Jogja
Selasa, 18 Juli 2017 - 19:55 WIB

SEJARAH JOGJA : Menelusuri Jejak Kejayaan Musik di Kampung Musikanan

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seorang warga Kampung Musikanan tengah memperhatikan koleksi foto milik warga lainnya. Foto-foto itu memuat rekam jejak kelompok orkes Keraton Yogyakarta yang berpusat di Kampung Musikanan. (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Kampung Musikanan memiliki sejarah kejayaan musik yang kini tak tampak lagi

Harianjogja.com, JOGJA- Edisi sebelumnya sudah dibahas mengenai bagiaman usaha Kampung Musikanan yang berlokasi di Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton untuk bertahan mengembalikan kejayaannya sebagai kampung dengan jejak sejarah yang panjang. Sebenarnya, apa hal lain yang membuat kampung ini pantas untuk kembali bergeliat?

Advertisement

“Silakan duduk, Mas,” sapa akrab Mulyati mengejutkan kami yang tengah menunggu di depan pagar sebuah rumah di salah sudut Kampung Musikan, Sabtu (15/7/2017) malam lalu.

Tanpa kami minta, nenek berumur 70 tahun itu mulai berkisah. Ia mulai dari kisah Mbah Desember yang tak lain ada kakeknya sendiri.

Advertisement

Tanpa kami minta, nenek berumur 70 tahun itu mulai berkisah. Ia mulai dari kisah Mbah Desember yang tak lain ada kakeknya sendiri.

Unik memang. Nama itu jelas bukan bukan nama asli kakeknya. Meski tak tahu pasti siapa nama asli kakeknya, ia yakin nama itu memang bukan nama asli. “Itu nama pemberian korps musik,” katanya sambil menerawang, terus mencoba mengingat nama asli kakeknya.

Nama pemberian korps. Kesimpulan itu ia yakini benar lantaran di sekitar rumahnya, bermukim pula orang dengan nama yang nyaris serupa. Ada Mbah Oktober, Mbah Januari, Mbah Februari, Mbah Maart (Maret), Mbah April dan Mbah September. “Pokoknya nama mereka memakai semua nama bulan Masehi,” kenangnya.

Advertisement

Dari mereka lah, Musikanan ketika itu terus bergeliat. Nafas musik masih terus dihembuskan di generasi kedua mereka. Salah satunya adalah Karyo Waditro, putra Mbah Desember, yang berarti adalah ayah Mulyati sendiri.

Pelipis Mulyati berkerut. Ia kembali mencoba mengingat kembali kisah bermusik ayahnya itu. “Setidaknya, sampai saya seusia SMP, musik masih kental sekali disini,” kenangnya.

Tanpa melihat ke arah kami, bibir tua Mulyati terus bercerita. Sambil kembali menerawang, ia masih mencoba mengingat sesuatu. Kali ini tentang gambaran suasana ketika itu, saat Musikanan masih hidup sebagai kampung musisi.

Advertisement

Entah apa yang ada di benak Mulyati. Tapi yang pasti, dengan semangat sekali ia bercerita tentang riuhnya setiap sudut Musikanan oleh suara alat musik, terutama alat musik tiup. Dibayangkannya, lamat-lamat suara terompet, saksofon, horn, dan klarinet menggaung di tiap sudut kampung.

Diingatnya, saat ia masih sekolah dulu, ketika berjalan pulang, dari luar kampung, ia sudah bisa mendengar suara itu. Suara itu semakin riuh saat malam hari, saat semua warga telahkembali ke rumahnya. “Karena dulu, mbah saya main terompet, sedangkan bapak saya main saksofon dan klarinet,” cetusnya tiba-tiba.

Kini, di usia senjanya, ia memang tak memainkan satu pun alat musik. Meski begitu, nyatanya ia tak bisa menghilangkan begitu saja, musik dari sisa umurnya. Ia memilih untuk mendalami olah vokal. Alhasil, ia pun ditunjuk sebagai Ketua Paduan Suara Kelompok Pengajian Yasmine, sebuah kelompok pengajian di kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Advertisement

Bersama kelompok itu, ia seperti ingin tetap mengalirkan musik di daerahnya. Ia sadar, menetap di Musikanan, berarti juga mengemban nama besar kampung itu sebagai kampungnya para musisi keraton.

Tak jauh dari rumah Mulyati, Suwardi, seorang kakek yang usianya juga nyaris sama, beranjak dari duduknya. Tubuh tuanya yang masih tegap menyambut kami.

Sama dengan Mulyati, Suwardi pun larut dengan kenangannya sendiri saat kami bertanya lebih jauh tentang silsilah keluarganya. Hanya saja bedanya, Suwardi adalah cucu dari Kuncoro Waditro, lurah pertama Kampung Musikan. “Kakek saya lah yang memimpin korps musik di Musikan sebelum akhirnya diganti oleh Mbah Suryo Waditro,” kisahnya bangga.

Nama belakang Waditro yang tersemat di nama kakeknya itu ternyata juga bukan nama asli. Nama itu pun merupakan pemberian dari keraton. Pada bahasa Jawa, nama waditra diartikan sebagai gamelan atau tetabuhan. Tak heran, pada era 1942-1950, semua nama musisi korps musik keraton, bernama belakang waditra.

Kebanggaan Suwardi terhadap kakeknya bukan sekadar pepesan kosong. Kegigihannya mencetak generasi penerus menghasilkan sosok Joned yang tak lain adalah ayahnya. Tak kalah bangganya, Suwardi pun berkisah perihal sosok ayahnya itu. “Kalau dilihat tahunnya, ayah saya seangkatan dengan ayahnya Idris Sardi,” ucap Suwardi.

Saat menyebut nama Idris Sardi, wajah tua Suwardi nampak bersemangat. Betapa tidak, nama seniman biola yang belum lama meninggal dunia itu memang cukup erat dikaitkan dengan Musikanan.

Idris Sardi kecil, ditempa sedemikian rupa oleh Sardi, ayahnya. Untuk hal yang satu ini, Suwardi tahu betul. Beruntung, ayah Suwardi justru bersikap sebaliknya kepada anak-anaknya. “Ayah saya justru tidak ingin anaknya jadi musisi. Masa depannya tidak bagus,” kenang Suwardi.

Bersama Sardi, ayahnya memang menjadi pengisi utama saat tamu-tamu kenegaraan menghabiskan malam di Gedung Seni Sono yang berlokasi di sekitar Gedung Agung. Di gedung yang kini disebut dengan Kamar Bola itu, ayahnya dan beberapa musisi lain tampil memainkan musik, mengiringi para tamu berdansa.

“Sayangnya, generasi ayah saya, sepertinya menjadi generasi terakhir kejayaan kampung ini.”

====

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif