News
Jumat, 4 Agustus 2017 - 00:30 WIB

Krisis Garam Jadi Tantangan Perguruan Tinggi Ciptakan Inovasi

Redaksi Solopos.com  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Retno Tanding Suyandari. (Istimewa)

Krisis garam yang terjadi di Tanah Air menjadi tantangan bagi akademisi perguruan tinggi untuk menciptakan inovasi.

Solopos.com, SOLO—Hal itu disampaikan pakar ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Retno Tanding Suyandari, menyoroti kelangkaan garam yang terjadi di Indonesia saat ini, Kamis (3/8/2017).

Advertisement

Tanding, sapaan akrabnya, mengemukakan produksi garam di Indonesia sekarang sangat tergantung pada sinar matahari. Musim hujan berkepanjangan dapat mengakibatkan turunnya produksi garam.

Menurut dia, produksi garam yang mayoritas masih tradisional di Indonesia menjadi kendala untuk menghasilkan garam secara efisien dan berbiaya produksi rendah. Dia mencontohkan petani garam di Madura maupun Nusa Tenggara Timur (NTT) yang biaya produksinya lebih tinggi dibanding produksi garam secara internasional.

Tanding memahami apabila sejumlah kalangan termasuk petani garam setuju dengan rencana pemerintah mengimpor garam konsumsi maupun untuk industri. “Kita perlu sekitar 3 juta ton. Jadi kalau kemampuan produksi hanya 118.000 ton, mau tidak mau ya memang harus impor,” kata dia saat ditemui wartawan di Kampus UNS Solo, Kamis.

Advertisement

Menurut Tanding, Indonesia perlu segera menghadirkan teknologi yang murah dan efisien untuk meningkatkan produksi garam. Hal ini merupakan tantangan bagi perguruan tinggi.

Terlebih di sejumlah negara yang hampir tidak memiliki garis pantai, justru sudah mampu memproduksi garam cukup tinggi dan efisien dibandingkan Indonesia. Padahal Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Faktanya produksi garam hanya 100.000 ton sedangkan kebutuhannya 750.000 ton.

Perguruan tinggi, menurutnya, dituntut untuk dapat menghadirkan dan menciptakan mesin produksi garam yang efisien. Di samping itu, Tanding menambahkan tata niaga garam juga perlu dibenahi. Sama halnya dengan tata niaga komoditas minyak dan beras, dia menilai untuk garam ini juga banyak tangan yang bermain sehingga tidak menguntungkan petani.

Advertisement

“Karena kondisi saat ini justru lebih banyak menguntungkan middle man atau pedagangnya. Nah untuk garam juga seperti halnya PT Bulog. Perlu mendefinisikan ulang tugas mereka,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif