Kolom
Kamis, 27 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Komitmen Jiwa Anak-Anak

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Yeni Mulati (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (24/7/2107). Esai ini karya Yeni Mulati, seorang penulis, aktivis perempuan, wirausaha, dan Sekretaris Jenderal Forum Lingkar Pena. Alamat e-mail penulis adalah afifahafra@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Baru-baru ini publik dikejutkan dengan berita kematian vokalis Linkin Park, Chester Bennington. Harian Solopos edisi 21 Juli 2017 memberitakan lelaki berusia 41 tahun itu meninggal karena bunuh diri.

Advertisement

Dia menghabisi nyawanya dengan cara menggantung diri di rumahnya yang berlokasi di Palos Verdes Estates, Los Angeles, pada pukul 09.00 waktu setempat, Kamis (20/7). Tragedi kematian tersebut terjadi pada tanggal yang sama dengan kematian sahabat Bennington, yakni Chris Cornell, yang juga meninggal karena bunuh diri.

Alasan bunuh diri telah terkuak. Bennington bunuh diri karena merasa depresi. Sejak kecil, Bennington tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif untuk proses tumbuh dan berkembang yang normal.

Dikabarkan sejumlah media bahwa Bennington merupakan korban perundungan anak (child abuse). Saat kecil dia adalah korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak yang lebih besar. Pada saat Bennington berusia 11 tahun kedua orang tuanya bercerai.

Advertisement

Frustrasi akibat kehidupan, Bennington lari ke dunia malam, alkohol, dan narkoba. Meski karier musiknya berkibar dan berhasil mendudukkan dirinya sebagai salah satu musikus terkemuka di dunia, ternyata Bennington memiliki kehidupan yang suram. Puncaknya adalah peristiwa kematian yang tragis tersebut.

Bennington merupakan potret nyata dari contoh generasi yang dibesarkan dengan aroma kekerasan dan ketidakharmonisan. Meski bakatnya luar biasa, ternyata kondisi psikologisnya begitu rentan sehingga tak sanggup mengatasi depresi yang menimpanya.

Peristiwa bunuh diri yang diduga disebabkan karena depresi baru-baru ini juga menimpa seorang selebritas dalam negeri, yaitu Oka Mahendra Putra, CEO Takis Management yang juga eks pacar selebritas Instagram atau selebgram Awkarin (Karin Novilda).

Meski tidak mengalami perundungan, Oka bunuh diri pada usia yang masih sangat muda, yaitu 22 tahun. Ketidakmampuan Oka mengelola depresi pastilah dipengaruhi jalan panjang kehidupan yang dia hadapi semasa anak-anak.

Advertisement

Setiap 23 Juli kita memperingati Hari Anak Nasional. Bersamaan dengan momen tersebut semestinya kita bisa berkaca sejauh mana anak-anak kita mendapatkan hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya.

Masih lekat dalam benak kita satu per satu anak-anak mengalami peristiwa tragis yang bahkan mencabut nyawa mereka, misalnya pembunuhan Engeline Margriet Megawe di Bali, Neysa Nur Azlia di Kalimantan Timur, hingga Intan Olivia Marbun yang menjadi korban bom di Samarinda.

Beruntunnya peristiwa sadis yang menimpa anak-anak sering membuat orang tua merasa cemas. Seperti tak ada rasa aman yang membuat anak mampu tumbuh dengan nyaman.

Di sekolah yang semestinya menjadi tempat bertumbuh secara edukatif, ternyata juga tak luput dari kisah kekerasan seksual, sebagaimana yang terjadi di sebuah sekolah elite di Jakarta beberapa waktu lalu. Demikian juga kisah anak yang dicekoki narkoba, kian membuat kita semakin paranoid.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Orang tua merasa kian tidak aman…

Merasa Tidak Aman

Meski Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diterbitkan dan diberlakukan, pada realitasnya kian hari orang tua merasa kian tidak aman melepaskan anak-ana di lingkungan luar.

Advertisement

Sebagai salah satu mekanisme perlindungan, banyak orang tua memilih untuk mengurung anak di rumah. Ini hal yang sebenarnya tidak tepat untuk proses tumbuh dan berkembang anak. Anak butuh bersosialisasi dengan masyarakat, butuh melihat alam semesta, dan butuh belajar kearifan lokal dari sesama.

Kita tentu tak ingin anak-anak kita memiliki masa lalu yang membekas hingga dewasa sebagaimana yang dialami Bennington, bukan? Butuh tindakan bersama mulai dari orang tua, sekolah, masyarakat, dan tentu saja negara untuk menyelamatkan anak-anak kita dari kejahatan orang-orang yang tak bertanggung jawab dalam bentuk child abuse.

Berikut ini beberapa saran yang harus kita lakukan. Pertama, sebagai orang tua, kita harus hadir secara lengkap, baik ayah maupun ibu, pada kehidupan si anak dan memainkan peran seoptimal mungkin. Keluarga yang kuat akan mampu melahirkan generasi yang bermartabat.

Tanamkan pendidikan karakter, kekuatan fisik, dan keunggulan otak sejak dini. Terkait dengan kekerasan seksual, ajari anak untuk mengantisipasinya, misalnya kita mengajari kepada mereka gelagat dan tanda-tanda orang yang hendak melakukan kekerasan seksual, salah satunya  jamak dengan memegang organ intim.

Ajari anak untuk membela diri, minimal untuk melarikan diri, sehingga anak perlu belajar berlari kencang, berkelit, Beberapa permainan tradisional seperti petak umpet dan gobak sodor bisa diperkenalkan kepada mereka, bukan malah memperkenalkan budaya sedentary lifestyle atau “mager” alias malas gerak. Mager, misalnya, karena terlalu asyik dengan gadget atau nonton televisi dan malas berolahraga.

Kedua, masyarakat sekitar, baik di lingkungan sekolah maupun rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) harus merumuskan program bersama untuk melindungi anak dan memetakan permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Masyarakat harus mampu mendidik anak-anak mereka untuk cerdas secara sosial, namun tetap terlindungi dari tangan-tangan orang yang tak bertanggung jawab.

Advertisement

Ketiga, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan partai politik harus memiliki agenda nyata yang efektif dan efesien, tak hanya dalam melindungi anak dari perundungan, tetapi juga optimalisasi tumbuh kembang anak sesuai bakatnya.

Keempat, pemerintah dan aparat penegak hukum harus mampu menciptakan suasana aman dan memberi efek jera terhadap para pelaku kejahatan perundungan anak dengan cara memberikan hukuman seberat-beratnya.

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan jenius. Begitu kata ilmuwan Albert Einstein. Apa gunanya kejeniusan jika mereka tumbuh dalam bayang-bayang teror dan kekerasan? Mari, selamatkan anak-anak kita, anak Indonesia, generasi pewaris peradaban bangsa.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif