Kolom
Senin, 7 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Anomali Ekonomi Indonesia

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Riwi Sumantyo (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Kamis (3/8/2017). Esai ini karya Riwi Sumantyo, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah riwi_s@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Menarik mencermati kondisi perekonomian Indonesia selama tujuh bulan pada 2017 ini. Secara umum dapat dikatakan kondisi dan tantangan perekonomian kita tidak berbeda jauh dengan 2016, baik yang berasal dari faktor global maupun domestik.

Advertisement

Secara global, kondisi negara-negara yang berperekonomian terkuat di dunia masih mengalami kelesuan. Amerika Serikat mungkin bisa dikecualikan karena berdasarkan laporan ada sedikit tanda-tanda pemulihan, misalnya dilihat dari semakin bertambahnya penyerapan lapangan kerja.

Tidak mengherankan beberapa waktu yang lalu Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan yang sebenarnya sudah diantisipasi oleh para pelaku pasar sehingga tidak menimbulkan keguncangan finansial. Mereka berekspektasi pada tahun ini Bank Sentral Amerika Serikat tersebut masih akan menaikkan Federal Fund Rate minimal satu kali lagi.

Dalam sidang terakhir yang berlangsung pekan lalu, Janet Jellen sebagai Gubernur The Fed memilih bersikap hawkish yang mengindikasikan pemulihan yang berlangsung belum berjalan memuaskan. Sedangkan negara-negara lain yang tergabung dalam G20, utamanya Jepang, Jerman, Inggris, dan Prancis, masih belum bisa terlepas dari masalah klasik, yaitu stagnasi ekonomi yang berkepanjangan.

Dalam situasi seperti ini, Tiongkok dan India diharapkan menjadi pendorong baru mesin ekonomi dunia (new engine for economic growth). Beberapa ekonom menyebut jika kondisi ini terjadi diharapkan akan membawa perekonomian dunia kepada kondisi normal yang baru (new normal).

Kemungkinan tersebut tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat ini. Tiongkok justru mengalami perlambatan ekonomi dalam beberapa kuartal terakhir yang ditandai dengan kinerja ekspor dan cadangan devisa yang cenderung menurun.

Sedangkan India memang tercatat sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, tetapi negara berpenduduk terbanyak kedua di dunia tersebut masih terlalu berat jika diandalkan sebagai lokomotif baru perekonomian dunia.

Dengan peta perekonomian dunia seperti di atas, di mana posisi Indonesia? Menurut laporan resmi International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, Indonesia dipandang masih on the track dalam mengelola perekonomiannya. Di antara emerging markets disebutkan bahwa negara kita termasuk sedikit di antara negara yang mencatat kinerja ekonomi menggembirakan.

Advertisement

Penilaian tersebut dikonfirmasi oleh tiga lembaga pemeringkat utama di dunia yang menyematkan predikat layak investasi (investment grade) kepada Indonesia. Moody’s Investor Services memberikan predikat Baa3, Fitch Ratings member BBB, dan terakhir serta paling ditunggu-tunggu yaitu Standart and Poor’s (S&P) memberikan BBB-.

Selanjutnya adalah: Status layak investasi diberikan oleh…

Layak Investasi

Status layak investasi yang diberikan oleh S&P ini dinanti oleh Indonesia selama sekitar 20 tahun. Dengan menyandang predikat layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat terkemuka, ditambah dengan Japan Credit Rating Agency (JCR), maka secara teoretis hal ini akan berdampak posistif terutama terhadap penurunan yield surat utang negara (government bond) dan masuknya investasi di negara kita.

Masuknya investasi, terutama investasi asing langsung, diharapkan menjadi penopang ekonomi Indonesia dan ujungnya menggerakkan sektor riil. Apakah situasi yang terjadi saat ini seperti harapan di atas? Untuk menyimpulkan hal ini perlu pembacaan yang kritis terhadap kondisi perekonomian Indonesia saat ini.

Pertama, dilihat dari kondisi makroekonomi Indonesia dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah bersama Bank Indonesia dalam mengelola makroekonomi secara prudent bisa dikatakan relatif berhasil. Indikasinya bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, dan indeks harga saham gabungan (IHSG).

Advertisement

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini sebesar 5,01%. Inflasi Indonesia Januari-Juni 2017 (ytd) tercatat sebesar 2,38% dan 3,02% year on year (yoy). Inflasi yoy ini merupakan angka terendah dalam tujuh tahun terakhir. Peran pemerintah daerah dalam hal pembentukan tim pengendali inflasi daerah (TPID) tidak bisa diabaikan.

TPID yang bersinergi dengan kementerian perdagangan bisa dikatakan relatif berhasil meredam gejolak harga yang biasa terjadi menjelang Lebaran. IHSG juga menguat sepanjang tahun ini sebesar 10,09% yang menandakan optimisme pelaku pasar modal terhadap kondisi ekonomi Indonesia masa depan.

Kedua, bisa dilihat dari sektor riil. Dilihat dari sektor riil, perekonomian Indonesia masih menunjukkan tanda-tanda kelesuan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator yang biasa dijadikan indikator awal (leading indicator) untuk memotret kondisi sektor riil. Sebagaimana diketahui pengidentifikasian indikator-indikator ekonomi ini bisa dimasukkan ke dalam tiga jenis indikator, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator.

Penggunaan leading indicator untuk memperkirakan arah pergerakan perekonomian negara ke depan. Lagging indicator berguna untuk mengonfirmasi prediksi yang dibuat oleh leading indicator, sementara coincident indicator digunakan untuk menentukan kondisi perekonomian negara saa tini.

Leading indicator yang pertama yaitu dari penjualan semen. Data dari Asosiasi Semen Indonesia menunjukkan penjualan semen pada semester pertama 2017 ini menurun sebesar 1,3% dibanding semester pertama 2016, yaitu dari 12.180.000 ton menjadi 12.020.000 ton.

Jika dilihat dari belanja pemerintahan Presiden Joko Widodo yang fokus kepada pengembangan infrastruktur, seharusnya hal ini mendorong peningkatan belanja semen secara signifikan. Penurunan penjualan semen mengkonfirmasi adanya kelesuan di sektor properti.

Selanjutnya adalah: Secara sekilas pembangunan apartemen/perumahan…

Advertisement

Pembangunan Apartemen

Meskipun secara sekilas pembangunan apartemen/perumahan yang berkonsep mixed used, hotel, perkantoran marak, namun daya beli masyarakat yang belum pulih menyebabkan penjualan properti belum menggembirakan. Indikator kedua bisa dilihat dari penjualan kendaraan bermotor. Penjualan mobil sedikit mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,61% pada semester pertama 2017 year on year.

Data dari Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo) menunjukkan pada semester pertama 2016 penjualan mobil secara wholesale (dealer ke konsumen) sebanyak 531.000 unit, sedangkan tahun ini sebanyak 534.286 unit. Yang menyedihkan adalah penjualan sepeda motor yang mengalami penurunan sebesar 13,1%, yaitu dari 3.106.880 unit menjadi 2.700.546 unit. Data ini dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI).

Indikator selanjutnya yaitu dari konsumsi listrik secara nasional. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan konsumsi listrik mengalami perlambatan. Pada semester pertama 2016 konsumsi listrik meningkat 7,8% year on year, pada semester pertama 2017 ini konsumsi listrik hanya naik sebesar 1,4% year on year.

Hal ini menunjukkan sektor industri masih menahan diri dari kegiatan ekspansi usaha. Beberapa indikator di awal menjadi penanda bahwa terjadi anomali pada perekonomian Indonesia. Fundamental makroekonomi Indonesia yang terjaga, bahkan sedikit memuaskan, tidak berhasil ditransmisikan secara baik ke dalam sektor riil.

Seolah-olah terjadi pemisahan (decoupling) antara sektor makro dan mikro, padahal sektor riil ini langsung bersinggungan dengan masyarakat banyak karena terkait dengan penciptaan lapangan kerja dan perbaikan daya beli.

Advertisement

Beberapa Solusi

Anomali perekonomian Indonesia ini tampaknya menjadi pekerjaan utama bagi pemerintah untuk mengatasinya. Ada beberapa alternatif solusi yang bisa ditawarkan. Pertama, perbaikan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Sebenarnya sejauh ini pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi yang beberapa di antaranya ditujukan untuk menggerakkan sektor riil.

Dalam tataran implementasi, paket kebijakan yang dikeluarkan sejak 2015 tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Berarti kendalanya ada di level teknis, yaitu di tingkat kementerian/lembaga yang terkait.

Patut diduga beberapa pos kementerian, terutama yang diisi oleh kader partai politik, kurang berhasil menerjemahkan visi dan misi Presiden Joko Widodo. Ada frekuensi yang terputus antara keinginan Presiden Joko Widodo dengan menteri terkait.

Kedua, ada kaitannya dengan permasalahan pertama, yaitu menggerakkan sektor industri. Kalangan pengusaha, terutama di bidang industri, yang sampai saat ini masih menahan ekspansi usaha salah satunya terkait dengan adanya beberapa regulasi yang justru kontraproduktif.

Selanjutnya adalah: Menteri jangan mengeluarkan kebijakan kontraproduktif…

Advertisement

Kebijakan Kontraproduktif

Masih teringat di benak kita beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo menyentil beberapa menteri supaya tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif, salah satunya adalah Kementerian Energi dna Sumber Daya Mineral.

Peraturan yang sering berubah yang dikeluarkan beberapa kementerian telah menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha karena menimbulkan ketidakpastian. Pengusaha jadi ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan akhirnya memilih bersikap wait and see.

Ketiga, peningkatan daya beli masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah. Sejauh ini kelompok inilah yang paling rentan terdampak kebijakan pemerintah misalnya dalam kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

Kelompok yang rentan miskin ini sangat merasakan adanya beberapa kebijakan yang kurang bersahabat dengan mereka. Perlu kebijakan yang bersifat afirmatif terhadap mereka pada khususnya dan masyarakat konsumen pada umumnya.

Sekadar mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai saat ini masih ditopang oleh sektor konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT). Beberapa solusi di atas diharapkan mampu mengurai permasalahan anomali yang terjadi di dalam perekonomian kita.

 

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif