Kolom
Senin, 31 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Masa Depan Keroncong

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Kamis (27/7/2017). Esai ini karya Tito Setyo Budi, peserta Program Doktor di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo yang sedang menyusun disertasi tentang estetika keroncong karya Gesang. Alamat e-mail penulis adalah titoesbudi@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO — Festival musik keroncong pekan lalu digelar di Kota Solo. Ini adalah keramaian musik keroncong kali kesekian yang digelar di Kota Solo.  Saya teringat kejadian beberapa tahun tahun lalu. Dalam perjalanan menjemput Pak Gesang untuk merayakan peluncuran buku saya, Kembang Campursari, 15 tahun lalu (Solopos edisi 2 Oktober 2002), beliau mawantiwanti dalam bahasa Jawa krama alus,”Nakmas, kasuwun mangke kula mboten kadhawuhan nyanyi kanthi iringan campursari.”

Advertisement

Beliau berpesan nanti saat berlangsungnya acara agar tidak diminta menyanyi keroncong dengan iringan musik campursari. Saya langsung mafhum dan maklum adanya. Beliau tokoh keroncong tulen. Walau tak disampaikan dalam bahasa verbal, saya langsung paham bahwa sejatinya Pak Gesang kurang sreg ketika lagu-lagu keroncong dan langgam ciptaannya dinyayikan dalam garapan musik campursari (genre musik yang tengah booming waktu itu).

Di sisi lain beliau juga menyadari bahwa karyanya telah menjadi milik masyarakat dan masyarakat punya hak untuk menafsirkan dan mengaransemennya seiring selera zaman. Kelak kemudian hari, lagu-lagu karya Gesang tak hanya populer dalam garapan campursari namun juga dangdut koplo ala grup Sagita.

Langgam Jawa yang lembut, sendu, melankolis, seperti Pamitan dibuat berjingkrak enak dalam gerak joget, tak lagi memedulikan liriknya. Toh dalam dangdut koplo lirik apa saja menjadi tidak penting kecuali enak dijogedi. Dalam kondisi seperti itulah musik keroncong saat ini hidup.

Advertisement

Suka atau nestapa keroncong harus bertransformasi bahkan bereinkarnasi ketika telah menjadi seni rakyat (folk art) atau seni massa (mass art) dalam terminologi Hauser (1974). Upaya menjaga kemurnian musik keroncong tentu merupakan paham yang mulia, tapi bisakah membentengi keroncong agar tetap berada dalam sangkar emas berlabel ”asli”?

Yang jelas, ini bukan sebangsa soto yang bisa dengan mudah dilabeli ”kwali asli”. Sundari Soekotjo boleh saja berharap anaknya, Intan Soekotjo, berasli-asli. Apa boleh buat kala si anak memilih alur nalurinya sendiri: berkeroncong ala anak muda zaman kini.

Selanjutnya adalah: Mengkaji puluhan lagu keroncong…

Advertisement

Lagu Keroncong

Bersama promotor Prof. Sri Hastanto saya pernah mengkaji puluhan lagu keroncong yang dinyanyikan penyanyi-penyanyi kondang seperti Tuti Tri Sedya, Gesang, Waldjinah, Toto Salmon, Sundari Soekotjo, Ismanto, Hetty Koes Endang, hanya untuk menelisik apakah itu keroncong asli atau keroncong pop. Memang terdektesi, tapi mau apa?

Realitasnya adalah kaset atau CD/VCD/DVD yang merekam lagu yang dinyanyikan Mus Mulyadi laris manis di pasaran meskipun sang penyanyi tak pernah menang di festival keroncong mana pun dan kapan pun sebagaimana diakuinya dalam tayangan di sebuah televisi swasta nasional beberapa waktu yang lalu.

Barangkali telah menjadi suratan, tak ada manusia yang tak mengenal rasa bosan. Pada musik tingkat dunia ada nama Andre Rieu, pemain biola ”maut” kelahiran Belanda yang menjadi konduktor Johann Strauss Orchestra. Dia memelopori perubahan besar terhadap eksistensi musik klasik yang dikenal angker: penonton harus disiplin, tak boleh tolah-toleh ngobrol dengan teman sebelah, tak boleh bertepuk tangan sebelum lagu usai, tak boleh berdendang meski lagu itu sangat dikenal dan merupakan kesayangan.

Advertisement

Andre Rieu justru mengajak para penonton untuk turut berdansa saat dia memainkan lagu berirama waltz, mengajak penonton ikut melantunkan lagunya. Begitulah cara dia menjadi sangat populer dan dihujani kekaguman dalam setiap pentasnya di belantara Eropa, Amerika, Jepang, Korea, Australia.

Dua World Music Award dalam genggamannya, setidaknya delapan kali platinum music award diraih yang merupakan buah “pemberontakannya” itu. Dengan begitu, kelirukah kala penyanyi berbusana minim (bukan minimalis) dari grup Sagita mengajak penontonnya bergoyang ria saat menyanyikan lagu Luntur karya Gesang yang lirik dan nadanya ngrerujit ati itu?

Stepen Davies benar tatkala mendalilkan relasi musico-historical context dalam Themes in the Philosophy of Music (2005), ciri identifikasi musik berkelindan dengan struktur internal dan faktor sosial eksternal. Tak beda dengan para teoretikus sosiologi sastra yang senantiasa berpegang pada postulat bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (social vacum).

Selanjutnya adalah: Lirik menyuarakan nasionalisme…

Advertisement

Nasionalisme

Mengapa lagu-lagu keroncong, stambul, langgam keroncong, dahulu liriknya kebanyakan menyuarakan nasionalisme, cinta tanah air, puja-puji alam semesta Nusantara? Itu jiwa zaman. Dalam hal ini kita ikut memetik keuntungan ketika pada masa penjajahan Jepang, Keimin Bunka Shidoso membabat habis lirik-lirik berkiblat Belanda dan mengharuskan para komponis memuja ketimuran yang sesuai dengan cita-cita Asia Timur Raya.

Dari ratusan lirik lagu keroncong pada zaman sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang saya teliti tak tampak aura keterpaksaan di sana. Semua dilakukan dengan sadar, gembira, dan penuh cita-cita. Meminjam pernyataan Gordon Graham dalam Philosophy of the Arts (1997), dalam karya-karya musik keroncong waktu itu terdapat elaborasi proposisi dan doktrin dalam pengertian yang positif.

Masa Depan

Sudah lama terdengar teriakan, keluh kesah, gugatan, akan semakin surutnya musik keroncong. ”Harus saya akui, kondisi musik keroncong memang tak sebagus musik pop, dangdut, dan lainnya. Masyarakat yang ingin mendengarkan musik keroncong tidak sebanyak musik jenis lain. Keadaan itu berimbas ke musisinya,” ujar Ratna Listy, 44, penyanyi keroncong asal Madiun (Kompas, 22 November 2014).

Advertisement

Ratna tak sendirian. Sang maestro keroncong Waldjinah, Sundari Soekotjo, Gesang (almarhum) mengatakan hal yang sama pada beberapa kesempatan. Bau pesimisme tak bisa disembunyikan. Sementara komponis asli keroncong semacam Ismanto, Andjar Any, Mardjokahar, Sapari, W.S. Nardi, Oetjin Noerhasyim, Maladi, Gesang, Ismail Marzuki, Budiman B.J., tak bisa lagi bisa diharapkan untuk menciptakan lagu-lagu baru yang senapas dengan zaman ini karena sudah kembali pada Sang Khaliq.

Dalam aneka acara sekarang ini, lagu-lagu keroncong masih didendangkan, namun kebanyakan lagu-lagu pop yang dikeroncongkan. Istilah ”dikeroncongkan” ini ditolak oleh pemusik Koko Thole. Yang benar, menurut dia, adalah lagu pop yang diiringi musik keroncong.

Selanjutnya adalah: Gebrakan yang ada gaungnya…

Gebrakan

Apa pun dalih dan dalilnya, gebrakan yang dilakukan Koko Thole sebagaimana sering terlihat di stasiun televisi ada gaungnya juga. Ketika dia mampu mengaransemen lagu pop, rock, blues, country, dangdut, dalam irama keroncong membuat pemirsa sadar dan ngeh betapa keroncong bisa mengimbangi tuntutan selera publik masa kini.

Juga apa yang dilakukan Djadug Ferianto dengan grup musiknya, Sinten Remen. Simak saja penampilannya dalam menyuguhkan Geef Mij Maar Nasi Goreng. Sangat elok dan memikat. Itulah saya kira masa depan keroncong jika kita ingin musik warisan leluhur tetap bertahan dalam gempuran zaman.

Sementara yang tetap setia menyanyikan lagu keroncong asli patut diacungi jempol. Yang mencampusarikan, mendangdutkan, mengoplokan lagu-lagu keroncong biarlah asyik dan berbahagia dengan jalur dan warna musik yang diinginkan.

Sebagai penutup saya perlu memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada masyarakat Solo dan Soloraya yang masih memiliki grup-grup keroncong militan. Siapa tahu kawasan ini merupakan benteng terakhir musik keroncong. Ah, saya pikir tidaklah! Di kota lain masih sering diperdengarkan musik keroncong, baik yang asli maupun yang berasal dari lagu pop.

Kepada Harian Solopos tentu saja apresiasi sangat perlu saya berikan karena tak pernah absen mengabarkan setiap ada pergelaran atau festival musik keroncong. Hidup keroncong!

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif