Kolom
Kamis, 3 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Sejarah ”Pahitnya” Garam Nusantara

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M Fajar Shodiq

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (1/8/2017). Esai ini karya M. Fajar Shodiq, dosen Sejarah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah fajarshodiq70@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Gonjang-ganjing garam dalam beberapa pekan terakhir masih terasa. Pepatah ”bagai sayur tanpa garam” saat ini banyak mengisi linimasa di media sosial. Garam yang berpuluh-puluh tahun disepelekan orang sekarang seolah-olah menjadi barang langka dan antik berharga mahal yang bisa membuat rumah tangga sampai kalangan industri guncang karena kian sulit dicari.

Advertisement

Apakah krisis garam hanya terjadi kali ini? Ternyata tidak, sejarah mencatat krisis garam terjadi sejak abad  ke-17. Sebagai negara tropis yang kaya rempah-rempah dan hasil alam, kawasan Nusantara menjadi sasaran para saudagar asing dan penjelajah untuk mengadakan monopoli bidang apa pun, termasuk garam.

Tiongkok termasuk salah satu negara yang gencar melahap hasil panen garam Nusantara untuk kepentingan ekonomis mereka. Menurut Samsul Ma’arif dalam buku History of Madura, para saudagar asal Tiongkok membangun kekuasaan penuh atas garam Madura. Akibatnya banyak petani garam yang kelabakan dan menyebabkan terjadi krisis garam. Krisis karena harga membubung tinggi dan ketersediaan langka. Masyarakat dan petani garam banyak yang rugi.

Urgensi garam ternyata bukan hanya saat ini. Pemerintah kolonial Belanda juga menempatkan garam pada kedudukan yang penting, sebagai salah satu diantara sembilan bahan kebutuhan pokok. Sedemikian besar arti strategis garam maka  penguasa ”kolonial sisipan” Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkewarganegaraan Inggris, Th. S. Raffles (1811-1816), pada 15 Oktober 1813 mengeluarkan peraturan menghapuskan sistem penyerahan wajib (contingenten) dan sistem penyewaan produksi dan perdagangan garam yang dilakukan oleh para pemborong.

Advertisement

Sisi positifnya adalah Raffles menempatkan industri garam sebagai perusahaan negara. Urusan perdagangan dan pendistribusian garam dikelola perusahaan negara. Ia juga mengendalikan kebijakan ekonomi yang salah satunya mengadakan monopoli garam dan minuman keras.

Dengan kebijakan ini sebenarnya ada upaya pemodernan industri, akan tetapi ternyata hal ini tidak berlangsung lama karena Belanda kembali lagi menguasai Indonesia. Alih-alih pemerintah kolonial ingin mengeluarkan kebijakan yang ujungnya menguatkan posisi pemerintah dalam industri, namun pada akhirnya menjadi bumerang dan bencana di industri garam di Indonesia kala itu.

Pada 1818, misalnya, pemerintah kolonial melaksanakan kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam di daerah-daerah yang dikuasakan kepada para residen. Sayangnya, para residen kala itu juga banyak yang korup. Banyak pula kepentingan pejabat lokal yang ikut campur hingga menyebabkan pemasukan pemerintah dari sektor garam menjadi merosot.

Selanjutnya adalah: Masa krisis dan surplus garam silih berganti…

Advertisement

Krisis dan Surplus

Akibatnya, masa krisis dan surplus produksi garam silih berganti pada masa ini. Kondisi ini kian diperparah dengan tidak adanya pembatasan produksi garam yang mengakibatkan stok garam di gudang-gudang garam pemerintah berlebih dan tidak bisa didistribusikan dengan baik. Akibatnya timbul krisis yang berkepanjangan sampai satu dekade, yakni pada 1851-1861.

Krisis garam yang semakin berlarut-larut membuat pemerintah Belanda malah menghentikan produksi, bahkan menutup ladang-ladang garam di beberapa daerah, hingga produsen-produsen dan para pekerja kelimpungan dalam mencari nafkah. Atas kekacauan itu, pada 1860-1870-an muncul gagasan membebaskan produksi dan perdagangan garam.

Advertisement

Akhirnya wacana itu menguap dan tidak terlaksana karena khawatir pendapatan negara jadi berkurang. Karut-marut industri dan peraturan pemerintah kolonial yang tidak pasti, di perparah banyaknya jual beli garam di pasar-pasar gelap, akhirnya  menyebabkan distribusi garam tidak merata dan terdapat kesenjangan harga.

Terbitlah Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie atau sistem monopoli garam dari pemerintah Hindia Belanda yang diresmikan dalam Staatsblad van Nederlandch-Indie.  Dengan kebijakan ini peraturan  yang dibuat Komisaris Jenderal Du Boys pada 1829, peraturan ihwal menyewakan pengelolaan garam kepada pihak swasta guna menutup defisit keuangan VOC, berakhir saat itu juga.

Fluktuatifnya produksi garam tetap saja terjadi meski produksi garam meningkat walau tidak secara signifikan. Hal ini dipengaruhi faktor cuaca hingga produksinya tidak maksimal dan faktor lainnya seperti persaingan perdagangan yang kurang sehat. Kelangkaan garam secara nasional terjadi lagi pada 1909 dan 1910 hingga akhirnya mendorong manajemen pergaraman lebih menyempurnakan diri.

Pada 1912 perusahaan garam di Hindia Belanda membuka firma pelayaran sendiri dan mendirikan pabrik-pabrik serta bandar baru. Depresi ekonomi pada 1930 juga menghantam industry garam, namun pemerintah kolonial menyiasati dengan keputusan memperluas lahan-lahan garam berskala besar (3.000 hektare) serta tambak-tambak berkala kecil.

Advertisement

Setelah Kemerdekaan

Krisis garam tidak berhenti sampai di situ. Pada 1957, Presiden Soekarno mulai menghapus monopoli garam agar masyarakat bisa kembali memproduksi garam. Sayang, pemerintahan yang masih berusia muda ini belum cukup lihai dalam mengurus semua hal, termasuk produksi garam.

Kelangkaan garam kembali terjadi karena rakyat hanya bisa mengelola secara personal dan tradisional dan gagal panen. Mau tidak mau pada 1970, saat Presiden Soeharto berkuasa, pemerintah mengambil langkah strategis dengan mengimpor garam untuk mencukupi kebutuhan nasional.

Baru pada 1980 saat ada program swasembada pangan, produksi garam pulih kembali dan mata rantai impor garam segera diputus. Kejayaan garam mulai terlihat saat tahun itu garam nasional menjadi salah satu komoditas ekspor terbesar bersama beras dan gula.

Selanjutnya adalah: Perusahaan garam beryodium seolah-olah mati suri

Advertisement

Mati Suri

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Cucu Sutara, mengatakan hampir seluruh perusahaan yang memproduksi garam beryodium untuk konsumsi rumah tangga seolah-olah mati suri akibat kesulitan mendapatkan bahan baku.

Efek dari langkanya bahan baku garam amat luar biasa. Bukan hanya sekadar berpengaruh pada ketersedian garam di rumah-rumah tangga atau kalangan pengguna garam untuk usaha atau produksi, namun juga berdampak pada karyawan produsen garam konsumsi yang dirumahkan atau kena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Puluhan ribu orang yang hidup mereka tergantung pada produksi garam ini tentu akan kehilangan pekerjaan. Sebagai contoh, PT Budiono Madura Bangun Persada akan merumahkan 400 karyawan. CV Keluarga Gresik berencana memutus hubungan kerja 25 karyawan kalau ketersediaan bahan baku tak kunjung bisa dicukupi.

Faktor sulit mendapatkan bahan baku akibat perubahan cuaca diduga kuat menjadi penyebab kegagalan panen garam. Urusan cuaca itu seperti hujan masih turun meski musim kemarau. Jika tidak hujan sekalipun pada Agustus ini maksimal panen hanya 40% karena bulan-bulan sebelumnya hujan secara sporadis masih turun.

Kisah krisis garam sebenarnya bukan hal baru bagi yang mau menelusuri sejarah. Berteriak dan sekadar mengeluh di media sosial sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah dan jajaran terkait sebaiknya belajar dari sejarah dan bijak dalam menghadapi krisis agar garam tetaplah asin,  tidak berubah menjadi pahit.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif