Kolom
Rabu, 12 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Menjaga Kemerdekaan Pers Indonesia

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (10/7/2017). Esai ini karya Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos dan Wakil Ketua Dewan Pers. Alamat e-mail penulis adalah djauhar@bisnis.com.

Solopos.com, SOLO–Pekan lalu, di sela-sela menghadiri seminar internasional mengenai Media Self Regulating, beberapa rekan jurnalis dari kawasan Asia Tenggara membisiki saya bahwa Indonesia kini merupakan the last of the Mohicans of the press freedom in Southeast Asia.

Advertisement

Kalau sampai kemerdekaan pers Indonesia terampas kembali seperti pada era Orde Baru,”Kami tidak memiliki lagi role model yang dapat dijadikan contoh untuk menghidupkan pers bebas di kawasan ini.” Begitu ujar seorang rekan dari Filipina dengan nada agak memelas.

Terlebih setelah saya menyampaikan presentasi mengenai betapa pers Indonesia kini dapat menghirup udara kebebasan pascareformasi yang memungkinkan media dapat melaporkan hal apa pun kepada khalayak tanpa harus khawatir dikriminalisasi.

Advertisement

Terlebih setelah saya menyampaikan presentasi mengenai betapa pers Indonesia kini dapat menghirup udara kebebasan pascareformasi yang memungkinkan media dapat melaporkan hal apa pun kepada khalayak tanpa harus khawatir dikriminalisasi.

Hal itu berbeda sama sekali dengan kondisi ketika Orde Baru berkuasa pada1968-1998. Ketika itu media senantiasa dibayang-bayangi ketakutan ketika harus menyampaikan pemberitaan apa adanya, terutama untuk persoalan yang sangat sensitif alias tidak sesuai dengan selera pemerintah yang berkuasa.

Saya langsung menyadari betul apa yang disampaikan rekan jurnalis tersebut, mengingat yang terjadi di kawasan ASEAN saat ini justru ironis, yakni ketika tingkat kesejahteraan negara-negara di Asia Tenggara ini relatif membaik, justru kebebasan pers di sana cenderung memburuk.

Advertisement

Thailand dan Filipina yang dulu termasuk negara demokratis dan memiliki riwayat pers bebas dan sempat membuat iri kaum jurnalis dan pengelola media massa di Indonesia, yang ketika itu hidup di alam represif Orde Baru, kini terpaksa harus menelan pil pahit karena perubahan lanskap politik kedua negara tersebut yang cukup ekstrem.

Thailand dengan perubahan kepemimpinan dari pemerintahan sipil ke militer yang berkelindan dengan perubahan profil penguasa monarki—menyusul mangkatnya Raja Bhumibol Adulyadej—menjadikan masa depan kebebasan berkespresi di negeri itu mencapai tahapan yang, menurut kalangan media setempat, belum pernah sekelam sebelumnya.

Seperti diketahui, suatu karya jurnalistik yang menyinggung tentang eksistensi kerajaan di media massa di Thailand merupakan sebuah tabu yang dapat berujung tuduhan pelanggaran hukum berat atau dapat dikriminalisasikan—sebuah praktik yang dianggap wajar di negara nondemokratis.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Gaya koboi Presiden Rodrigue Duterte

Gaya Koboi

Advertisement

Sementara Filipina menghadapi persoalan yang tidak kalah seriusnya yakni gaya koboi yang diterapkan Presiden Rodrigue Duterte yang mempraktikan program ”tangan besi” dalam upaya memerangi pengedar narkoba dan cenderung bersikap permisif pada pembunuhan terhadap pelaku kejahatan, termasuk di dalamnya sindikat narkoba dan obat laknat tersebut.

Duterte cenderung mengabaikan penegakan hak asasi manusia sehingga dengan sendirinya menjadi bersikap represif terhadap media massa, terutama yang tidak sepakat terhadap tindakan koboinya tersebut.

Apalagi berbicara praktik kebebasan pers di sejumlah negara Indochina—Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos—makin jauh panggang dari api, mengingat ideologi negeri tersebut belum beranjak jauh dari komunisme yang bercirikan kekuasaan sentralistis dan kendali terhadap perikehidupan sehari-hari warga mereka.

Sedangkan negeri lain di ASEAN yang kelihatan seperti demokratis, yakni Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam sama sekali tidak memiliki kebebasan pers karena masih mempertahankan undang-undang warisan penjajah Inggris yakni Internal Security Act (ISA) yang dapat menahan seseorang, termasuk awak media massa, tanpa proses pengadilan.

Telah menjadi adagium bahwa demokrasi hampir mustahil dapat ditegakkan tanpa pers yang bebas mengingat hanya dengan pers bebaslah komunikasi sosial menjadi lebih cair dan fungsi penguatan check and balance antarpemegang kekuasaan maupun dengan pemangku kepentingan dapat terjaga secara bebas.

Mengingat arti strategis yang demikian besar, sudah benar bahwa bangsa Indonesia pascareformasi memiliki tekad untuk menjaga kebebasan pers ini dengan memasukkannya ke dalam  agenda amendemen konstitusi (UUD 1945), khususnya dalam Pasal 28, Pasal 28 E ayat (2) dan (3), serta Pasal 28 F.

Apa yang diperjuangkan oleh pers identik dengan prinsip negara, yakni demokrasi, rule of law, dan social welfare. Pers pulalah yang senantiasa diharapkan mampu mengungkapkan kebenaran maupun kesalahan yang dilakukan oleh segenap penyelenggara negara (pemerintah maupun seluruh elemen pemegang kekuasaan).

Anugerah berupa kemerdekaan pers ini bagi Indonesia menjadi aset yang tidak ternilai harganya. Dengan demikian layak untuk dijaga dan dirawat bersama oleh seluruh eksponen bangsa ini. Jangan sampai bangsa ini jatuh kembali ke dalam jebakan yang mungkin dapat merenggut kemerdekaan pers tersebut.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif