianfu internasional, Senin (14/8/2017) malam. Acara yang digelar oleh sanggar Dance Soul and Calm ini dibuka dengan pameran lukisan Dokumen Rahim oleh aktivis perempuan Dewi Candraningrum.

Dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter Kisah Sri Sukanti yang Tertinggal di Gedung Papak dan talk show dengan narasumber langsung penyintas ianfu asal Gunung Kidul, Ngadirah.

Advertisement

Dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter Kisah Sri Sukanti yang Tertinggal di Gedung Papak dan talk show dengan narasumber langsung penyintas ianfu asal Gunung Kidul, Ngadirah.

Narasi tentang kekejaman Jepang terhadap para perempuan Jawa kembali diceritakan melalui dua repertoar tari garapan Dwi Surni Cahyaningsih.

Karya pertama berjudul Ianfu dipentaskan empat perempuan muda selama setengah jam. Yang menceritakan tentang potret kelam para jugun ianfu muda berusia rata-rata 11 tahun. Mereka diculik dan dipaksa memuaskan hasrat seksual para pasukan Jepang di bawah pistol dan ancaman.

Advertisement

Selama hampir 20 menit ia mempersembahkan repertoar tari yang memuat kisah kelam lengkap dengan perjuangan penyintas ianfu memperjuangkan hidupnya. Agar lebih menjiwai pesan yang disampaikan, para penari akan mengenakan baju dan jarit jugun ianfu.

“Melalui tarian yang kedua ini saya ingin menyuarakan keadilan bagi para penyintas ianfu. Tarian ini juga memiliki pesan agar orang-orang di luar sana melanjutkan perjuangan mereka,” kata penari sekaligus sang koreografer Dwi Surni Cahyaningsih, ditemui saat latihan di Rumah Banjarasari, Kamis (10/8/2017).

Peneliti independen jugun ianfu sejak 1999, Eka Hindra, Senin (14/8/2017) mengatakan ini merupakan peringatan kelima. Setelah sebelumnya ditetapkan secara aklamasi di Taiwan pada 2013. Perayaan Hari Ianfu diselenggarakan sepanjang Agustus dengan dukungan 100 organisasi HAM seluruh dunia. Di Indonesia peringatan serupa digelar pada tahun-tahun sebelumnya dengan lokasi berbeda.

Advertisement

Peran Besar

Eka menyambut baik tim panitia yang menggelar peringatan tahun ini di Solo. Menurutnya Solo memiliki peran besar terbukanya kasus praktik ianfu ke ranah public. Keberanian penyintas jugun ianfu asal Solo, Tuminah, membuka suara memudahkan penelusuran data terhadap korban-korban lain di Indonesia.

“Saya yang hampir 18 tahun meneliti sampai hafal cerita dan membayangkan penderitaan mereka. Pas tadi melihat di tarian, rasanya apa yang mereka pentaskan sesuai dengan materi tentang ianfu yang saya teliti selama ini. Ya tariannya tadi dapet banget. Kerasa banget,” kata dia.

Advertisement

Acara ini sepenuhnya digelar untuk memberikan dukungan terhadap keluarga dan penyintas Ianfu. Pendekatan budaya dianggap media paling tepat untuk mengingatkan kembali jejak kekejaman pada perempuan di masa penjajahan tersebut.

“Kalau saya penginnya hidup tenang dan tentram. Kalau pemerintah Indonesia ya terserah pemerintah bagaimana. Dulu kita dijajah, saya dirusak, masak pemerintah hanya tinggal diam enggak berbuat apa-apa,” kata penyintas ianfu Ngadirah dalam Bahasa Jawa saat menutup talkshow.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif