Kolom
Rabu, 9 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Seni Rupa Solo dan Melindurisme

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Halim H.D. (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (5/8/2017). Esai ini karya Halim H.D., seorang networker kebudayaan yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah halimhade@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Cara paling gampang untuk mengingat, apalagi dalam bentang sejarah, lihat saja jejak yang besar. Itu yang selalu dilakukan banyak orang. Misalnya, Solo dianggap memiliki peranan dalam seni rupa.

Advertisement

Mungkin benar, tapi itu pada setengah abad yang lampau, bahkan lebih. Yang dilupakan, betapa pun pentingnya masa lampau, apalagi rentangnya jauh, sulit untuk digali kembali. Realitas, kenyataan sekarang, atau bahkan jika kita tarik dalam rentang belasan tahun yang lampau, katakanlah setelah reformasi, di mana posisi seni rupa Solo?

Solo memang pernah punya peran di dunai seni rupa, dahulu sekali, dan minimal pada periode Murtidjono (almarhum) ketika mengelola Taman Budaya Jawa Tengah di Solo atau Taman Budaya Surakarta (TBS) yang menjadikan institusi itu sebagai arena para perupa dari berbagai kota, daerah, dan mancanegara untuk hadir di Solo, ya melalui TBS itu.

Ledakan atau booming seni rupa pada periode 1990-an menggeser institusi yang hanya menampung pameran. Munculnya galeri-galeri swasta yang lebih prosesional dan mampu menciptakan jaringan sosial, dan yang terutama berkaitan dengan bisnis, membuat TBS bukan hanya tampak canggung, tapi juga kehilangan arah.

Advertisement

Mau mengikuti jejak galeri swasta jelas tidak mungkin karena kekurangan kapital, tapi sesungguhnya TBS pernah punya program yang menarik, yakni memilih perupa muda yang potensial agar tampil secara periodik.

TBS sekarang kian ambles karena politik kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang hanya melihat segi kepariwisataan, akibatnya sebagian besar program dibabat. Ketika TBS surut, banyak orang berharap dengan kemunculan Balai Soedjatmoko yang dianggap sebagai ruang kebudayaan.

Selanjutnya adalah: Menjadikan ruang arus pemikiran kebudayaan…

Advertisement

Pemikiran Kebudayaan

Pengelolaan Balai Soedjatmoko semula memang berpijak pada keinginan untuk menjadikan ruang itu sebagai ruang arus pemikiran kebudayaan seperti yang diharapkan oleh keluarga Soedjatmoko dan Jakob Oetama (serta St. Sularto) dari manajemen Kompas, ketimbang diberikan kepada keluarga Sahid yang menginginkan lahan dan bangunan itu dijadikan hotel.

Belasan tahun Balai Soedjatmono hadir di Solo dan rasanya tak cukup mengubah kondisi seni rupa. Yang ada adalah kegiatan ala kadarnya, rutinitas kegiatan yang tak cukup menjadi bahan perbincangan, wacana seni rupa dalam pemikiran, belum kuasa menciptakan arus perubahan.

Jika TBS masih memiliki keinginan untuk mengaitkan programnya dengan potensi kaum perupa muda, tampaknya Balai Soedjatmoko tidak memiliki visi tentang hal itu. Yang penting pokoke rame dengan berbagai kegiatan dan itu pun jauh mutunya jika dibandingkan mutunya dengan periode Murtidjono.

Advertisement

Mengelola ruang kebudayaan memang tak mudah sebab yang utama adalah memiliki energi untuk turun ke lapangan secara intensif, mengadakan pelacakan, mengadakan dialog, merumuskan tema.  Pengubahan kondisi tidak bisa dilakukan dengan sekadar menyusun program dengan cara pembayangan, angan-angan ingin mengubah.

Bagaimana bisa mengubah jika tidak memahami persoalan di lapangan? Kita dihadapkan pada kenyataan, plus perbandingan dengan beberapa kota, Jogja dan Bandung misalnya, yang secara kontinu mampu mengangkat perupa muda. Kenapa Solo tidak mampu, padahal sarana, galeri, dan juga ada institusi pendidikan ada?

Sependek pengalaman saya bersentuhan dengan para perupa di beberapa kota, khususnya dalam rentang waktu dua dekade terakhir ini, munculnya berbagai komunitas kecil kaum perupa muda seperti di Bandung, Jogja, Denpasar menjadi hal yang menarik.

Komunitas ini melakukan studi banding yang bagus atas inisiatif mereka sendiri, tanpa ikut campur manajemen kampus mereka. Mereka melakukan kontak dan riset perbandingan, mengolah tema dan menajamkan segi teknikal, yang membuat mereka bisa bicara di arena yang terbentang di berbagai ruang di Indonesia dan mancanegara.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Ketiadaan komunitas ekstrakurikuler…

Ketiadaan Komunitas

Lalu, pertanyaannya, bagaimana dengan Solo? Ketiadaan komunitas yang intensif melakukan studi ekstrakurikuler, ditambah juga ketiadaan dorongan motivasi yang kuat dari dosen mereka, adalah kondisi faktual di Solo.

Saya merasa yakin 90% dosen senirupa hanya memberikan perkuliahan yang itu-itu juga, rutin, dan tidak memahami perkembangan senirupa. Apakah kondisi ini telah menjadi jalan buntu? Tidak juga. Saya bertemu dengan satu atau dua mahasiswa yang menarik.

Potensi Perupa Muda

Advertisement

Mereka sesungguhnya membutuhkan rekan dialog yang kritis yang bisa memberikan wacana baru. Inilah yang tidak mereka temui di kampus, kecuali rutinitas perkuliahan. Dalam kondisi seperti itu, pertanyaan kita berlanjut, sejauh mana visi Balai Soedjatmoko sebagai ruang budaya, ruang pameran senirupa? Adakah memiliki visi?

Saya dengar pengelola Balai Soedjatmoko melontarkan gagasan untuk menyelenggarakan Solo Annual Art, penyelenggaraan pameran tiap tahun secara kontinu yang didasarkan pada perupa yang ada di Solo. Konon hal ini untuk membangkitkan kondisi senirupa di Solo yang sudah memasuki tahapan stagnan dan involutif.

Suatu impian selalu menarik, namun impian akan tetap impian dan bahkan sangat mungkin memasuki sejenis somnambulisme, tidur-mimpi berjalan, berkaitan dengan kondisi seni rupa di Solo, yang sejak lama saya anggap bagaikan “kuburan seni rupa”.

Selanjutnya adalah: Ide yang tidak berpijak pada kenyataan…

Tak Berpijak Kenyataan

Kritik saya kepada pelontar ide Solo Annual Art adalah ide ini sama sekali tidak berpijak pada kenyataan dan tidak memahami potensi yang ada. Kenyataan yang ada, bagi saya, berupa perbandingan dari proses kerja para perupa senior yang dalam 20 tahun terakhir ini tak memiliki karya yang bisa dijadikan wacana, minimal memiliki arti bagi lingkungan sosial di Solo, apalagi di tingkat nasional.

Tak ada perupa dari Solo yang jadi bahan perbincangan. Saya lebih cenderung melihat potensi-potensi perupa muda yang kini masih kuliah yang sangat mungkin masih bisa diharapkan ketimbang perupa senior yang sudah puas dengan jabatan sebagai dosen atau perupa yang hasil karyanya sekadar bisa dijual di artshop.

Potensi perupa muda itulah yang seharusnya diberikan ruang secara kontinu melalui seleksi bersifat konseptual. Untuk ini dibutuhkan pelacakan, riset yang lebih mendalam kepada potensi-potensi itu dengan menjaring dari lingkungan kampus, dan pada sisi lain, mendorong agar mereka membentuk komunitas kecil dalam proses kerja, pembacaan teks-teks kajian, riset, pengembangan wacana melalui berbagai diskusi dengan para perupa senior di luar Solo.

Kenapa perlu dialog dengan perupa dari luar Solo? Karena merekalah yang mampu memberikan wacana ketimbang dosen atau perupa senior di Solo. Jika program itu bisa berjalan, dalam dua, tiga, atau empat tahun mungkin kita bisa menyaksikan perupa potensial menjadi aktual dan berkembang menjadi diri mereka untuk masa yang akan datang.

Hal ini tentu saja jika Balai Soedjatmoko memang punya visi untuk mendidik dan menciptakan jaringan kerja kebudayaan dengan institusi pendidikan secara intensif daripada menggantang impian yang cenderung tak bisa dibedakan dengan melindur(isme).

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif