Kolom
Senin, 24 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Jaminan Produk Halal

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Qomar

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (21/7/2017). Esai ini karya Muhammad Qomar, alumnus Program Master of Public Administration University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Alamat e-mail penulis adalah qomarmoehammad@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Beberapa waktu lalu beredar mi instan impor yang mengandung unsur daging babi atau tidak halal (bisnis.com, 18 Mei 2017). Beredarnya makanan dan bahan makanan tidak halal tanpa disertai peringatan pernah terjadi di Indonesia sebelumnya.

Advertisement

Sebanyak 3.500 ton produk penyedap makanan merek Ajinomoto ditarik peredarannya pada 2000 setelah audit yang dilakukan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menemukan penggunaan bahan yang mengandung unsure daging babi dalam proses produksinya.

Mi instan mengandung unsur daging babi yang ditemukan belum lama ini berasal dari Korea Selatan dan diimpor oleh PT Koin Bumi dengan merek Samyang Mi Instan U-Dong, Nongshim Mi Instan (Shim Ramyun Black), Samyang Mi Instan Rasa Kimchi, dan Ottogi Mi Instan (YeulRamen). Empat jenis mi instan tersebut diidentifikasi mengandung DNA babi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM (bisnis.com, 18 Mei 2017).

Mi instan bermerek Samyang Hot Chicken Ramen dan Samyang Hot Chicken Ramen Buldak Cheese yang diimpor PT Korinus telah terdaftar dan memiliki izin edar dari BPOM serta bersertifikat halal dari Korea Muslim Federation, namun sedang mengurus sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (Kompas, 17 Juli 2017).

Keharusan mengonsumsi makanan dan minuman halal bagi umat Islam tercantum jelas dalam beberapa bagian kitab suci Alquran.  Surat Al Baqarah ayat 168 dan 172 memuat keharusan mengonsumsi makanan halal. Surat Al Baqarah ayat 173 dan surat Al Maidah ayat 3 menyatakan babi, bangkai, darah, dan hewan yang disembelih tidak sesuai syariat Islam adalah tidak halal.

Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Muslim bersabda setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap yang memabukkan adalah haram (tidak halal). Pemerintah Indonesia memiliki UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni pada 17 Oktober 2014.

Selanjutnya adalah: Tuhuh hal penting dalam UU JPH…

Advertisement

7 Hal Penting

Dalam ulasan lembaga konsultan hukum multinasional Baker McKenzie, UU JPH memiliki tujuh hal penting (www.bakermckenzie.com, 8 November 2016) yang meliputi produk, sertifikasi halal, lembaga audit halal, auditor halal, kerja sama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan lembaga lain, registrasi sertifikasi halal dari luar negeri, serta sanksi.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 33/2014 menyatakan produk adalah barang dan/jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetis, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Ayat 2 menyatakan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam dan ayat 3 menyebutkan proses produk halal (PPH) adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.

Pasal 17 mengatur bahan yang digunakan dalam PPH yang meliputi bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong. Bahan-bahan tersebut dapat berasal dari hewan; tumbuhan; mikrob atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi atau proses rekayasa genetis. Pasal 17 juga menegaskan semua bahan dari hewan pada dasarnya halal kecuali yang diharamkan menurut syariat Islam.

Veteriner

Pasal 19 menyatakan penyembelihan hewan harus sesuai syariat Islam dan memenuhi kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat veteriner yang dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Advertisement

Pasal 18 ayat (1) mengatur bangkai, darah, babi, dan hewan yang tidak disembelih sesuai syariat Islam adalah haram dan ayat (2) menyatakan bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan fatwa MUI.

Pasal 20 menyatakan bahan yang berasal dari mikroba, proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetis menjadi haram jika dalam proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.

Pasal 20 juga menyebutkan bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan orang yang mengonsumsinya. Bahan yang dinyatakan haram tersebut ditetapkan Menteri Agama berdasarkan fatwa dari MUI.

Selanjutnya adalah: JPH tanggung jawab pemerintah…

Tanggung Jawab Pemerintah

Penyelenggaraan JPH menjadi tanggung jawab pemerintah yang dilaksanakan Menteri Agama sesuai Pasal 5. Dalam penyelenggaraan JPH, dibentuk BPJPH yang berkedudukan dan bertanggung jawab di bawah Menteri Agama. Tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur melalui Keputusan Presiden. BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah jika diperlukan.

Advertisement

Kehalalan suatu produk diaudit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mengadakan inspeksi atau tes untuk mengecek kehalalan produk. Pasal 13 menyatakan LPH harus memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya, memiliki akreditasi dari BPJPH, memiliki setidaknya tiga orang auditor halal, serta memiliki laboratorium atau bekerja sama dengan lembaga yang memiliki laboratorium.

LPH dapat didirikan oleh masyarakat melalui orgabisasi kemasyarakatan Islam yang berbadan hukum. Auditor halal diangkat dan diberhentikan LPH sesuai Pasal 14. Persyaratan, kualifikasi, sertifikasi, dan siapa saja yang dapat menjadi auditor halal diatur Pasal 14. Pasal 15 mengatur tugas-tugas auditor halal.

BPJPH dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang terkait seperti Kementerian Pertanian, Badan StandarisasiNasional, dan BPOM. Pasal 10 menyebutkan kerja sama BPJPH dengan MUI meliputi sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi LPH.

Pasal 46 mengatur kerja sama internasional JPH yang bisa berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan sertifikat halal. Pasal 47 menyatakan UU No. 33/2014juga berlaku untuk produk impor.

Produk halal impor tidak perlu mengajukan permohonan sertifikat halal sepanjang sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan JPH. Sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran diatur Pasal 48.

Sanksi-sanksi sehubungan dengan pelanggaran UU No. 33/2014 berupa sanksi peringatan hingga sanksi pidana diatur Pasal 56 dan 57. Pada 2019 diharapkan semua produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan barang pakai lainnya wajib bersertifikasi halal sesuai target pemerintah untuk implementasi UU JPH.

Selanjutnya adalah: Pengajuan sertifikat halal dilakukan…

Advertisement

Sertifikat Halal

Pengajuan sertifikat halal dilakukan pelaku usaha melalui permohonan tertulis disertai dokumen pendukung kepada BPJPH sesuai Pasal 29. BPJPH kemudian menunjuk LPH untuk memeriksa dan/atau menguji kehalalan produk seperti yang diatur Pasal 30. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan auditor halal dari LPH sesuai Pasal 31.

Pasal 32 menyatakan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk diserahkan LPH ke BPJPH untuk diteruskan kepada MUI guna mendapatkan penetapan kehalalan produk. Pasal 33 menyatakan penetapan kehalalan suatu produk dilakukan melalui sidang fatwa halal yang memutuskan kehalalan suatu produk paling lama 30 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dari BPJPH.

Keputusan penetapan halal produk ditandatangani oleh MUI dan disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal. Berawal dari konsep dan praktik bagi umat Islam mengenai apa yang boleh dan dilarang untuk dikonsumsi selama lebih dari 1.400 tahun, ”halal” kini telah menjadi kebutuhan global.

Halal telah berkembang menjadi industri dengan konsumen 1,6 miliar muslim di dunia dan berbagai kalangan lain yang menyadari keuntungan mengonsumsi produk halal.

Data Thomson Reuters yang digunakan Islamic Development Bank menjelaskan pasar makanan dan minuman halal antarsesama negara muslim mencapai US$1,4 triliun pada 2014 (the 3rd AICIE, 2016). Potensi Indonesia dalam pasar halal pada 2014 diperkirakan mencapai US$190 miliar hingga US$200 miliar.

Advertisement

Angka tersebut cenderung bertambah sesuai kondisi Indonesia yang berpopulasi penduduk muslim terbesar di dunia. Sosialisasi dapat ditingkatkan untuk memberi pengertian kepada masyarakat karena beragamnya pandangan terhadap UU JPH.

Pemerintah hendaknya menyiapkan sarana dan prasarana penerapan UU No. 33/2014 dengan baik. Penerapan UU JPH selayaknya tidak membebani pelaku usaha, terutama biaya dan prosedur yang dibebankan kepada pelaku usaha, mengingat berbagai manfaat produk bersertifikat halal.

 

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif