Kolom
Minggu, 13 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Potensi Lokal untuk Kemandirian Desa

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hadis Turmudi (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (11/8/2017). Esai ini karya Hadis Turmudi, mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta dan sedang menulis tesis tentang desa dan otonomi asli. Alamat e-mail penulis adalah adis.mandiri@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Desa-desa di Nusantara yang berjumlah kurang lebih 75.000 unit menyimpan banyak potensi lokal yang masih dan sangat memungkinkan digali serta dimaksimalkan dalam pembangunan bangsa ini.

Advertisement

Sumber daya di kawasan perdesaan berupa jumlah penduduk (demografi), kekayaan alam (geografi), maupun budaya lokal (local wisdom). Semua hal itu merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan di kawasan perdesaan.

Jika kita menelusuri jejak pengaturan desa-desa di Indonesia tidak akan terlepas dari sejarah regulasi desa itu sendiri. Desa di Indonesia pada awalnya terbentuk dari masyarakat hukum adat yang ditandai dengan paguyuban (gemeenschappen).

Masyarakat desa tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, sehidup semati, serta lahir dan besar di perdesaan tersebut. Dalam masyarakat hukum adat perdesaan terdapat kehidupan yang riil dan nyata, apa adanya, serta kehidupan yang organis yang bersifat murni dan kekal.

Setelah masuknya Belanda menjajah Nusantara desa-desa diatur regulasi yang dibentuk pemerintahan kolonial Belanda. Selanjutnya pengaturan desa berdasar regulasi balatentara Jepang yang menguasai Nusantara.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pengaturan desa oleh UU No. 19/1965 tentang Desa Praja. Regulasi desa masa Orde Lama menjadikan desa-desa sebagai daerah otonom tingkat III di bawah pemerintahan daerah kabupaten.

Pada masa Orde Baru desa mengalami perubahan dengan diktetapkannya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan desa. Pada masa Orde Baru terjadi penyeragaman pemerintahan desa. Desa-desa kehilangan kemandirian mengatur dan mengelola rumah tangga desa yang biasanya terpengaruh entitas lokal dan berganti menjadi bercorak nasional.

Setelah reformasi pada 1998 regulasi tentang desa yang bergaya Orde Baru diganti dengan dengan PP No. 76/2001 yang merupakan pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada 2005  pemerintah mengeluarkan PP No. 72/2005 yang merupakan pelaksanaan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Mengembalikan jati diri desa…

Jati Diri

Dalam rangka mengembalikan jati diri desa pemerintah menerbitkan UU No. 6/2014 tentang Desa. UU ini merupakan wujud implementasi program memperkuat Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa.

Desa-desa di seluruh wilayah Nusantara berkesempatan memajukan wilayah dengan menggali serta memaksimalkan segenap potensi ditunjang bantuan dana dari pemerintah yang lumayan besar.

Pergantian dan bongkar pasang peraturan tentang desa tersebut menimbulkan berbagai asumsi. Pertama, pemerintah selaku aktor pembuat kebijakan memiliki tujuan dan kepentingan memajukan desa-desa di wilayah Indonesia.

Kedua, bagi kalangan yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah akan bepikir ada nuansa politis di balik bongkar pasang peraturan desa. Hal ini juga dapat dimaklumi mengingat begitu dekatnya hubungan antara masyarakat perdesaan dengan penguasa lokal.

Advertisement

Dalam pemilihan pemimpin daerah maupun presiden saat ini  mempergunakan sistem langsung dipilih rakyat. Dana yang digelontorkan pemerintah ke desa sangat besar dan bahkan meningkat setiap tahun, meskipun kesiapan pemerintah desa dalam menerima dana desa masih di pertanyakan.

Satu hal yang perlu disadari bahwa perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa perlu diapresiasi mengingat begitu besar peran pembangunan perdesaan yang akan  berkontribusi terhadap tujuan pembangunan nasional yang pada akhirnya menyejahterakan segenap warga masyarakat seperti yang termaktub dalam konstitusi UUD 1945.

Pendistrisbusian alokasi dana desa (ADD) dan dana desa oleh pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus dimaksimalkan penggunaannya oleh pemerintah desa. Hal demikian  ternyata tidak mudah mengingat begitu banyak kendala yang dihadapi.

Desa yang begitu banyak memerlukan sistem pengawasan yang baik, kompetensi perangkat desa sebagian besar belum mumpuni, dan  godaan nilai dana desa yang dikucurkan ke desa-desa memicu penyimpangan. Wajar dewasa ini masih terjadi kebocoran dalam penggunaan ADD dan dana desa.

Selama ini belum semua aparatur pemerintah desa mampu memaknai hakikat pengucuan ADD dan dana desa. Mereka beranggapan ADD dan dana desa hanya suatu kewajiban pemerintah terhadap desa seperti yang termuat dalam UU Desa.

Pemerintah mengucurkan ADD dan dana desa  sebagai stimulan atau perangsang bagi pembangunan desa agar tumbuh dan berkembang. Jika pemerintah desa mampu memaknai sebagai dana perangsang, tidak akan terjadi ketergantungan desa terhadap dana kucuran tersebut.

Selanjutnya adalah: Mengoptimalkan dana untuk kemandirian…

Advertisement

Mengoptimalkan Dana

Desa harus mengoptimalkan dana tersebut untuk menuju kemandirian yang pada akhirnya menjadi desa yang maju dan kuat serta berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari tanpa tergantung terhadap pemerintah pusat maupun daerah.

Untuk mewujudkan desa yang mandiri tidak sulit. Yang diperlukan hanya kemauan yang kuat dari pemerintahan desa serta kejelian dalam melihat setiap peluang serta memaksimalkan dan mengoptimalkannya.

Tergantung kejelian dan kemauan perangkat desa sebagai ujung tombak pembangunan desa untuk menggali dan memaksimalkan potensi. Sekarang dengan besarnya perhatian pemerintah pusat terhadap desa dengan ADD dan dana desa yang lumayan besar, desa yang dulu terkategori miskin dan selalu mengharapkan bantuan dari pihak ketiga maupun pemerintah akan menjadi kuat dan mandiri serta bebas dari ketergantungan.

Pada akhirnya dengan kemandirian maka desa akan terlepas dari ketergantungan terhadap bantuan pemerintah dan pemerintah secara bertahap akan mengurangi jatah dana desa dan APBN dapat dimaksimalkan untuk pembiayaan.

Kemandirian desa ditandai kemampuan desa dalam mengatur, mengelola, serta membiayai sendiri pembangunan di wilayah  perdesaan tanpa tergantung pada pihak ketiga maupun pemerintah.

Advertisement

Sebagian desa yang mampu menggali potensi lokalnya meskipun secara kasat mata terlihat seperti desa-desa pada umumnya, baik dari demografis maupun geografisnya, mampu bergerak dan bersaing baik dalam level daerah maupun nasional bahkan sebagian sudah go-international. Desa-desa tersebut mampu memberdayakan setiap potensi, terlebih dengan asas dalam UU No. 6/2014, yakni rekognisi dan subsidiaritas.

Dengan dasar tersebut sudah sewajarnya desa lebih leluasa menggerakkan potensi lokal demi kemakmuran dan kesejahteraan warga desa itu. Hal tersebut dapat kita jumpai di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten.

Desa tersebut mampu mandiri dengan memanfaatkan sumber air (umbul) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat desa dengan mendirikan Badan Usaha Milik (BUM) Desa Tirta Mandiri.

Warga masyarakat mengelola dana dari investasi yang ditanamkan setiap keluarga yang rata-rata Rp5 juta dan mendapatkan passive income rata-rata Rp500.000-Rp1 juta per bulan. Pada 2016 lalu pendapatan BUM Desa Trirta Mandiri mencapai Rp10 miliar.

Selanjutnya adalah: Kemandirian dapat terbentuk dengan kejelian perangkat desa…

Kejelian Perangkat Desa

Advertisement

Selain memanfaatkan sumber daya lokal, kemandirian desa juga dapat terwujud dengan kejelian perangkat desa. Kreativitas dan inovasi perangkat desa yang didukung warga masyarakat diperlukan dalam mewujudkan desa yang mandiri.

Banyak contoh pemerintah desa yang berhasil mengembangkan kreativitas serta kejelian untuk menyejahterakan masyarakatnya. Pada 2012, Desa Patikraja di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mampu mengelola pasar desa sehingga mendapatkan penghargaan sebagai juara I kategori A pada lomba pasar desa tingkat nasional.

Selain mendapatkan penghargaan, pasar desa tersebut mampu menghidupkan perekonomian warga masyarakat desa tersebut serta warga di sekitarnya. Pasar desa itu secara tidak langsung meningkatkan pendapatan asli desa yang akan menjadikan desa tersebut mampu menopang perekonomiannya sendiri.

Memang masih banyak pemerintah desa yang seolah-olah buta. Seolah-olah tidak tahu apa yang harus dikerjakan terhadap potensi milik desa. Hal ini akan berakibat desa yang kaya raya potensi menjadi desa yang tertinggal dan selalu berharap bantuan dari pemerintah maupun pihak ketiga.

Pada akhirnya warga masyarakat pedesaan pula yang akan menjadi korban dari kebutaan para pamong desa tersebut. Kemandirian desa pada hakikatnya merupakan tujuan akhir dari pengucuran dana desa dan ADD.

Kebersamaan

Memang tidak mudah menjadikan potensi lokal perdesaan sebagai aser menuju kemandirian desa. Selain butuh kemauan dan kejelian pemerintah lokal, juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah serta warga masyarakat untuk mengoptimalkan poetensi lokal tersebut.

Advertisement

Tanpa kebersamaan dari semua pihak, mustahil kemandirian desa terwujud, meskipun di depan mata terbentang potensi lokal yang luar biasa. Di desa yang dikatakan kekurangan pasti ada kelebihan yang tersembunyi, tergantung kemauan dan kemampuan manusianya untuk  menggali yang tersembunyi tersebut.

Desa-desa akan menjadi kuat, maju, dan mandiri apabila pemerintah desa beserta warga masyarakat mampu menggali serta memaksimalkan setiap potensi. Pengembangan potensi lokal dapat dilakukan dengan penerapan teknologi yang sederhana yang bisa diaplikasikan penduduk dan sesuai dengan kebutuhan potensi masing-masing desa. Dibutuhkan pelatihan dan pendampingan dari pihak terkait.

Pemerintah pusat dan daerah hanyalah pendorong pembangunan kawasan perdesaan melalui dana desa, ADD, pendamping desa, dan program-program lainnya. Tumbuh atau tidaknya pembangunan perdesaan tergantung dari para abdi masyarakat tersebut dan warga masyarakat desa itu sendiri.

Dana desa dan ADD hanya bersifat perangsang bagi pembangunan desa, bukan permanen sifatnya. Pemerintah harus menyadari bahwa desa bukan objek pembangunan. Sekarang desa harus menjadi subjek atau pelaku pembangunan.

Dengan menjadikan desa sebagai subjek pembangunan maka pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam mendorong dan menggerakkan pembangunan desa.

Optimalisasi potensi lokal di kawasan perdesaan harus menjadi prioritas utama pemerintah saat ini untuk menciptakan kemandirian desa sehingga tujuan akhir, yakni kesejahteraan warga masyarakat, akan terwujud.

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif