News
Rabu, 26 Juli 2017 - 22:30 WIB

Dugaan Pelanggaran Produsen Beras Maknyus & Ayam Jago, Ini yang Harus Dibuktikan

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Polisi menyegel gudang penyimpanan beras premium yang diduga palsu berbagai merk di gudang beras PT Indo Beras Unggul, Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Kamis (20/7/2017) malam. (JIBI/Solopos/Antara/Risky Andrianto)

Ada yang harus dibuktikan terkait dugaan pelanggaran UU Perlindungan Konsumen dalam kasus beras Maknyuss dan Ayam Jago.

Solopos.com, JAKARTA — Penggerebekan gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU), Kamis (20/7/2017) lalu, berlanjut dengan tiga dugaan pelanggaran oleh produsen beras Cap Ayam Jago dan Maknyuss itu. Salah satunya adalah nilai barang yang diduga tak sesuai dengan labelnya.

Advertisement

Dugaan nilai barang tidak sesuai dengan labelnya masuk dalam lingkup Pasal 8 Undang-Undang (UU) No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal yang terdiri dari empat ayat itu, ada larangan pelaku usaha untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan label, timbangan, cacat hingga rusak.

Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Ine Minara S. Ruky mengatakan untuk menyeret pelaku usaha dengan dugaan pelanggaran Pasal 8 UU No. 8/1999, penyidik harus dibuktikan bahwa pengusaha tersebut memang tidak memenuhi standar yang ditentukan pasal tersebut.

Selain itu, dugaan kerugian yang disebabkan oleh praktik usaha PT IBU juga dibuktikan dengan nilai kerugian konsumen yang membeli produk dengan cara penipuan terebut. Menurutnya, hitungannya tidak melihat konsumen secara keseluruhan, tetapi mereka yang mengkonsumsi secara langsung barang yang diduga diperdagangan dengan cara menipu.

Advertisement

“Untuk barang yang sudah dipasarkan dalam jangka waktu lama, jika yang terjadi, adakah pengaduan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional? Kalau tidak mengapa pelanggannya tidak merasa dirugikan [atas kecurangan],” ujarnya.

Soal potensi kerugian materil yang besar, Kementerian Pertanian menyebut hampir menyentuh Rp10 triliun. Dalam keterangan persnya, Kementan menghitung harga beras di petani sekitar Rp7.000/kg sementara harga premium di konsumen sampai Rp20.000/kg.

Jika selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg, bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton (2,2% dari produksi beras 45 juta ton setahun), maka kerugian keekonomian ditaksir Rp 10 triliun. Melihat potensi kerugian tersebut, Ine mengingatkan perlu juga dibuktikan dengan dasar aturan yang berbicara soal kerugian materil negara.

Advertisement

Selama ini belum ada peraturan yang disiapkan untuk hal tersebut. Sementara itu, Ketua Tim Ahli Apindo Sutrisno Iwantono mengatakan jika pendekatannya adalah Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen, sebaiknya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dilibatkan.

“Kalau memang kandungan karbohidrat tidak sesuai, atau karena berasnya dioplos, seharusnya ada kajian terlebih dahulu dari Badan POM,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga menyoroti soal kesalahan PT IBU yang membeli gabah dari petani dengan harga di atas harga yang ditetapkan pemerintah. Iwantono menambahkan dengan begitu, secara tidak langsung kesejahteraan petani meningkat, karena diberi harga yang lebih tinggi dari harga pokok penjualan (HPP).

“Berarti permintaan Presiden untuk meningkatkan kesejahteraan petani tercapai,” tambahnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif