News
Senin, 3 Juli 2017 - 16:15 WIB

Tak Sekadar Kembang Kepolisian, Kisah 3 Polwan Cantik Ini Menginspirasi

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mega Vebrianing Tyas (Istimewa)

Kisah inspiratif tiga polwan yang bertugas Soloraya. 

Solopos.com, SOLO — Di tengah maraknya teror yang menyasar aparat kepolisian, sejumlah wanita polisi atau polwan muda yang bertugas di Soloraya tak gentar membaktikan diri sebagai penegak hukum bermodal kapasitas, kapabilitas, dan integritas.

Advertisement

Salah satunya Brigadir Dua (Bripda) Sufiana Mayasari, 20, yang pada momentum Lebaran tahun ini menjadi tahun ketiganya absen merayakan Idulfitri bersama keluarga. Polisi berjilbab ini mendapat perintah mengamankan Hari Raya umat muslim di batas Kota Solo. Baginya, melaksanakan tanggung jawab sebagai abdi negara telah menjadi komitmen.

“Paling tidak tiga jam sekali kami bertugas mengirim video dan foto pantauan udara pantauan lalu lintas dari beberapa titik ke Polda Jateng dan Korlantas,” tutur Maya, sapaan akrabnya, Jumat (23/6/2017) siang, di kawasan simpang empat Colomadu, Karanganyar. Kala itu, Maya baru kelar bertugas sebagai pilot drone untuk pengambilan gambar dari udara berbekal kamera generasi 4K.

Polwan yang sebelum bertugas di Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Karanganyar tergabung di Satuan Pembinaan Masyarakat (Satbinmas) Polres Karanganyar tersebut pernah mendapat apresiasi atas keberaniannya meringkus pengedar narkoba berinisial TTI, 43, dengan tangan kosong, Maret lalu.

Advertisement

Maya menceritakan kala itu dia diminta membantu Satuan Narkoba (Satnarkoba) Polres Karanganyar untuk membantu proses penangkapan pengedar barang haram. Dia dibekali teknik penyelidikan, berkenalan dengan informan, teknik mengintai, sampai teknik memancing target operasi.

“Itu tugas pertama saya menangkap pengedar narkoba. Enggak ada rasa takut sedikitpun karena saya yakin kerjanya sesuai SOP. Setelah target terlihat, langsung saya kejar dan tarik bagian belakang kerahnya, lalu dilumpuhkan dengan cara mengunci tubuh target ditekuk ke kiri,” beber perempuan yang punya kemampuan bela diri tapak suci.

Polwan yang mengikuti pendidikan selama tujuh bulan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Jawa Tengah di Purwokerto pada 2014 lalu itu menuturkan punya pengalaman berkesan lain saat awal bertugas sebagai polisi.

“Tiga bulan pertama saya ditugaskan di Unit Reskrim Polsek Karangpandan. Waktu itu berhasil membantu pengungkapan kasus penemuan bayi. Setelah itu saya dapat sertifikat penyidik pembantu dari Polda,” tutur Maya.

Advertisement

Sufiana Mayasari (Istimewa)

Dengan beberapa pengalaman, Maya mengutarakan semula mendaftar kepolisian bukan cita-citanya. Sebelum menempuh pendidikan di SPN, alumnus SMA Negeri 1 Karanganyar ini telah diterima di Fakultas Hukum UNS via jalur undangan dan Fakultas Kedokteran UMS.

“Teman-teman pada mendaftar polisi, saya ikut coba-coba saja. Awalnya ayah dan ibu enggak tahu karena sepengetahuan mereka, saya sudah dapat sekolah. Setelah dinyatakan lulus tes, semua keluarga mendukung penuh,” ujar dia.

Selain menjalankan profesi sebagai polisi, selepas bertugas Maya kini juga menempuh studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Buat sosok yang ingin menjadi ahli forensik ini, meningkatkan kapasitas diri wajib bagi polisi untuk mengimbangi tuntutan zaman.

Advertisement

Pengalaman lain menjadi polwan diceritakan Bripda Mega Vebrianing Tyas, 24. Anggota Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Klaten ini pada momentum Lebaran 2017 bergabung dengan Tim Garuda Hitam di bawah komando Kapolres Klaten. Dari 12 personel yang bertugas, dia menjadi satu di antara dua polwan yang bergabung dengan tim tersebut.

Selain mendapat tugas patroli dan mengamankan wilayah, Mega bersama rekan-rekannya tahun ini juga kebagian tanggung jawab mengamankan kunjungan rombongan Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama, ke Candi Prambanan, Kamis (29/6/2017).

Sosok yang fasih memegang senapan api dan mahir menunggang kuda besi ini menuturkan, menjadi polwan merupakan impian yang menjadi kenyataan. Dia sempat dua kali gagal masuk kepolisian sebelum diterima di tahun ketiga. Tahun pertama mendaftar, tinggi badannya kurang setengah sentimeter. Tahun berikutnya giliran terganjal tes akademik.

Namun Mega tak patah arang. Di sela-sela menunggu pendaftaran berikutnya, lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto angkatan 2014 ini getol berlatih menambal celah kekurangannya.

Advertisement

“Dari dulu memang cita-cita saya menjadi polwan. Sejak kecil saya melihat profesi ini beda dari pilihan perempuan kebanyakan. Mereka mandiri, kuat, dan bisa diandalkan,” ujar Mega.

Sebelum menjadi polwan, Mega sempat mengenyam pendidikan Sistem Informasi di Amikom Jogja. Alumnus SMA Negeri 1 Karanganom Klaten ini lantas memutuskan rehat kuliah di tahun ketiga kuliahnya dan masuk kepolisian. Di sela-sela tugasnya, dua tahun terakhir dia menyambi studi hukum di Universitas Surakarta.

Sebagai perempuan, Mega mengaku tak ada perlakuan khusus atau biar gender di lingkup pekerjaannya. Semua diperlakukan dan diberikan tugas yang sama.

“Tidak ada yang berbeda antara polwan maupun polki. Tapi saya merasakan, sebagai perempuan yang kebetulan bertugas di Unit PPA, saat menangani kasus yang korban atau pelakunya anak itu kita bisa lebih luwes menjadi teman sehingga mereka bisa bercerita tanpa takut atau rikuh,” ujar dia.

Sebelum ditempatkan di Satreskrim Polres Klaten, Mega pernah bertugas di Polsek Ketandan Klaten selama setengah tahun. Dia sempat menjadi joki motor untuk pasukan pengurai massa Satuan Sabhara dan belajar berbagai teknik mengemudi seperti zig-zag, slalom, chidori, dan trykhana.

Sementara itu, Bripda Arie Fitri, 24, sejak Mei lalu dipindahtugaskan dari Bidang Keuangan Polda Jawa Tengah ke Bagian Sumber Daya Polresta Solo. Perempuan asli Sragen ini menghadapi tantangan baru dengan tugas lapangan yang kian beragam termasuk menjadi negosiator demonstrasi sampai mengikuti kegiatan pengamanan Presiden Joko Widodo.

Advertisement

Arie Fitri (Istimewa)

Arie menuturkan menjadi polisi merupakan panggilan hatinya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia pecah telor menjadi yang pertama bergabung di kepolisian di keluarganya. Profesi sebagai aparat penegak hukum yang telah tiga tahun dijalaninya, kontras dengan keseharian sebelumnya yang dekat dengan dunia hiburan.

“Lulus dari SMA Negeri 1 Sumberlawang saya menjadi penyanyi freelance. Seringnya dapat job wedding singer. Pas ada info pendaftaran polwan, saya mendaftar dan diterima. Saya dulu kepikiran kalau lulus kuliah jadi polisi, itu biasa. Lulus sekolah jadi polisi, juga biasa. Tapi kalau penyanyi jadi polisi, itu enggak biasa,” tutur Arie.

Arie menuturkan modal suara merdu yang dimilikinya membuahkan pengalaman berharga pada 2015 lalu. Setahun berselang selepas lulus dari Sekolah Polisi Negara di Purwokerto, dia berkesempatan mewakili Polda Jawa Tengah untuk menghadiri peresmian Monumen Polwan di Bukittinggi, Sumatra Barat. “Gara-gara bisa menyanyi, saya diajak menghadiri acara peresmian Monumen Polwan,” beber dia.

Dari pengalaman tiga tahun bertugas sebagai polisi, dia belajar melayani serta membangun citra yang baik di institusinya. Berbekal kemampuan dan bakatnya, dia juga membuktikan bisa menjadi aparat penegak hukum tanpa suap dan koneksi.

“Saya latihan fisik ditemani bapak selama setengah tahun nonsetop sebelum masuk kepolisian. Setiap pagi dan sore setiap hari selama 15 menit, saya lari cepat di dekat rumah. Olah raganya juga dikombinasikan dengan berenang, paling tidak sepekan sekali,” ujar Arie.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif