Kolom
Selasa, 15 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Perempuan, Kesenian, dan Estetika Pembebasan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Saifuddin Hafiz (Istimewa)

Gagasan dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (12/8/2017). Esai ini karya Saifuddin Hafiz, perupa dan penikmat seni budaya yang tinggal di Solo.

Solopos.com, SOLO–Sebagai wilayah netral gender kesenian tak lepas dari salah satu kreatornya, yaitu perempuan. Kesenian yang merupakan cermin dan refleksi nilai kehidupan sosial masyarakat dalam rekam jejaknya tidak pernah lepas dari sosok perempuan.

Advertisement

Di balik keberadaannya perempuan menyimpan dan memberi segudang hasrat imaji, gagasan, ide, dan tema untuk diangkat dalam karya seni rupa, tari, sastra, film, foto hingga produk-produk budaya di layar kaca dan tak jarang memunculkan pro dan kontra.

Ini tidak mengherankan karena selama ini “belenggu” ideologi dan konstruksi masyarakat masih sangat patriarkat. Dalam edisi Menguak Tubuh terbitan Jurnal Kebudayaan Kalam dijelaskan dua posisi ideologis perempuan dalam kesenian. Pertama, perempuan atau tubuhnya diilustrasikan sebagai alat/instrumen hasrat dalam penciptaannya.

Perempuan atau tubuhnya ditempatkan sebagai basis dan objek material estetis. Perempuan dicitrakan dengan kecantikan, lemah gemulai, seksi, dan sensualitasnya dalam produk kesenian dari tradisional hingga kontemporer dan tidak menutup kemungkinan mengeksploitasinya.

Advertisement

Perempuan dalam kesenian diposisikan sebagai peneguh anggapan/stereotipe bahwa mereka sosok yang lemah dan keindahannya hanya dimiliki atas kuasa kepentingan laki-laki serta ekonomi dan politik. Tari tayub, lengger, gambyong (Jawa Tengah), joged bungbung (Bali), serta jaipong (Jawa Barat) adalah representasi dan contohnya (Srinthil, Media Perempuan Multikultur, 2003).

Esensinya bukan sebagai sosok yang merdeka, otonom, dan bebas dari belenggu kepentingan. Bukan sebagai jalinan pengikat relasi sesama perempuan dan sosialnya atas dasar kesetaraan dan emansipatif. Kedua, perempuan dan atau tubuhnya yang liberal. Perempuan atau tubuhnya bukan merupakan wilayah utama dalam ide, proses, dan penciptaan karya.

Selanjutnya adalah: Sosoknya dalam kesenian muncul, bermakna…

Advertisement

Sosok dalam kesenian

Sosoknya dalam kesenian muncul, bermakna, dan berkekuatan sebagai media estetika penyampai pesan moral, nilai, dan norma pembebasan dari stigma dan ketidakadilan. Dalam kesenian, kreator perempuan atau laki-laki itu tidak penting.

Yang utama adalah siapa pun kreatornya ketika menyajikan karya beresensi perempuan mampu mempresentasikan dan mendialogkan makna kehadirannya. Mampu menstranformasikan ke dalam kehidupan untuk keluar dari sudut pandang patriarkat dan konservatisme masyarakat.

Realitas belenggu perempuan dalam kesenian sebagai realitas pandangan atau world view dalam masyarakat sepertinya harus digugat dan dibongkar. Perempuan sebagai kreator seni (seniman) tentu sangat berperan besar sebagai aktor utama di samping aktivis-aktivis perempuan, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, atau siapa pun yang mempunyai kepedulian terhadap isu perempuan.

Advertisement

Semangat ini tentu berangkat dari hakikat dan “khitah” sebagai seniman dan tujuan penciptaan karya-karyanya, yaitu bekerja untuk menganyam kebenaran, meniti puncak-puncak kemanusiaan.

Seniman adalah orang merdeka yang semestinya melihat kebenaran dengan spirit yang bebas, dengan kesenian dan estetika pembebasan agar bisa memberikan rambu-rambu, kesadaran-kesadaran baru.

Tak Sekadar Karya

Dinamika perempuan seniman dengan gerakan ke arah pembongkaran, dengan segala persoalannya itu, bisa kita lihat, baca, dan cermati kemunculannya pada era seni kontemporer sekarang ini. Seni tak lagi terpaku sebagai karya dan harus “high art” (seni tinggi), seni untuk seni, dan eksklusif, tapi seni yang  menjelma sebagai media penyadaran, pembebasan.

Advertisement

Seni menjadi media untuk belajar memahami kontradiksi sosial politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, 1985). Seni tak lagi dilandaskan pada estetika semata, tapi lebih pada esensi dan tujuan diciptakannya karya.

Selanjutnya adalah: Geliatnya tidak hanya hadir di ruang-ruang pertunjukan…

Hadir di ruang pertunjukan

Geliatnya tidak hanya hadir di ruang-ruang pertunjukan atau pameran (galeri), tapi juga di ruang-ruang publik, menyertai dan menjadi bagian dari acara formal/informal berupa diskusi, obrolan, hingga aksi-aksi protes. Seni tak lagi berjarak dengan masyarakat sehingga merasa ikut terlibat baik psikis atau fisik ke dalam “inti karya”

Konsistensi perempuan seniman dengan estetika pembebasan ini dapat kita lacak pada sosok Arahmaiani, perupa dari Bandung pada dekade a980-an. Beberapa karya seni rupa baik drawing, lukisan, instalasi, dan performance art karya dia tak jarang menyinggung atau  mengangkat isu perempuan seperti dalam instalasi Gawat Darurat Pembangunan 4+4 yang dipamerkan di Purna Budaya Jogja pada 1998.

Advertisement

Semangat ini juga dapat kita lihat dan cermati dibalik karya sketsa, drawing, dan lukisan perupa Dewi Chandraningrum. Akademisi, peneliti, sekaligus aktivis dan pegiat isu perempuan di Solo ini bahkan seluruh karyanya tak lepas dari guratan persoalan perempuan dan anak seperti dalam Womb Document yang dipamerkan di Sangkring Art Space Jogja pada Maret 2015 lalu atau pada  lukisan berserinya 9 Kartini Kendeng.

Ekspresi gugatan juga tampak di setiap performance art karya Luna Dian, seorang mahasiswi seni rupa Universitas Sebelas Maret,  seperti pada karya Di Balik Tudung. Genre estetika pembebasan juga muncul dalam Tari Brantarara karya Cahwati yang dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Solo atau Taman Budaya Surakarta pada  31 Agustus 2016 lalu.

Karya tari ini dengan setting dan latar belakang tari lengger Banyumasan yang tersebar hingga Kabupaten Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga yang kental dan hidup dalam belitan budaya patriarkhisme. Koreografer alumnus Institut Seni Indonesia Solo ini melalui karyanya menafsirkan ide-ide kemandirian dalam diri perempuan dan ruang geraknya yang tidak terbatas oleh peranan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin bagi laki-laki.

Tari NoSheHeOrIt karya Otniel Tasman yang dipentaskan di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Solo pada 21 September 2016 bahkan meneguhkan kepribadian dalam tubuh manusia, yaitu simbol kepribadian laki-laki, perempuan, dan percampuran atas keduanya. Ketiganya melekat, melengkapi, dan ini berarti sama, setara, dan adil gender.

Merekonstruksi pengalaman dan perlakuan sekaligus mendekonstrusi pemahaman masyarakat dan negara terhadap perempuan dan tubuhnya juga terekspresi di ranah sastra. Ini terungkap dalam antologi puisi Aku, Perempuan dan Kata-Kata karya Yacinta Kurniasih terbitan Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta 2016, atau penyair Fanny Chotimah dengan Bibit Puisi yang digelar rutin di arena car free day di Jl. Slamet Riyadi Solo setiap Minggu pagi.

Kerja-kerja kreatif ini juga dilakukan oleh kelompok aktivis perempuan Jejer Wadon di Solo. Melalui ”ibadah”berpuisi, membaca narasi, membaca cerita pendek, hingga musikalisasi puisi di setiap kegiatan semakin menguatkan “teriakannya” saat bersamaan dengan momentum seperti Hari Kartini, Hari Perempuan Sedunia, 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, atau Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember.

Kesaksian perempuan seniman dengan karya berestetika pembebasan merupakan keharusan. Sosok yang mendasarkan pada keberpihakan, keterlibatan yang memerlukan kesabaran, keuletan, posisi yang sejajar, demokratis ,dan konsistensi sikap.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif