News
Rabu, 28 Juni 2017 - 00:00 WIB

Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme Dikritik

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Polisi berjaga di lokasi ledakan yang diduga bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5/2017) malam. (JIBI/Solopos/Antara/Sigid Kurniawan)

Upaya pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme melalui revisi UU Terorisme dikritik.

Solopos.com, JAKARTA — Dukungan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme melalui revisi UU No. 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dikritik Setara Institute. Situasi ini dinilai menunjukkan banyak pihak yang ahistoris soal regulasi TNI dan praktik pemberantasan terorisme yang telah dijalankan.

Advertisement

Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan dalam Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU No. 34/2004 tentang TNI sesungguhnya telah mengatur bahwa TNI memiliki tugas memberantas terorisme sebagai salah satu dari 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP).

Poin tersebut menurutnya, tanpa mempertegas pengaturan peran TNI dalam RUU Antiterorisme yang sedang dirancang DPR dan Pemerintah, TNI sudah mengemban mandat tersebut.

“Buktinya, dalam beberapa operasi di mana Polri memerlukan bantuan TNI, dua institusi ini mampu bekerja profesional dan efektif. Mempertegas peran TNI dalam RUU Antiterorisme justru akan bertentangan dengan Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI, yang mengharuskan adanya kebijakan dan keputusan politik negara dalam melibatkan TNI pada OMSP, termasuk dalam soal terorisme,” kata Hendardi dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis/JIBI, Selasa (27/6/2017).

Advertisement

Selain itu, keharusan adanya kebijakan dan keputusan politik negara merupakan konsekuensi prinsip supremasi sipil (civilian supremacy) dalam negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, panglima tertinggi TNI adalah otoritas sipil, yakni presiden.

Sebagai sebuah kebijakan dan keputusan politik negara, maka OMSP–termasuk pemberantasan terorisme–adalah keputusan ad hoc dan temporer dalam situasi darurat. Hal itu terjadi jika terorisme dianggap mengancam kedaulatan negara.

“Jika pelibatan TNI dipermanenkan dalam RUU Antiterorisme, sama artinya menyerahkan otoritas sipil pada militer untuk waktu yang tidak terbatas, karena itu bertentangan dengan prinsip supremasi sipil,” jelasnya.

Advertisement

Hendardi menambahkan pelibatan TNI secara eksplisit harus ditolak dengan alasan merusak sistem peradilan pidana. Terorisme adalah kejahatan yang harus diatasi dengan pendekatan hukum yang terbukti mampu mengurai jejaring pelakunya dan mencegah puluhan rencana aksi. Alasan kedua, keterlibatan TNI akan memperlemah akseptabilitas dan akuntabilitas kinerja pemberantasan terorisme.

TNI tidak tunduk dan bukan aktor dalam sistem peradilan pidana terpadu. Tidak ada hak uji (habeas corpus) atas tindakan paksa yang dilakukan oleh TNI. Jika ini terjadi, maka akan membahayakan demokrasi, HAM, dan profesionalitas TNI itu sendiri.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus memastikan keinginannya melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme secara permanen melalui RUU Antiterorisme tidak bertentangan dengan Konstitusi RI dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya.

Meskipun tindakan terorisme membahayakan keamanan warga, tetapi tindakan terorisme dinilai masih merupakan one time event yang hingga kini belum bisa dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. “Apalagi, kapanpun, sebagai Panglima Tertinggi, Jokowi bisa menggunakan TNI untuk terlibat, khususnya pada aksi-aksi terorisme di wilayah-wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh Polri,” katanya.

Advertisement
Kata Kunci : RUU Terorisme
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif