Teknologi
Sabtu, 15 Juli 2017 - 14:30 WIB

Setelah Telegram, Menkominfo Ancam Blokir Facebook, Instagram, hingga Youtube

Redaksi Solopos.com  /  Jafar Sodiq Assegaf  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Menkominfo Rudiantara. (JIBI/Antara)

Menkominfo mengancam bakal memblokir akses sejumlah media sosial jika tak mampu menghentikan penyebaran konten yang mengandung unsur radikalisme.

Solopos.com, JAKARTA – Setelah memblokir Telegram, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mempertimbangkan untuk menutup media sosial dan situs berbagi seperti Facebook, Twitter, Instagram hingga Youtube. Ancaman ini masih terkait dengan penyebaran radikalisme melalui media sosial tersebut.

Advertisement

Rudiantara dalam pernyataannya menegaskan tindakan pemblokiran bakal dilakukan jika media sosial yang dia sebutkan tidak menutup akun – akun yang berisi muatan radikalisme. Menkominfo hingga kini mengaku masih berupaya menangkal radikalisme dengan pemblokiran akun.

“Permintaan kami pada platform untuk menutup akun-akun yang memiliki muatan radikalisme, sepanjang 2016 hingga 2017 baru 50% dipenuhi. Ini sangat mengecewakan,” ujar Rudiantara usai acara antiradikalisme di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (14/7/2017).

Rudi meminta agar medsos tersebutmemperbaikinya. Jika tidak, pihaknya akan mempertimbangkan untuk menutup platform tersebut.

Advertisement

Dia menjelaskan platform tersebut enggan menutup akun karena di negara asalnya harus melalui proses pengadilan. “Tapi mereka ke sini kan karena bisnis. Iklan-iklan juga dari sini. Oleh karenanya perlu mematuhi peraturan yang ada di sini,” katanya.

Kominfo, lanjut dia, telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme. Cara yang dilakukan dengan penutupan situs dan pemblokiran akun di medsos. Dalam pemblokiran akun di medsos ini perlu melibatkan platform tersebut.

Rudi meminta maaf jika nanti pihaknya terpaksa menutup medsos. “Kami harus bergerak cepat, kami tidak ingin masyarakat terpapar dengan konten-konten radikalisme,” cetus Rudi.

Advertisement

Sementara itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta para rektor untuk memperhatikan aktivitas setiap komponen kampus. Nasir memberi contoh mengenai adanya dosen yang memaksa mahasiswanya untuk masuk ke aliran tertentu, jika tidak ikut maka dosen itu mengancam nilai mahasiswanya.

“Akhirnya dosen itu dipindahkan dan tidak lagi terlibat dalam proses penilaian,” ungkap Nasir.

Mantan Rektor Universitas Diponegoro itu menjelaskan lingkungan kampus memiliki potensi untuk tumbuh kembangnya radikalisme. “Masalah radikalisme di kampus ini, memang belum terlihat secara nyata tetapi potensi di kampus ini tinggi.”

Rektor Universitas Padjadjaran Tri Hanggono mengatakan sejauh ini kondisi di kampusnya masih bisa dikendalikan. Namun, yang perlu diwaspadai, adalah teknologi yang bisa diakses setiap mahasiswa.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif