Kolom
Selasa, 4 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Paradoks Kesehatan Tenaga Medis

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Isna Rahmawati Retnaningsih (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (1/7/2017). Esai ini karya Isna Rahmawati Retnaningsih, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret yang berpengalaman praktik kebidanan. Elamat e-mail penulis adalah rahmawatiisna.ir@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Dunia kesehatan Indonesia kembali berduka. Pada Senin (26/6) lalu, seorang dokter spesialis anestesi, Stefanus Taofik, ditemukan meninggal dunia saat berjaga di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jaya, Jakarta.

Advertisement

Dokter Stefanus dikabarkan meninggal dunia akibat kelelahan berjaga 2×24 jam berturut-turut di tiga rumah sakit yang berbeda. Ia menggantikan teman sejawatnya yang sedang cuti Lebaran.

Manajemen rumah sakit dan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belum banyak berkomentar tentang penyebab kematian dokter berusia 35 tahun itu karena harus ada pemeriksaan lanjut. Penyebab kuat berdasar diagnosis sementara adalah akibat penyakit jantung, brugada syndrom.

Terlepas dari kontroversi tentang apa yang menjadi penyebab kematian dokter ahli anestesi ini, yang pasti peristiwa ini seharusnya menjadi evaluasi bagi sistem pelayanan kesehatan di negeri kita. Evaluasi sangat penting karena dokter dan tenaga medis yang seharusnya paling paham menjalankan ”pola hidup sehat” justru dihadapkan pada kondisi yang sebaliknya.

Advertisement

Fenomena paradoks pola hidup sehat harus mereka telan pahit-pahit berseberangan dengan teori yang dipromosikan kepada masyarakat. Menyembuhkan orang sakit, tetapi mengorbankan diri sendiri. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang menjadi penyebab?

Pertama, persoalan jam istirahat. Sebagai orang yang pernah bekerja sebagai bidan, saya mengakui betapa berharganya jam istirahat bagi para tenaga medis, apalagi libur jaga. Bisa dibilang kata ”libur” adalah hal yang paling kami nantikan.

Saya merasakan sendiri meski sudah diatur dengan sistem sif, tetap saja badan terasa capek semua sehingga waktu di luar jam jaga adalah saat kami benar-benar beristirahat. Saya sedih ketika membaca berita dan melihat siaran berita yang dulu pernah menjadi trending topic, yakni seorang gubernur marah-marah melihat tenaga medis tidur pada saat jam jaga.

Orang awam mungkin beranggapan seharusnya tenaga medis melek terus saat berjaga malam karena itu tugasnya. Kami yang menjalaninya merasa tak mudah mengajak tubuh berkompromi dengan sistem sif ini. Mau tak mau harus berusaha menghemat energi agar tubuh tidak drop.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Soal jam kerja diatur dengan undang-undang…

Jam Kerja

Soal jam kerja diatur dengan undang-undang. Dalam UU No. 13/2003 Pasal 77 tentang jam kerja karyawan diatur waktu kerja maksimum setiap tenaga kerja adalah tujuh jam dalam satu hari untuk enam hari kerja atau delapan jam dalam satu hari untuk lima hari kerja.

Advertisement

Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 512/MENKES/PER/IV/2007, setiap dokter bisa mengantongi tiga izin praktik sekaligus di tiga rumah sakit berbeda. Tidak mengherankana ada dokter bekerja 24 jam dalam sehari.

Kedua, karena beban kerja berlebih. Lebih heterogen memang jika kita bicarakan beban kerja. Beban antara dokter rumah sakit (umum, spesialis, atau residen), dokter di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), dan dokter klinik swasta memang berbeda.

Tidak Ringan

Secara umum beban kerja mereka tidaklah ringan. Untuk dokter yang berstatus belum tetap, mereka akan menambah penghasilan dengan jam kerja di tempat lain sehingga beban kerja bertambah. Belum lagi kalau kita bicara soal dokter residen yang berjaga dobel shif tetapi ”gaji buta” karena itu bagian dari proses pendidikan.

Advertisement

Jangan katakan dokter puskesmas paling ringan bebannya karena realitasnya sama saja. Saya pernah mengobrol dengan seorang dokter puskesmas. Sejak berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang mengutamakan layanan primer, beban kerja dokter di puskesmas menjadi lebih berat.

Gaji dokter puskesmas tak seberapa. Itu semua mereka hadapi setiap hari. Kalau tak pandai menjaga kesehatan badan, dengan beban itu maka tamatlah sudah kesehatan mereka.

Ketiga, sistem pelayanan kesehatan yang semakin ”profit oriented”. Faktor yang berperan besar untuk mengevaluasi optimal atau tidaknya pelayanan kesehatan dan nasib tenaga kesehatan adalah orientasi sistem kesehatan.

Sejauh ini, sistem kesehatan yang berjalan hanya berorientasi keuntungan atau profit oriented, yaitu agar pelayanan kesehatan yang diberikan oleh institusi kesehatan mampu menghasilkan laba sebesar-besarnya.

Dalam kesehatan masyarakat dikenal ilmu ekonomi kesehatan untuk menentukan orientasi pengadaaan pelayanan kesehatan. Istilah ini merujuk pada suatu cara yang digunakan untuk menganalisis penyediaan sumber daya kesehatan dan perawatan kesehatan agar lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya sehingga bisa optimal dalam perolehan keuntungan dari produksi sumber daya kesehatan tersebut (Murti, 2011).

Selanjutnya adalah: Kesehatan adalah hak bagi seluruh rakyat…

Advertisement

Hak Seluruh Rakyat

Kesehatan adalah hak bagi seluruh rakyat, namun bagaimana jadinya jika kesehatan dikomoditaskan? Yang terjadi adalah rumah sakit tak ubahnya seperti mal yang saling bersaing menjual barang dagangan. Dulu mungkin kita masih melihat peran penuh negara dalam pengadaan tenaga pelayanan kesehatan) melalui institusi pendidikan ikatan dinas.

Output tenaga medis yang dihasilkan pun murni mengabdi untuk negara karena mereka disekolahkan. Sekarang pelayanan kesehatan bak pasar bebas. Privatisasi layanan kesehatan dan diubahnya intansi kesehatan pemerintah menjadi badan layanan umum memperkuat aroma profit oriented. Ini diperparah semakin mahalnya biaya pendidikan kesehatan. Tenaga kesehatan terdidik juga berorientasi keuntungan karena merasa harus ”mengembalikan modal”.

Mereka mau tidak mau mencari penghasilan tambahan dan menggadaikan jam istirahat sehingga paradoks pola hidup sehat pun harus ditelan. Sungguh ironis. Apakah salah menakar keuntungan untuk mendapatkan balas jasa yang telah diberikan?

Tentu tidak salah ketika sistem pelayanan kesehatan mengambil untung, namun tidak seharusnya orientasi profit ini dipakai sepenuhnya. Harus ada peran negara sebagai fasilitator, bukan hanya berperan sebagai regulator seperti wasit.

Beberapa hal ini seharusnya menjadi perhatian bersama untuk penyedia layanan kesehatan, termasuk tenaga kesehatannya, agar semakin bijak mengatur waktu kerja. Pemerintah bisa mengkaji ulang regulasi tentang beban kerja dokter, orientasi sistem kesehatan, dan pengadaan tenaga kesehatan melalui pendidikan tinggi.

Masyarakat juga harus bijak dalam menilai dokter dan tenaga kesehatan.  Mereka juga manusia biasa. Kesehatan mereka juga butuh dijaga. Mari bersama-sama menjadikan negeri ini sebagai negeri pembelajar dan selalu memperbaiki bersama-sama sehingga tidak ada lagi Stefanus Taofik yang lainnya.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif