Soloraya
Minggu, 30 Juli 2017 - 22:35 WIB

Kisah Agung BH, Eks Kondektur Bus yang Kini Juragan Kutang Pasar Klewer Solo

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agung Prakoso alias Agung BH, juragan kutang di Pasar Klewer Solo. (Danur Lambang Pristiandaru/JIBI/Solopos)

Agung BH atau Agung Prakoso pernah menjadi kondektur bus sebelum jadi juragan BH di Pasar Klewer Solo.

Solopos.com, SOLO — Selembar banner MMT terpampang di sebuah kios di timur Alun-alun Utara (Alut) Keraton Solo. Banner itu cukup menggelitik karena memuat gambar seorang pria berkumis memeluk kutang raksasa berwarna merah muda dengan wajah tersenyum dan tangan kirinya memamerkan jempol.

Advertisement

Di bawah gambar tersebut ada tulisan “Agung BH” dengan font tebal berwarna kuning. Sesosok pria tersebut tak lain adalah pemilik kios sekaligus juragan pakaian dalam bernama Agung Prakoso atau dikenal sebagai Agung BH.

Meski terkesan menggelitik, Agung mengaku gambar tersebut memiliki makna filosofis mendalam. Sebelumnya, logo tokonya adalah seorang bayi di belakang kutang.

Saat ditemui Solopos.com di Gedung Ikatan Peraudaraan Haji Indonesia (IPHI) Ngrampal, Sragen, seusai memberikan materi dalam seminar bertajuk Membangkitkan Jiwa Pengusaha Nusantara, Minggu (30/7/2017), Agung memberikan penjelasannya.

Advertisement

“Bayi itu kan lama-lama menjadi besar, kan? Karena itulah, melalui BH [buste houder atau kutang] saya menafkahi keluarga dan karyawan, melalui BH juga saya dibesarkan. Jadi filosofi gambar saya yang memeluk BH itu adalah sampai kapan pun bisnis ini akan saya pertahankan meskipun harus berdarah-darah. Sedangkan makna jempolnya adalah harapan supaya Agung BH tetap eksis,” kata dia setengah berkelakar.

Lelaki berkacamata tersebut juga berbagi cerita awal perjuangannya merintis usaha. Setelah lulus SMA sekitar 1987, Agung bekerja sebagai kondektur bus. Sebelas perusahaan otobus (PO) antarkota antarprovinsi (AKAP) maupun antarkota dalam provinsi (AKDP) pernah dijabanin selama 11 tahun.

Berbagai trayek sewaktu menjadi kondektur telah dia jajal seperti Semarang-Blora, Semarang-Solo, Solo-Wonogiri, Surabaya-Jogja, Malang-Bandung, dan lain-lain. Namun, takdir rupanya tak mengizinkannya menjadi kondektur selamanya.

Sekitar 1998, hatinya kesengsem kepada seorang gadis di Terminal Sragen. Meski saat itu dia merasa tidak mempunyai apa-apa, dia memberanikan diri melamar gadis tersebut.

Advertisement

“Rupanya dia tinggal bersama orang tua angkatnya. Mereka enggak setuju anak angkatnya diperistri seorang kondektur. Apalagi saya berasal dari keluarga yang kurang mampu dengan enam bersaudara,” tambahnya.

Namun, si gadis tersebut juga tak ingin berpisah dengan Agung. Dia kemudian diperkenalkan kepada orang tua kandung si gadis dan di luar dugaan hubungan mereka direstui.

“Karena saat itu tidak memiliki modal apa-apa, cincin kawinnya saja harus meminjam dari kakak saya. Sehabis ijab, cincinnya saya kembalikan sehabis ijab kabul. Tak hanya sampai di situ, sehabis resepsi pun, kami harus tidur di atas kalen [selokan] di depan rumah beralaskan sesek [jembatan kecil dari kayu] karena rumah orang tua istri saya juga sangat kecil, hanya 4 m x 5 m. Tidak ada sisa tempat bagi kami, pengantin baru,” kenang agung.

Tak ingin bergelut dengan kemiskinan, Agung mencoba berbisnis. Dia mencoba berdamai dengan orang tua angkat istrinya yang akhirnya mlunak.

Advertisement

“Waktu itu saya tanya orang tua angkat istri saya. ‘Enaknya berbisnis apa, ya, Pak?’ tanya saya. Lalu dia menjawab ‘jualan kutang saja.’ Sejak saat itulah saya berpikir untuk berjualan pakaian dalam karena telah mendapat restu dan pencerahan,” sambung Agung.

Sekitar 1999, berbekal uang tunai senilai Rp1,6 juta hasil penjualan sapi ayahnya, Agung memberanikan diri kulak kutang di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Dengan uang tersebut, dia hanya bisa membeli setengah karung kutang.

Kutang tersebut dia tawarkan di beberapa pasar di Soloraya seperti Sukoharjo, Wonogiri, dan Pasar Klewer. Namun, rupanya tak mudah berjualan kutang. Barang-barang yang ia titipkan di sejumlah pedagang kurang begitu laku.

“Mungkin karena belum ada kepercayaan dengan produk saya. Pernah saya jualan sampai ke Blora dan Purwodadi. Hanya laku selusin sehari dan dapat laba Rp2.000. Saya harus prihatin saat itu. Setiap kali kulak ke Jakarta, saya enggak pernah makan nasi kecuali sudah sampai rumah atau ditraktir sama kru bus,” kenang warga Puro Asri, Karangmalang, Sragen ini.

Advertisement

Cibiran dan cemoohan datang silih berganti baik dari pedagang maupun pembeli. Hal tersebut tak membuat nyalinya ciut, justru menerimanya menjadi masukan untuk melayani lebih giat lagi.

Seiring berjalannya waktu, Agung mampu membeli kios di dalam Pasar Klewer dan tak hanya menjual kutang namun berbagai pakaian dalam lain. Bisnisnya pun semakin berkembang. Pada 2005, dia mulai membikin merek sendiri bernama Agung BH.

Toko Binaan

Sewaktu merintis mereknya, dia mempunyai strategi jitu. Dengan bahan dan jenis yang sama dan sedikit perbedaan model, dia mulai menjual produknya dengan mengurangi porsi merek kompetitor.

Perlahan, setelah produknya semakin laris dan diketahui pasar, lama kelamaan dia hanya menjual produk bikinannya di kiosnya. Dia juga mulai mendistribusikan produknya ke beberapa agen dan toko dan membuka toko baru di Soloraya.

Kapasitas produksinya juga semakin meningkat dan menjalin kerja sama dengan beberapa konfeksi. Diversifikasi produk juga mulai dia kembangkan. Kini dia mempunyai produk berbagai macam pakaian dalam mulai dari orang tua hingga bayi untuk semua gender.

Advertisement

Produknya juga dikulak oleh perantau asli Sragen yang membuka toko pakaian dalam seperti di Sumatra, Kalimantan, NTT, NTB, dan Papua. Produk yang ia jual mulai Rp11.000/lusin sampai Rp3 juta/lusin.

Dia juga melepas 45 toko yang dia sebut sebagai toko pendampingan. “Toko pendampingan adalah toko yang saya lepas setelah saya dampingi. Toko pendampingan bisa berupa toko yang saya miliki kemudian dibeli karyawan ataupun toko baru yang langsung membeli produk-produk saya. Toko-toko itu saya dampingi sampai mereka mandiri dan sudah saya lepas semua. Hal itu saya lakukan untuk mengedukasi karyawan yang ingin lepas atau orang awam yang ingin berbisnis pakaian dalam,” tambahnya.

Ke depan, dia berencana menambah toko pendampingan sebanyak 100 toko. Setelah toko tersebut mandiri, pemilik toko bisa dengan bebas meneruskan untuk membeli produk Agung atau menggesernya dengan produk lain.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif