Jogja
Senin, 17 Juli 2017 - 05:20 WIB

Festival Budaya Kampoeng Musikanan, Bangun Kembali Kejayaan Masa Lalu

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Salah satu penampilan dalam Festival Budaya Kampoeng Musikanan yang digelar di Kampung Musikanan, Minggu (16/7/2017). (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Festival Budaya Kampoeng Musikanan mencoba kembali membangun kejayaan masa lalunya

 

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA- Dari sekian banyak kampung tua di Jogja, tak semuanya dikenal populer sejarahnya. Salah satunya adalah Kampung Musikanan. Lewat Festival Budaya Kampoeng Musikanan, kampung itu mencoba kembali membangun kejayaan masa lalunya.

Wajah Bambang Riyadi, Minggu (16/7/2017) malam itu nampak berbinar. Di tengah kesibukan anak-anak muda merangkai panggung di tiga titik lokasi yang berbeda, salah staf pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan bergasnya berkisah tentang masa lalunya, masa lalu nenek moyangnya.

Advertisement

Wajah Bambang Riyadi, Minggu (16/7/2017) malam itu nampak berbinar. Di tengah kesibukan anak-anak muda merangkai panggung di tiga titik lokasi yang berbeda, salah staf pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan bergasnya berkisah tentang masa lalunya, masa lalu nenek moyangnya.

Kerlip lampu mewarnai riuhnya kawasan sekitar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, malam itu. Sebuah panggung bertinggi sekitar 3 meter itu nampak benderang di antara bangunan-bangunan tua. Benderangnya bahkan seolah menelan lampu tenda-tenda kaki lima yang biasa menerangi area sudut timur Alun-Alun Utara itu.

Di atas panggung, beberapa musisi muda dari kalangan mahasiswa beberapa kampus di Jogja nampak santai memainkan alat musiknya, mulai dari saksofon, terompet, genderang, dan juga klarinet.

Advertisement

Festival Budaya Kampoeng Musikanan, samar-samar tulisan itu terbaca di backdrop besar yang terpampang di belakang para musisi itu. Festival itu seolah menjadi pengharapan bagi warga Kampung Musikan, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton, Jogja.

Bagi masyarakat Jogja, Kampung Musikan boleh saja dianggap sebagai kampung biasa. Memang, sepintas tak ada yang istimewa dari kampung ini: Gang kecil, rumah yang saling berhimpitan, serta tegur sapa akrab dari setiap penghuninya. Nyatanya, bukan sekadar kebetulan belaka jika kampung ini memiliki nama Musikan.

Sesuai namanya, musik dan kampung ini adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sebagai kampung jeron benteng (kompleks dalam benteng), Musikan menjadi saksi bisu panjangnya sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Advertisement

Sejarah mencatat, pasca semakin terbukanya hubungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah kolonial di akhir abad 18 silam, kampung itu pun dijadikan kompleks bermukimnya para musisi keraton, dari pakar hingga yang sekadar belajar. Para musisi keraton yang kebanyakan diambil dari Surakarta itu memang menjadi pioner penting bagi kasultanan.

Tergabung dalam grup Kraton Orchest Jogja, mereka kerap jadi andalan kasultanan untuk menghibur tamu-tamu kenegaraan. Berbeda dengan rekan-rekannya yang ada di Kampung Gamelan, anggota korps itu sengaja dibentuk untuk tampil di hadapan tamu-tamu asing. Tak heran, alat musik yang mereka mainkan pun lebih berkiblat pada alat musik barat.

“Contohnya kakek saya yang bernama Mbah Carmen. Beliau piawai sekali bermain hampir semua alat musik,” kata Bambang Riyadi yang sejak 1975 memutuskan hijrah dari Surakarta ke Kampung Musikan.

Advertisement

Saat itu, dirinya memang seolah terpaksa menetap di Musikan. Setelah mimpi menempuh pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada pupus lantaran persoalan biaya, ia pun diminta Suhardi, ayahnya, untuk menekuni musik, hal yang juga ditekuni oleh leluhurnya.

Berbekal kemampuan bermusik hasil tuntunan ayahnya semasa kecil di Surakarta, ia pun nekat masuk ke Akademi Musik Indonesia, institusi yang menjadi cikal bakal berdirinya ISI Jogja, tempatnya bekerja saat ini. Itulah, ia tetap bersyukur bisa tetap menjadi seperti sekarang.

“Setidaknya, saya masih turut melestarikan profesi nenek moyang saya, sebagai pemusik.”

Semakin malam, udara dingin Kampung Musikan semakin berbalut irama dan nada. Tak sadar, salah satu kaki Bambang nampak bergerak-gerak mengikuti musik yang sesekali menghentak mengikuti alunan musik yang dimainkan salah satu kelompok musisi di atas panggung yang diberi nama Montecarlo.

Di panggung lain, Panggung Miss Surip, beberapa musisi tengah sibuk memainkan puluhan lagu-lagu keroncong. Sedang di panggung ketiga, Panggung Joned, sudah nampak sepi. Panggung yang menampilkan pergelaran musik akustik itu sudah digunakan sejak pagi.

Nama ketiga panggung itu sengaja dibuat unik. Memang asing. Nama ketiga panggung itu diambil dari tiga tokoh musik legendaris yang lahir dan besar di Musikan.

Montecarlo, adalah seorang saxophonist handal, Miss Surip ialah legenda keroncong, dan Joned, seorang komposer yang namanya melambung setelah turut andil membumikan musik di tanah Jogja.

Tapi sayang, rona muka Bambang lantas sontak berubah ketika disinggung perihal Musikan era sekarang. Kini, memang tak ada lagi suara raung terompet, lengking klarinet, dan gaung suara horn.

Musikan kini tak ubahnya kampung pada umumnya, hanya berisikan aktivitas sosial masyarakat biasa. “Sudah terlalu banyak pendatang,” keluh Sigit Wicaksono, Ketua RW 15 Kampung Musikan, coba menjawab meredupnya binar di rona muka Bambang.

Itulah sebabnya, dengan digelarnya festival, ia berharap bisa sedikit mengembalikan nada di detak nafas Musikan. Meski sadar, mustahil mengubah Musikan sekarang seperti Musikan sekian puluh tahun silam, dirinya berharap musik kembali menjadi identitas dari kampungnya itu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif