News
Senin, 17 Juli 2017 - 15:13 WIB

Ada 17 Kasus Terorisme di Balik Pemblokiran Telegram

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (newsinitiative.org)

Kapolri mengungkapkan ada 17 kasus terorisme di balik keputusan pemerintah melakukan pemblokiran Telegram.

Solopos.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian mengakui usulan penutupan aplikasi Telegram oleh Kominfo dilatarbelakangi permintaan pihaknya. Hal itu disebabkan tercatat 17 kasus terorisme dirancang melalui komunikasi dengan aplikasi tersebut.

Advertisement

Tito menyebut, temuan tersebut merupakan hasil investigasi Densus 88. Telegram digunakan jarangin terorisme untuk berkomunikasi karena memiliki kelebihan dari aplikasi lain.

“Karena Telegram ini memiliki enkripsi yg tidak bisa dilakukan penyadapan kemudian dapat bikin grup obrolan superbesar mencapai 10.000 anggota tanpa ketahuan adminnya dan tidak ketahuan nomor teleponnya. Komunikasinya memang bisa bersifat sangat private, tapi kalau digunakan di tangan yang tidak benar akan membahayakan keamanan negara,” kata Tito dalam rapat bersama Komisi III DPR di komplek Senayan, Senin (17/7/2017).

Menurutnya, Kominfo sebenarnya sudah meminta manajemen Telegram memberikan akses khusus untuk penanganan terorisme atas rekomendasi pihak kepolisian. Namun hal tersebut tidak ditanggapi oleh pihak provider Telegram.

Advertisement

“Kami awalnya tidak ingin menutup tapi meminta akses untuk pelaku teror tapi tidak ditanggapi sehingga pemerintah kami rasa harus unjuk gigi untuk menutup Telegram. Tapi saya dengar dari Menkominfo Telegram kemarin ingin negosiasi. Ke depan akses khusus kepada yang mengancam keamanan negara mudah-mudahan bisa diakses kepolisian,” ujarnya.

Dia menjelaskan lebih lanjut, kini pola terorisme sudah bergeser. Berkaca pada kasus bom Bali, terorisme bersifat terorganisir. Namun saat ini berkembang lone wolf di mana teroris bergerak sendiri karena terradikalisasi secara online. Pelaku teror mempelajari pembuatan bom atau melakukan serangan secara online.

Untuk itu, lanjut Tito, pihaknya sudah memperkuat bidang siber Polri diantaranya dibentuknya Direktorat Kriminal Khusus Patroli Internet dan menaikan Subdit Siber di Bareskrim menjadi Direktorat.

Advertisement

Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah mengatakan Polri harus mengambil langkah out of the box dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi termasuk terorisme. Dia mengatakan, kepolisian bisa menggunakan pendekatan agama dan kebudayaan selain pendekatan hukum.

“Karena tidak semua masalah hukum dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Tapi pendekatan budaya dan gama yang sesuai dengan kepribadian Indonesia,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif