Entertainment
Rabu, 28 Juni 2017 - 14:17 WIB

FILM DOKUMENTER : Sineas Muda Bicara Sejarah Kota Solo

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi

Film dokumenter tentang sejarah Kota Solo akan dibuat oleh sineas muda, Evan Rindi Silvanus.

Solopos.com, SOLO–Sukses dengan Who Cares yang mengangkat tentang sejarah Rumah Sakit (RS) Kadipolo lewat sisa-sisa bangunannya, pegiat film Solo, Evan Rindi Silvanus akan kembali menggarap project baru. Kali ini ia diajak Soerakarta Heritage Society untuk mengangkat tema serupa dengan lokasi kawasan Loji Wetan.

Advertisement

Saat diwawancara solopos.com, Selasa (27/6/2017), Evan mengaku tertarik dengan tema tersebut karena proses pengerjaan cukup singkat hanya sekitar tiga pekan. Belum jelas lokasi mana yang akan ia angkat dalam proyek kali ini. Tetapi kemungkinan lokasi yang pasti dikerjakan adalah Gereja Pantekosta di Loji Wetan.

Kecintaannya pada Solo yang membuat Evan ingin melanjutkan karya-karya lain soal Kota Bengawan. Secara pribadi, ia ingin menggarap soal sejarah Kota Lama Surakarta yang kemungkinan besar masih berkaitan dengan eks RS Kadipolo. Kisah akan bermuara pada soal batasan dan waktu kota lama dan sekarang. Kemudian dilanjutkan dengan cerita sejarah Kota Lama Surakarta.

Masih dengan sejarah kota, Evan ingin mengeksplorasi cerita soal Kota Bengawan melalui karya fiksi dr. Radjiman. Ia mengaku tertarik dengan sosok Radjiman karena berdasarkan buku referensi yang dibaca, Radjiman merupakan sosok njawani. Melalui film tersebut ia berharap biografi Radjiman bisa diketahui banyak orang.

Advertisement

“Saya senang kalau orang lebih mengetahui tentang Kota Solo. Saya juga orang Solo tapi saya juga malu karena pengetahuan saya tentang kota Solo sedikit. Makanya pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak saya, saya curahkan dalam bentuk film. Tapi sekarang saya masih fokus dokumenter dulu, karena berkaitan dengan tugas akhir saya terkait penciptaan karya seni dokumenter expository. Kalau film fiksi ya nanti lah. Saya percaya Tuhan yang menyediakan jalannya,” kata mahasiswa Prodi Televisi dan Film, ISI Solo ini.

Meski asli kelahiran Solo, bukan berarti ia menggarap film dokumenter tanpa kendala. Kesulitan pertama yang menjadi tantangannya justru datang dari diri sendiri. Soal keteguhan pribadi untuk melanjutkan rencana film dokumenter atau tidak. Hal itu yang ia alami saat membuat Who Cares karena mengangkat isu yang kurang populer tapi penting untuk dibicarakan.

“Nah makanya seberapa penting sih penghargaan atau perilaku menghormati kita terhadap bangsa sendiri terutama sejarah kota Solo. Itu yang sebenarnya saya bicarakan di Who Cares,” kata dia.

Advertisement

Kendala kedua ialah soal riset sebagai pijakan utama film dokumenter. Sebagai bahasa visual, menurutnya film dokumenter harus digarap dengan riset yang matang agar pesannya tersampaikan. Film dokumenter juga harus berpihak. Dalam Who Cares ia memosisikan keberpihakan pada bangunan tua. Riset panjang dilakukan dalam pembuatan film tersebut, mulai pra produksi hingga pascaproduksi.

“Mencari fakta tentang sejarah itu seperti benang mbundet. Kita harus mengurainya lalu mencari keterkaitan antarcerita sejarahnya, mencari kata kunci apa saja yang muncul. Tapi proses riset ini membuat saya lebih mengetahui bahwa apa yang saya buat enggak sekadar mengambil gambar,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif