Kolom
Rabu, 26 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Bukan Penerus Sastra Jawa Modern

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bisri Nuryadi (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (22/7/2017). Esai ini karya Bisri Nuryadi, seorang guru Bahasa Jawa dan pembaca setia Rubrik Jagad Jawa Solopos. Alamat e-mail penulis adalah bisrinuryadi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Wong Jawa patut berterima kasih kepada Ki Padmasusastra (1843-1926), bapak sastra Jawa abad ke-20. Atas kiprah dialah jalan panjang kesusastraan Jawa modern semakin terbuka lebar.

Advertisement

Wajah kesusastraan Jawa seperti malik grembyang, tidak lagi ditentukan trah keraton dan kalangan orang di sekitarnya. Berbagai pihak, seperti petani, dokter, guru, mahasiswa, siswa, dan masyarakat dari berbagai lapisan bisa ikut andil dalam menuliskan karya sastra Jawa modern (crita cekak, geguritan, drama, dan novel berbahasa Jawa).

Dari proses kelahiran hingga bisa dikatakan tua, kondisi sastra Jawa mengalami pasang surut dan suka duka. Esai Ibnu Wibi Winarko di  Rubrik Gagasan yang terbit di Harian Solopos edisi Sabtu (15/7/2017) berjudul Penerus Sastra Jawa Modern menjabarkan sebagian pasang surut dan suka duka tersebut.

Ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi terkait esai tersebut. Pertama, di bagian awal dijelaskan bahwa generasi sekarang lebih memilih bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Jawa. Saya termasuk salah seorang yang sependapat dengan Sapardi Djoko Damono bahwa bahasa dan sastra Jawa tidak perlu dirisaukan.

Banyak pendapat yang menyatakan bahasa Jawa telah menemui kuburannya dan segera hilang ditelan bumi. Sastra Indonesia disebut-sebut sebagai penggali kuburan bahasa Jawa tersebut. Kita selalu mengingat bahwa posisi orang Jawa berada pada kondisi harus menggunakan dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Menjadi wajar wong Jawa bisa menggunakan dua bahasa tersebut, walau dalam struktur kalimat bisa dikatakan banyak yang masih jauh dari tata bahasa bakunya. Walaupun mengalami kelunturan, kenyataannya sampai sekarang bahasa Jawa masih dikenal oleh orang Jawa itu sendiri.

Sekarang banyak lagu-lagu yang menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk dangdut, pop, bahkan hip hop yang mampu menyihir banyak orang Jawa, bahkan non-Jawa. Di Suriname, sejak keberangkatan orang Jawa pada akhir abad ke-19, sampai sekarang bahasa Jawa masih bisa dinikmati masyarakat keturunan Jawa di sana.

Kita tidak tahu apakah bahasa Jawa di negara tersebut keberadaannya dijamin oleh undang-undang atau tidak. Dalam keseharian banyak wong Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia tetapi secara tekstual mereka enggan meninggalkan unsur ke-Jawa-annya.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Unsur bahasa Jawa yang menonjol…

Unsur Bahasa Jawa

Unsur bahasa Jawa yang menonjol adalah penggunaan kata basa Jawa krama, seperti kala kita mendengar percakapan kalangan priayi semisal seorang dokter, perawat, atau guru. Mereka tidak melulu menggunakan bahasa Indonesia.

Sebagai contoh, “Lho, Bapak gerah-nya sejak kapan, nggih?” atau seperti kalimat berikut, “Mangga, Bapak Ibu segera masuk, acara akan segera dimulai”. Kata gerah, nggih, dan mangga berfungsi untuk menghormati lawan bicara.

Mereka sengaja mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa krama untuk kepentingan praktis tanpa harus meninggalkan nilai unggah ungguh. Pada dasarnya masih banyak orang Jawa yang tidak ingin meninggalkan bahasa Jawa.

Bahasa Jawa memang terbilang ribet dalam penggunaanya maka banyak yang memilih memakai bahasa Indonesia atau mencampurnya dengan bahasa Jawa. Ini banyak terjadi saat acara-acara di masyarakat Jawa yang ada prakata sambutan atau pidato, semisal pitulasan, halalbihalal, acara pertemuan di kelurahan, dan berbagai macam pengajian.

Advertisement

Tidak sedikit pembicara yang pada awal pidato mengatakan sebenarnya ingin menggunakan bahasa Jawa, namun karena takut salah maka beralih menggunakan bahasa Indonesia. Berbicara menggunakan bahasa Jawa ragam krama jika tidak tepat penggunaan kata atau kalimatnya malah terkesan wagu dan bisa menjadi bahan tertawaan.

Terlepas dari salah atau benarnya, penggunaan bahasa Indonesia bercampur bahasa Jawa sudah lama di masyarakat Jawa. Jika hanya menilik kesalahan dalam bahasa yang digunakan, mungkin rasanya kurang adil karena banyak sekali kesalahan dan perbedaan pendapat tentang penggunaan bahasa Jawa itu sendiri.

Misalnya dalam acara mantenan, seperti pambiwara, atur pasrah-tampi, dan  pambagyaharja sampai sekarang pun untuk penggunaan bahasa Jawa tentang mana yang benar dan salah bisa dikatakan belum tuntas. Belum lagi udur-uduran kata sugeng dan wilujeng yang berarti “selamat” sampai detik ini pun masih menuai pro dan kontra.

Tembang Macapat

Di dalam tembang macapat yang dicap sastra adiluhung pun ada yang menganggap sebagai perusak kata karena banyak kata dipaksakan untuk memenuhi guru lagu dan guru wilangan. Toh, hingga hari ini dari berbagai macam pendapat itu semua masih bisa berjalan menurut pemahaman dan pendapat masing-masing.

Kedua, petualangan Emi Sudarwati, pengajar Bahasa Jawa di SMPN 1 Baureno, Bojonegoro, Jawa Timur, bersama para siswanya membukukan karya sastra Jawa.  Dalam esai tersebut dijelaskan para siswa yang menulis dalam crita cekak atau geguritan tersebut adalah laksana kepompong yang kelak akan berubah menjadi kupu-kupu.

Selanjutnya adalah: Inilah yang mendasari judul esai…

Advertisement

Mendasari

Inilah yang mendasari judul esai karya Ibnu Wibi Winarko yang menganggap kepompong itu adalah para penerus sastra Jawa modern yang kelak bertiwikramaPada 2014 saat mengajar materi geguritan di SMK, seluruh siswa saya suruh menulis geguritan.

Saya menganggap dari sekian ratus siswa kelas XII, ada seorang siswa yang memang memiliki kompetensi unggul dalam menulis geguritan. Siswa itu bernama Maryati, ia siswa Jurusan Teknik Komputer Jaringan II. Ia berkompeten dalam menulis geguritan karena pernah menulis delapan judul geguritan, bahkan lebih.

Saya sengaja menyuruh dia mencipta geguritan berkali-kali, walaupun untuk siswa lainnya maksimal tiga judul saja. Ia menyanggupinya dengan harapan tulisannya nanti bisa diedit dan dikirimkan ke media massa. Kenyataanya geguritan karya dia tak pernah dimuat di media massa hingga sekarang.

Ia tak patah arang dan nglokro untuk menulis geguritan lagi, namun semangat menulisnya mulai kendor saat menginjak semester genap. Ini dianggap sebagai persoalan yang wajar di sekolah-sekolah manapun karena siswa kelas XII di SMA/SMK/MA maupun siswa kelas IX di SMP dan yang sederajat harus fokus terlebih dahulu menghadapi ujian nasional.

Sampai saat ini saya masih menyimpan banyak geguritan karya para siswa seangkatan Maryati dan juga tahun sesudahnya, termasuk tugas lain seperti penciptaan tembang macapat dan cerita rakyat desa dalam bentuk lembaran sederhana. Mungkin ini akan membedakan dengan karya siswa yang sudah berbentuk buku dan punya International Standard Book Number (ISBN) sebagaimana yang diampu Emi Sudarwati.

Advertisement

Salah satu geguritan Maryati itu berjudul Mendhung Wayah Wengi. Kalimat-kalimat dalam geguritan itu demikian: Kandeling mendhung ing awang-awang / Nutupi endahe rembulan lan lintang / Kandeling peteng ing ngarep / Nutupi jagading pangarep / Wengi kang mung sakeclapan / Anggawa gumuruh angin / Kang gawe alume ati / Ing gawang-gawang kana / Sakeclapan uga / Sliramu tansah ngaton / Kayadene mendhung / Kang gawe lakonku kesandhung //.

Sebuah geguritan personal dengan pemilihan diksi dan tema yang biasa namun terbilang  cukup mendalam untuk siswa usia belasan tahun. Saya tidak lantas mengatakan Maryati adalah sebuah kepompong yang nantinya bisa mekar menjadi kupu-kupu penerus sastra Jawa modern.

Bukannya pesimistis, yang dilakukan Maryati bisa jadi untuk memenuhi nilai kriteria ketuntasan minimal dari kompetensi dasar menulis geguritan. Kini setelah beberapa tahun berlalu mungkin saja ia sudah sibuk dengan kehidupan barunya, bukan siswa sekolah lagi. Pengalaman seperti ini bukan hanya dilakoni oleh seorang siswa dalam satu sekolahan, namun hampir semua siswa di sekolahan manapun.

Ketiga, perjalanan panjang Emi Sudarwati mulai 2013 sampai 2017 menghasilkan banyak buku sastra. Jika melihat buku dari terbitan awal hingga akhir, ada keganjilan yang harus ditilik kembali karena dalam esai tersebut tidak disinggung sama sekali para penulisnya siswa yang sama atau berbeda.

Siswa kelas VI SMP pada tahun ajaran 2013/2014 naik kelas menjadi siswa kelas VII SMP pada tahun ajaran 2014/2015 dan pada tahun ajaran 2015/2016 siswa tersebut sudah berada di kelas IX SMP. Artinya untuk tahun ajaran 2016/2017 siswa tersebut lulus dari SMP.

Selanjutnya adalah: Pembuatan buku oleh siswa seangkatan…

Advertisement

Pembuatan Buku

Saya menduga pembuatan buku yang diprakarsasi Emi Sudarwati dari 2013 sampai 2017 hanya ditulis oleh siswa seangkatan seperti yang saya lakukan, yaitu mengumpulkan tugas menulis sastra dari para siswa. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada siswa yang ikut menulis dalam dua atau tiga buku.

Saya berpendapat tidak ada siswa yang menulis untuk semua buku yang sudah diterbitkan sebanyak itu. Jelas sekali para siswa yang menulis di buku tersebut, yang diibaratkan kepompong itu, belum tentu bisa menjadi kupu-kupu.

Sebelum kepompong itu menjadi seekor kupu-kupu, kepompong di dalamnya membuka rumah kepompongnya sendiri untuk berlari meninggalkannya. Lalu datang  kepompong lagi dan bernasib sama seperti kepompong yang pertama. Begitu seterusnya.

Saya menganggap  Emi Sudarwati adalah pengumpul atau pengoleksi tugas siswa, tujuannya adalah proyek maupun kenaikan pangkat. Setiap guru yang mengajar di sekolah dituntut mengumpulkan tugas yang dibuat siswa sebagai bukti tugas mandiri terstruktur atau tugas mandiri tidak terstruktur pada akhir semester.

Sebagai pengajar saya juga menyadari bahwa yang dilakukan Emi Sudarwati adalah hal yang menggembirakan. Tidak semua guru bahasa Jawa bisa melakukan pekerjaan tersebut. Selain ribet, menguras tenaga dan pikiran, ditambah biaya yang harus dikeluarkan untuk mencetak buku. Siswa zaman sekarang memang terlalu sulit jika diajak bekerja di jalan sastra, apalagi sastra Jawa.

Keempat, mengenai ramalan yang mengatakan “Wong Jawa ilang Jawane.” Ini adalah suatu istilah klise yang selalu digaungkan tanpa ada penyelidikan lebih jauh. Saya sepakat dengan pendapat M. Fauzi Sukri dalam esai yang dimuat Solopos edisi 17 April 2015 berjudul Guru Kebudayaan dan Manusia Jawa.

Advertisement

Saat ini memang kita terlalu jauh mengatakan bahwa orang Jawa sudah kehilangan ke-Jawa-an mereka. Ragam budaya, bahasa, dan sastra Jawa hingga kini masih cukup mudah ditemui. Bisa dibilang wong Jawa jaman sekarang masih banyak yang njawani.

Fauzi Sukri menjelaskan yang lebih tepat adalah wong Jawa ilang guru kebudayaane. Guru kebudayaan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu teks dan manusia. Untuk teks sebagai presentasi simbolis cukup banyak tertata di perpustakaan maupun museum Radya Pustaka, namun manusia sebagai guru kebudayaan untuk saat ini memang terbilang cukup sulit untuk dicari.

Kehadiran guru kebudayaan Jawa berbentuk manusia sebagai pentransliterasi pesan-pesan yang tertulis dalam teks klasik sangat dibutuhkan. Ketimpangan inilah yang membuat wong Jawa selalu merasa krisis dan hanya bisa mengagumi peninggalan leluhurnya dengan lila legawa tanpa ada laku mendalami ilmu dan memahami lebih lanjut.

Sebagai penutup, dalam esai ini saya tidak mengatakan bahwa kepompong sastra Jawa modern saat ini sudah tidak ada. Saya yakin kepompong dan bahkan kupu-kupu sastra Jawa modern itu masih banyak tersebar dan beterbangan, bukan hanya berasal dari Jawa Timur saja.

Mereka ada diberbagai penjuru yang di sekeliling mereka terdapat orang-orang Jawa yang hidup berkelompok sebagai pengguna bahasa Jawa. Saya malah menganggap banyak yang sudah benar-benar menjadi kupu-kupu sastra Jawa modern.

Di antaranya adalah Emi Sudarwati yang telah berhasil membukukan sastra Jawa modern karya para siswanya. Tentunya ini bisa menjadi patuladhan untuk semua guru pengampu bahasa Jawa di tiga provinsi.

Dan satu lagi adalah Ibnu Wibi Winarko sendiri yang sudah menjabarkan pendapatnya dalam esai yang cuku panjang untuk mewartakan jalan terjal penerbitan buku sastra Jawa modern.

Ibnu juga dikenal sebagai peramu buku sinopsis novel panglipur wuyung yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Semoga keduanya bisa tetap istikamah dan selalu berkarya di jalan kesusastraan Jawa modern. Matur nuwun.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif