Jogja
Selasa, 1 Agustus 2017 - 17:55 WIB

Melihat Proses Karantina Satwa Langka di WRC Kulonprogo

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah relawan dan tenaga ahli sedang melakukan morfometri (pengukuran badan) seekor elang brontok di WRC, Minggu (30/7/2017). Morfometri merupakan langkah penting sebelum satwa dilepasliarkan. (Uli Febriarni/JIBI/Harian Jogja)

Tujuh individu satwa langka dilindungi akan dilepasliarkan dari Kulonprogo menuju Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur, 10 Agustus 2017

Harianjogja.com, KULONPROGO– Tujuh individu satwa langka dilindungi akan dilepasliarkan dari Kulonprogo menuju Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur, 10 Agustus 2017 mendatang. Sebelum itu, mereka direhabilitasi terlebih dahulu di Wildlife Rescue Centre (WRC).

Advertisement

Suasana pada Minggu (30/7/2017) pukul 09.00 WIB di WRC begitu syahdu, suasana mendung dengan sedikit cahaya matahari yang tersibak dari dahan dedaunan, memberikan sensasi pagi yang istimewa di salah satu bagian Desa Sendangsari, Pengasih itu.

Suara siamang begitu jelas terdengar, kalau soal kicau burung jangan ditanya, bersahutan tak henti dari segala penjuru arah. Menyusuri salah satu jalan dengan kontur menurun menjadi pilihan, bila ingin lebih jelas melihat aktivitas hewan-hewan yang direhabilitasi di sana.

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan hayati terbesar. Dari sekitar 90 jenis burung pemangsa yang ada di dunia, 75 jenis diantaranya dapat di temukan di Indonesia dan dilindungi oleh undang-undang.

Advertisement

Namun, rusaknya habitat alamiah, perburuan liar, perdagangan satwa liar merupakan ancaman terbesar berbagai jenis satwa asli Indonesia, yang mengakibatkan berbagai jenis satwa-satwa itu menuju kepunahan.

Proses rehabilitasi adalah sebuah proses yang diperlukan oleh satwa asli tadi, apabila mereka telah dipelihara oleh masyarakat atau pemburu mereka. Rehabilitasi yang diikuti oleh satwa-satwa tadi, memiliki beberapa tahap.

Bersambung halaman 2, setiap satwa memiliki kemampuan berbeda

Manajer Konservasi WRC Randy Kusuma menjelaskan, rehabilitasi tidak menghadapi kendala berarti.

Advertisement

Manajer Konservasi WRC Randy Kusuma menjelaskan, rehabilitasi tidak menghadapi kendala berarti. Hanya saja ia menekankan, tak ada patokan baku untuk masa rehabilitasi satwa-satwa tersebut. Karena setiap satwa memiliki kemampuan berbeda dalam memasuki kesiapan untuk dilepasliarkan.

Rehabilitasi pada intinya adalah sebuah tahapan, untuk mengembalikan sifat liar milik satwa tersebut.

“Semakin lama satwa tersebut bersama manusia, biasanya membuat proses rehabilitasi untuk mengembalikan sifat liar mereka juga menjadi sulit,” tutur Randy yang merupakan dokter hewan ini, Minggu.

Di WRC, para perawat hewan memulai sebuah rehabilitasi ketika menerima satwa itu dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) atau dari masyarakat langsung. Satwa akan masuk masa karantina, sampai mereka dinilai cukup tenang dan tidak stres. Pemeriksaan organ dalam dilakukan, termasuk memeriksa kondisi kesehatan mereka.

Advertisement

Kondisi mereka paska assessment tentunya berbeda-beda. Bila mereka telah mengalami kerusakn tertentu pada bagian tubuh dn bersifat permanen, bukan tak mungkin mereka akan berada di WRC selamanya. Dan bagi mereka yang dinyatakan mengidap penyakit yang membahayakan satwa lain atau lingkungannya, prosedur eutanasia harus mereka hadapi dengan penuh legawa.

Paska karantina, mereka akan berada di kandang individu, proses pembenahan pola makan terjadi pada tahapan ini. Jenis pakan diberikan bertahap, mulai dari potongan hingga bentuk utuh. Yang jelas, semuanya harus berasal dari alam. Lagi-lagi pengamatan terus dilakukan, untuk melihat sejauh mana sifat liar mereka mampu kembali hadir.

Satwa burung misalnya, paska tahapan-tahapan tadi terlewati, mereka masih akan dipindahkan ke sebuah kubah. Teknis pemberian makan akan diupayakan sealami mungkin. Di kubah, mereka mendapatkan suasana menyerupai habitat asli, pepohonan, semak, dan tempat bertengger juga mereka dapatkan.

Berada di WRC seluas 13,9 Hektare itu, satwa-satwa yang direhabilitasi itu dikondisikan untuk memiliki interaksi seminimal mungkin dengan manusia.

Advertisement

Bersambung halaman 3, Menyusuri WRC yang nampak seperti hutan

Para awak media dibuat penasaran dengan tingkah laku dua ekor landak raya.

Menyusuri WRC yang nampak seperti hutan buatan itu, para awak media dibuat penasaran dengan tingkah laku dua ekor landak raya. Mereka aktif dan gesit bermain bersama, keluar masuk dalm terowongan buatan di kandang.

Pepaya, ketimun, hingga wortel bertebaran begitu saja. Sesekali satu di antara landak itu mengendusnya. Lalu berlari meninggalkan.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta (BKSDA DIY) Junita Prajanti menjelaskan, ada tujuh satwa langka dilindungi, yang sebelumnya direhabilitasi di WRC, dan akan dilepasliarkan.

Terdiri dari terdiri dari seekor elang brontok (Nisaetus chirhatus), empat ekor elang alap jambul (Accipiter trivirgatus) dan dua ekor landak raya (Histrix brachiura). Rata-rata satwa-satwa ini mulai direhabilitasi sejak 2012.

Advertisement

Pelepasliaran merupakan sebuah aksi masyarakat untuk menjadikan konservasi alam sebagai sikap hidup dan budaya di Indonesia, imbuh dia. Setiap anggota masyarakat harus turut menjaga keanekaragaman hayati.

Paska pelepasliaran, tim tetap melakukan monitoring dan evaluasi. Tidak menutup kemungkinan, satwa yang dinyatakan belum siap berada di habitat asli paska lepasliar, akan ditarik kembali ke lokasi rehabilitasi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif