Kolom
Selasa, 1 Agustus 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Kegaduhan Urusan Beras

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (29/7/2011) dan Bisnis Indonesia edisi Jumat (28/7/2017), karya Arif Budisusilo, anggota Dewan Redaksi Harian Solopos.

Solopos.com, SOLO–Ibarat panas setahun dihapus hujan sehari. Ini pepatah yang pas untuk menggambarkan pengelolaan pangan hari ini, gara-gara kegaduhan terkait tata niaga beras. Baru saja kita mengalami cerita sukses stabilisasi harga pangan seputar Ramadan dan Lebaran lalu.

Advertisement

Awalnya adalah penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) disertai keterangan yang bombastis dengan kerugian ratusan triliun rupiah yang simpang siur, tanpa akurasi memadai. Saham PT Tiga Pilar Sejahtera, induk perusahaan PT IBU, langsung anjlok seketika.

Dugaan kejahatan yang melatarbelakangi penggerebekan itu bergerak dari satu modus ke modus lainnya. Mulai dari dugaan persaingan tidak sehat, penyalahgunaan beras subsidi, penipuan kandungan gizi, pengoplosan produk, pelanggaran harga eceran tertinggi (yang sebenarnya belum berlaku), dan modus lainnya.

Begitu kuat kesan Satuan Tugas Pangan terburu-buru membuat ekspose dan berspekulasi, padahal masih butuh penyelidikan lebih lanjut. Akibatnya, terjadilah kekacauan opini, apalagi pada era penggunaan media sosial yang masif seperti sekarang ini. Berlakulah hukum ”aksi-reaksi”.

Reaksi begitu beragam, apalagi pernyataan para pejabat yang terlibat dalam Satuan Tugas Pangan bentukan Presiden Joko Widodo yang bertugas mengendalikan harga pangan tidak hanya mbulet dan debatable, bahkan begitu mudah dipatahkan dengan logika sederhana sekalipun.

Penjelasan para pejabat yang terlibat, mulai dari Kapolri, Menteri Pertanian, Menteri Sosial. dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, merujuk publikasi media, tak cuma berbeda-beda bahkan bertabrakan satu dengan yang lain. Kacaulah wacana publik.

Meski masih menyimpan ijazah sarjana dari Fakultas Pertanian, kalau saya ditanya apa yang sebenarnya terjadi soal kontroversi beras ini, terus terang saya angkat tangan. Seorang ekonom senior bahkan mengeluh.

”Berbagai berita tentang kasus beras ’subsidi’ ini semakin membingungkan. Isu utamanya menjadi tidak jelas. Sebagai ekonom, saya ingin tahu apa benar ada penguasaan pasar yang tidak sehat alias kartel dan pembentukan harga yang tidak sehat? Sayang, media massa malah diombang-ambingkan ke arah yang semakin tidak jelas fakta dan isunya,” kata ekonomi itu.

Advertisement

Keluhan itu mungkin saja mewakili kegundahan banyak orang yang lain. Saya pun tak ingin masuk ke wilayah substansi soal penggerebekan tersebut, takut menambah keruwetan. Biarkan penyelidikan berlangsung dan publik segera memperoleh kesimpulan dan fakta yang sebenarnya terjadi.

***

Yang jelas, hari–hari ini debat publik soal ”beras subsidi” itu seperti tiada ujung dan pangkal. Di banyak grup aplikasi perpesanan, sudut pandang dan perspektif para komentator begitu luas. Pro dan kontra sangat masif. Pihak yang pro menuding ada mafia pangan. Pihak yang kontra menganggap Satuan Tugas Pangan offside.

Kementerian Pertanian dituding tidak menghargai inovasi bisnis dalam perdagangan beras. Anda tahu, PT IBU membuat produk beras premium dengan packaging khusus sesuai selera konsumen guna memperoleh keuntungan dari margin penjualan yang lebar.

Dalam konteks itu, malah ada upaya membandingkan beras dengan komoditas lain, seperti kopi yang dijual Starbucks. Sepintas analogi beras dan kopi itu masuk akal, namun tidak fair juga melupakan positioning beras dalam perekonomian yang jauh beda dan tidak sebanding dengan kopi.

Selanjutnya adalah: Beras adalah bahan pangan strategis

Bahan pangan strategis

Advertisement

Beras adalah satu dari sekian bahan pangan strategis yang pada masa lalu disebut sebagai ”sembilan bahan pokok” alias sembako. Tak semua orang kecanduan minum kopi. Kalau mau membandingkan beras, komparasikan saja dengan bahan bakar minyak, mungkin akan lebih sepadan.

Saya punya memori, ketika masa kecil tinggal di kampung, keluarga kakek dan para petani selalu punya prinsip, “Ra duwe apa-apa ra patheken, sing penting duwe beras”. Artinya kurang lebih, nggak usah khawatir kalau kita nggak punya apa-apa, yang penting di rumah ada simpanan beras.

Artinya, beras merupakan bahan pangan pokok yang paling pokok bagi penduduk Indonesia. Ekonom Rizal Ramli, mantan Kepala Badan Urusan Logistik dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid, yang sempat menjadi ”juru kepret” sebelum digusur dari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, punya keyakinan sejak dulu agar pemerintah hati-hati mengelola beras.

Beras memiliki peran yang sangat sensitif secara ekonomi bahkan ”syur” secara politik. Kegagalan mengelola ketersediaan beras bagi penduduk akan menjadi malapetaka politik. Secara ekonomi, kegagalan mengendalikan harga beras juga akan menjadi bencana karena inflasi bakal sulit terkendali.

Di tengah angka kemiskinan yang masih relatif memburuk,  kenaikan inflasi akan mempercepat kenaikan rasio penduduk miskin. Ini menjadi risiko politik bagi pemerintahan Pak Joko Widodo. Sekadar ilustrasi saja, mengacu pada Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin meningkat dari 27,76 juta pada September 2016 menjadi 27,77 juta pada Maret 2017.

Meskipun hanya naik tipis, ini menjadi peringatan bahwa berbagai upaya mengurangi kemiskinan belum membuahkan hasil. Seorang ekonom bahkan berpendapat dengan batas garis kemiskinan adalah Rp12.000 per kepala per hari, jika pencairan beras sejahtera (rastra) tidak terlambat pada saat survei BPS dilakukan, mungkin angka kemiskinan akan berbeda.

Artinya, akses terhadap beras bagi penduduk strata sosial rendah ini begitu berpengaruh terhadap status kemiskinan mereka. Secara bisnis, berdagang beras menjadi sumber cuan menggiurkan. Bukan sekadar karena margin, tetapi lebih karena volume yang besar.

Advertisement

Supaya punya rujukan, kali ini saya sebut angka resmi dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Volume bisnis beras nasional mencapai 46,1 juta ton setahun. Artinya, apabila penjualan ke konsumen rata-rata Rp10.519/kilogram, valuasi trading beras mencapai Rp484 triliun.

Saya kira angka itu bisa menjadi gambaran bahwa bisnis beras di negara dengan penduduk 250 juta jiwa yang masih doyan makan nasi tiap hari memang begitu besar. Tentu saja potensi keuntungan bisnis beras di negeri ini masih amat maknyus.

Pada masa lalu ”tata niaga” beras juga menjadi salah satu sumber pendanaan bagi aktivitas politik. Dengan menyisihkan Rp100 per kilogram saja, Anda bisa hitung berapa uang yang potensial ”dimainkan” kalau bisa mengendalikan 10% saja volume perdagangan beras nasional yang totalnya mencapai 46,1 miliar kilogram itu.

Sedikit iseng saya coba menghitung. Dengan menyisihkan Rp100 per kilogram saja, angkanya mencapai Rp460 miliar per tahun kalau Anda bisa memegang 10% pasar beras (4,61 miliar kilogram). Menggiurkan, bukan? Tak mengherankan pada masa lalu Badan Urusan Logistik menjadi institusi basah dan jadi ”rebutan”.

Dengan kata lain, saya ingin mengatakan terlalu banyak pihak yang berkepentingan terhadap beras. Bukan cuma urusan ekonomi, melainkan juga bisnis dan politik. Pelaku bisnis beras menjadi powerful secara politik.

***

Bagaimanapun, kisruh perberasan membutuhkan penanganan yang proper dan kredibel. Di tengah anomali ekonomi yang memerlukan langkah strategis untuk menormalkannya kembali, kisruh beras ini menambah beban politik baru.

Advertisement

Kuat terkesan semua urusan menjadi gaduh. Soal utang gaduh, bahkan ada yang mengancam impeachment. Soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan juga gaduh, dan kini merembet ke kisruh beras.

Selanjutnya adalah: Terjebak wacana kontraproduktif…

Kontraproduktif

Gaduh beruntun dan berjemaah ini menggiring sebagian masyarakat yang seharusnya lebih produktif malah terjebak wacana kontraproduktif, sibuk berpolemik dan berdebat nggak keruan.

Jangan-jangan kondisi ini justru semakin memperkuat anomali ekonomi di tengah berbagai pujian internasional. Bank Dunia menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat iri banyak negeri lain.

Rasanya kontroversi urusan beras yang berkelanjutan tak akan menyelesaikan apa-apa, apalagi bila benar bahwa pro dan kontra tersebut lebih banyak berlandaskan atas motif ”rivalitas”. Bukan hanya rivalitas politik, tetapi juga rivalitas bisnis.

Yang jelas kontroversi yang tidak keruan ini tak akan mengangkat dan memperbaiki nasib petani. Semestinya membahas beras tak lepas dari bagaimana seharusnya pemerintah–dan para pihak yang terlibat—lebih fokus pada upaya perbaikan nasib para petani.

Advertisement

Bukan sekadar konsumen beras, tetapi para produsen, yakni petani dan buruh tani, selain mengendalikan inflasi. Satuan Tugas Pangan–dan Presiden Joko Widodo—saya kira punya cara untuk mencapai tujuan itu dengan tanpa memperkeruh keadaan.

Saya jadi teringat jawaban pendek Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat saya bertanya resep keberhasilan mengendalikan harga pangan pada Ramadan dan Lebaran lalu.

”Ya sedikit kita injek dan ancem,” begitu kata dia dengan nada bercanda. Apa pun caranya, nyatanya berhasil dan harga pangan saat Ramadan hingga Lebaran lalu relatif stabil, tidak bergejolak.

Saya pun setuju cara pandang Wakil Presiden Jusuf Kalla. Berbisnis beras jangan sampai diganggu, tapi juga jangan ambil keuntungan terlalu besar. Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara mengendalikan harga di tingkat konsumen agar tidak bergolak liar dan mengancam inflasi.

Banyak cara pula menertibkan tata niaga dan membuat kondisi persaingan usaha yang lebih sehat. Ini tujuan yang sangat baik, terlebih apabila kepentingan konsumen terlindungi, dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.

Apa pun caranya, tak perlu membuat para pebisnis menjadi takut berusaha, yang tentu kontradiktif dengan upaya Presiden Joko Widodo memperbaiki iklim bisnis dan investasi. Kredibilitas pemerintahlah, pada akhirnya, yang akan menjadi taruhannya.

Anda boleh suka atau tidak suka dengan cara pandang ini. Buat saya, suka atau tidak suka adalah domain pribadi. Benar atau salah, waktu yang akan membuktikannya.

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif