News
Kamis, 13 Juli 2017 - 16:00 WIB

Didakwa Beri Kesaksian Palsu di Sidang Korupsi E-KTP, Miryam Menolak

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Politikus Partai Hanura Miryam S. Haryani mengusap air mata ketika bersaksi di sidang kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/3/2017).(JIBI/Solopos/Antara/Aprillio Akbar)

Miryam menolak dakwaan jaksa yang menyebutnya telah memberikan keterangan palsu dalam sidang korupsi e-KTP.

Solopos.com, JAKARTA — Mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani didakwa memberikan keterangan palsu saat persidangan korupsi e-KTP. Pemberian keterangan palsu itu dilakukan dengan mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada tahap penyidikan.

Advertisement

“Terdakwa Miryam S Haryani sebagai saksi dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional [e-KTP] 2011-2012 pada Kemnterian Dalam Negeri atas nama terdakwa Irman dan terdakwa Sugiharto, dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar,” kata jaksa KPK Kresno Anto Wibowo, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/7/2017).

Pemberian keterangan yang tidak benar itu, dengan cara mencabut semua keterangannya dalam BAP. “Yaitu dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK. Padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar,” ujar Kresno.

Advertisement

Pemberian keterangan yang tidak benar itu, dengan cara mencabut semua keterangannya dalam BAP. “Yaitu dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK. Padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar,” ujar Kresno.

Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis (23/3/2017) saat Miryam menjadi saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di sidang Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat.

“Sebelum memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan, terlebih dulu terdakwa bersumpah sesuai agama Kristen bahwa akan memberikan keterangan yang benar. Selanjutnya ketua majelis hakim menanyakan kepada terdakwa mengenai keterangan yang pernah diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan sebagaimana tertuang dalam, BAP 1 Desember 2016, BAP tanggal 7 Desember 2016, BAP tanggal 14 Desember, dan BAP 24 Januari 2017 yang diparaf dan ditandatangi terdakwa,” kata jaksa Kresno.

Advertisement

Hakim kembali mengingatkan agar Miryam memberikan keterangan yang benar di persidangan karena sudah disumpah. Selain itu, menurut hakim keterangan Miryam dalam BAP sangat runut, sistematis, dan tidak mungkin bisa mengarang keterangan seperti itu sehingga kalau mencabut keterangan harus dengan alasan logis agar bisa diterima oleh hakim.

Hakim juga mengingatkan Miryam mengenai ancaman pidana penjara apabila memberikan keterangan yang tidak benar sebagai saksi. Namun, meski sudah diperingatkan hakim, Miryam tetap menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan di tingkat penyidikan, sehingga hakim memerintahkan penuntut umum agar pada sidang berikutnya menghadirkan 3 orang penyidik yang pernah memeriksa Miryam sebagai saksi verbal lisan yang akan dikonfrontir.

Selanjutnya, pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama 3 penyidik, yaitu Novel Baswedan, MI Susanto, dan A Damanik. Setelah dilakukan pengambilan sumpah terhadap ketiga saksi verbal lisan, hakim menanyakan kepada para penyidik KPK mengenai adanya tekanan dan ancaman yang dilakukan kepada terdakwa pada saat pemeriksaan penyidikan sebagaimana diterangkan dalam persidangan sebelumnya.

Advertisement

“Atas pertanyaan hakim, baik Novel Baswedan, MI Susanto, maupun A Damanik, menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengacaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi, lebih lanjut diterangkan dalam 4 kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa, dan mengoreksi keterangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani terdakwa,” kata JPU Kresno.

Selain itu, pada setiap awal pemeriksan lanjutan, Miryam juga diberikan kesempatan untuk membaca dan mengoreksi keterangan yang pernah diberikan pada pemeriksaan BAP sebelumnya.

Setelah mendengar keterangan 3 penyidik KPK, hakim kembali menanyakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP, sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.

Advertisement

“Keterangan terdakwa mencabut semua BAP dengan alasan telah ditekan dan diancam 3 orang penyidik KPK saat pemeriksaan penyidikan adalah keterangan tidak benar, karena bertentangan dengan keterangan 3 orang penyidik KPK selaku saksi verbal lisan maupun bukti-bukti lain berupa dokumen draf BAP yang telah dicorat-coret atau dikoreksi dengan tulisan tangan terdakwa maupun rekaman video pemeriksaan yang menunjukkan tidak adanya tekanan dan ancaman tersebut. Demikian pula keterangan terdakwa yang membantah penerimaan uang dari Sugiharto betentangan dengan keterangan Sugiharto yang menerangkan telah memberikan sejumlah uang kepada terdakwa,” ungkap JPU Kresno.

JPU dalam persidangan kasus korupsi e-KTP mengajukan permintaan kepada hakim agar Miryam ditetapkan sebagai pelaku pemberi keterangan palsu atau tidak benar. Atas permintaan JPU, hakim tidak mengeluarkan penetapan, namun mempersilakan untuk memprosesnya secara hukum.

Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Miryam pun mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan itu. Sidang dilanjutkan pada 18 Juli 2017.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif