News
Minggu, 30 Juli 2017 - 17:00 WIB

Hanya Berdasar Audit BPK, Kasus Pelindo II Belum Tentu Korupsi

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Harbour mobile crane (HMC) milik Pelindo II disegel penyidik Bareskrim Polri, Jumat (28/8/2015) siang. (Ahmad Mabrori/JIBI/Bisnis)

Kasus perpanjangan konsesi JICT oleh Pelindo II kepada Hutchison dinilai belum tentu memenuhi unsur korupsi jika hanya berdasar audit BPK.

Solopos.com, JAKARTA — Meski diduga terdapat unsur kerugian negara dalam perpanjangan konsensi Jakarta International Container Terminal (JICT), manajemen PT Pelindo II tidak serta-merta bisa dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi.

Advertisement

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti Andi Hamzah mengatakan dugaan kerugian negara dalan konsesi JICT sebagaimana hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa dijadikan dasar tudingan bahwa telah terjadi korupsi. “Meski rugi, tapi kalau tidak ada perbuatan melawan hukum dan tidak ada perbuatan memperkaya diri atau orang lain,” katanya kepada Bisnis/JIBI, Jumat (30/7/2017).

Menurutnya, tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang, serta ada aliran uang yang diterima atau diserahkan kepada orang lain sebagai bagian dari memperkaya pihak lain.

Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II Rieke Dyah Pitaloka mengatakan berdasarkan hasil audit investigasi BPK terkait perpanjangan kontrak JICT dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, ditemukan indikasi kerugian negara US$306 juta (Rp4,08 triliun).

Advertisement

Pansus, lanjutnya, melihat ada indikasi terjadi dugaan penyimpangan atas perundang-undangan serta kerugian negara dalam perpanjangan konsesi yang diberikan kepada Hutchison, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Dengan demikian, Pansus menilai hal tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sehingga pihaknya menginginkan KPK untuk menindaklanjuti hasil temuan tersebut.

“Kalau tidak ada perpanjangan kontrak pada 2015 itu, pengelolaan JICT bisa 100% dilakukan oleh Indonesia. Selain itu, nilai kontrak perpanjangan itu lebih rendah dibandingkan kontrak pertama pada 1999,” paparnya.

Pihaknya juga meminta agar kasus perpanjangan kontrak tidak dipetieskan, jangan pula ada intervensi politik yang mengganggu jalannya penyelidikan maupun penyidikan. Kasus ini, paparnya, bisa menjadi pintu masuk tata kelola BUMN sehingga bisa lebih profesional dan mampu memberikan manfaat bagi negara.

Advertisement

Selain mengenai persoalan perpanjangan kontrak tersebut, pansus juga menduga terjadi dugaan penyimpangan dalam pembangunan Pelabuhan Kalibaru yang mencapai Rp11 triliun. Dengan kapasitas yang sama, menurutnya pembangunan Pelabuhan Teluk Lamong yang dilakukan oleh PT Pelindo III anggarannya hanya sebesar Rp6 triliun.

“Ada pula global bond yang nilainya cukup besar Rp20,8 triliun yang terindikasi diterbitkan tanpa perhitungan matang sehingga PT Pelindo II, BUMN milik Indonesia harus membayar bunga Rp1,2 triliun. Padahal uang itu bisa digunakan untuk membangun pelabuhan lain,” terangnya.

Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Indonesia Development Monitoring Ferdinand Situmorang menduga audit BPK berbau politis karena Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak bisa melakukan pembatalan perjanjian antara PT Pelindo II dan Hutchison Port Holding .

“PT Pelindo II sekalipun milik negara 100% tetapi juga tunduk pada UU perseroaan terbatas dalam pengelolaannya.Artinya bukan menjadi tanggung jawab Menteri BUMN ketika PT Pelindo II melakukan aksi korporasinya,” paparnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif