Jogja
Rabu, 19 Juli 2017 - 19:20 WIB

Perputaran Uang di DIY Masiih Terpusat di Kota

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Jalan Malioboro suddah ditutup untuk semua jenis kendaraan, Sabtu (31/12/2016) sore. (Mayang Nova Lestari/JIBI/Harian Jogja)

Ketimpangan pengeluaran di DIY terbesar se-Indonesia

 
Harianjogja.com, JOGJA-Ketimpangan pengeluaran di DIY terbesar se-Indonesia yaitu menempati angka 0,432. Salah satu penyebabnya adalah masih terpusatnya kegiatan ekonomi di pusat kota.

Advertisement

Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Jogja Budi Hanoto mengatakan, gini rasio atau ketimpangan pengeluaran penduduk di DIY tinggi karena bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sumber pertumbuhan ekonomi di Jogja tidak padat karya sehingga manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Alasan kedua, lanjut Budi, jumlah investor hanya segelintir orang sehingga manfaat ekonominya hanya dinikmati beberapa kalangan terbatas saja, yang memiliki kekuatan di bidang permodalan dan investasi. Sementara alasan ketiga adalah karena alokasi fiskal yang berbeda.

Budi mengatakan, selain jumlahnya terbatas, investor yang berbisnis di Jogja juga belum tentu berasal dari Jogja. Ada pula investor yang berasa dari luar Jogja. “Misalnya usaha indekos, saat anak-anak kos bayar, langsung uangnya ditransfer ke pemilik indekos itu yang tinggal di luar Jogja,” katanya. Dari situ, manfaatnya langsung diterima masyarakat luar Jogja.

Advertisement

Dalam bidang pariwisata sendiri dapat terlihat bagaimana wisatawan lebih memilih untuk memutarkan uangnya di perkotaan daripada di pinggiran DIY seperti Gunungkidul. Budi mengatakan, dari segi infrastruktur, jalan menuju pantai di Gunungkidul sudah baik.

Wisatawan juga semakin berdatangan. Hanya saja saat menjelang sore, para wisatawan memilih kembali ke Kota Jogja untuk menginap dan berwisata kuliner. “Yang nginep dan kuliner tetap di kota [Jogja] sehingga njomplang [kondisi ekonominya],” tegas Budi.

Ia mengatakan, tingkat kesenjangan pengeluaran yang tinggi belum tentu dikarenakan si miskin atau masyarakat kelas menengah ke bawah yang gemar menabung sehingga mereka memilih menyimpan uangnya daripada membelanjakannya.

Advertisement

“Kalau soal itu [si miskin yang gemar menabung] perlu penelitian karena orang Jogja lebih gemi setiti sehingga hemat, merasa pengeluarannya sudah cukup,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif